Share

BAB 7 : Pulang

Dua puluh satu tahun hidup bersama Damar, tidak pernah sekalipun pria itu marah atau membentaknya. Namun tidak pernah terpikirkan oleh Shanna kalau ayahnya itu tetap sabar dan tidak marah atau membenci dirinya meski dia sudah mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan pria itu. Terbukti dengan Damar yang tetap menemui Shanna dan menunggunya pulang kerja serta mengantarnya pulang ke panti asuhan. Hal itu berlangsung selama hampir dua minggu.

“Baba tidak memaksamu. Tetapi selama kamu tidak tinggal bersama baba, baba tidak akan pernah berhenti datang ke tempat kerjamu,” ucap Damar santai, tidak ada nada kesal sedikit pun. “Kalau kamu ingin baba berhenti datang ke tempat kerjamu, maka kamu harus ikut baba pulang ke rumah.”

Shanna hanya diam dengan tangan terlipat di depan dada. Dia tidak tahu harus berkata seperti apa lagi supaya Damar berhenti menemuinya lagi.

Damar hanya tersenyum kecil dengan memandang Shanna melalui ekor matanya. Suasana di dalam mobil kembali hening hingga mobil berhenti di depan panti asuhan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Shanna bergegas keluar mobil dan langsung masuk ke asrama panti asuhan.

Shanna yang baru saja keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri, berniat ke dapur untuk mengambil minum. Namun langkahnya terhenti tepat di dekat pintu dapur ketika dia mendengar seseorang berbicara dari dalam dapur. Mereka menyebut namanya dalam obrolan mereka.

“Walaupun dia sering memberi bantuan ke panti, tetapi kan nggak seharusnya dia pulang malam-malam setiap hari bersama pria meski itu ayahnya sendiri. Walaupun ibu panti nggak mempermasalahkannya, tapi bagaimana dengan para tetangga? Bagaimana kalau pihak berwenang menemui kita untuk masalah itu? Bisa-bisa panti kita dibuat malu olehnya.”

“Kamu benar. Lagian kenapa sih, dia nggak ikut pulang sama ayahnya saja?” sahut yang lain.

Shanna hanya bisa menahan diri dengan tangan terkepal erat. Shanna tidak menyangka bahwa orang-orang di panti asuhan yang bersikap baik di hadapannya ternyata berbicara buruk mengenai dirinya. Jikapun dia salah, seharusnya mereka langsung berbicara kepadanya, tidak perlu membicarakannya di belakangnya.

Setelah beberapa saat menenangkan dirinya yang sedikit tersulut emosi, Shanna pun memasuki dapur seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Berbeda dengan dua orang yang berada di dapur itu, di mana mereka tampak terkejut dan gugup ketika melihat Shanna.

Shanna berbasa-basi sebentar dengan mereka sebelum akhirnya meninggalkan dapur dengan segelas air di tangannya dan menuju ke kamar. Dia mejatuhkan tubuhnya dengan kasar ke tempat tidur.

“Sepertinya ini karmaku karena sudah bersikap kasar kepada baba.” Shanna menghela napas kasar.

Keesokan harinya, setelah sarapan, Shanna menemui Widia di ruang kerjanya untuk berpamitan. Dia sudah memutuskan untuk meninggalkan panti asuhan demi kebaikan semua orang. Meskipun Widia sangat baik kepadanya, tetapi Shanna tidak dapat memastikan bahwa semua orang di panti asuhan akan bersikap sebaik Widia.

“Baba, apa yang baba lakukan di sini pagi-pagi?” tanya Shanna terkejut ketika dirinya berpapasan dengan Damar yang juga hendak ke ruang kerja Widia.

Meskipun Damar sering mengantarnya pulang ke panti asuhan, tetapi pria itu tidak pernah mengunjungi panti asuhan di akhir pekan. Apalagi di pagi hari seperti sekarang.

Apakah ayahnya ini memiliki indra keenam sehingga bisa tahu bahwa hari ini dirinya akan pergi dari panti asuhan?

Damar tersenyum lebar. “Baba ingin meminta izin kepada Bu Widia untuk mengajakmu pergi jalan-jalan. Sekarang kan akhir pekan, jadi baba ingin menghabiskan akhir pekan bersamamu. Lagi pula sudah lama kita tidak jalan-jalan bersama.”

Shanna menatap Damar dengan kening berkerut. Namun dia segera mengubah ekspresinya dan berkata dengan mantap, “Baba, aku mau pulang bersama baba.”

Shanna tidak peduli apakah Damar akan menertawakannya karena sudah menarik kembali kata-katanya.

Mata Damar membulat sempurna. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang masih tetap terlihat muda dan tampan meski terdapat luka bakar.

“Kamu serius, Sayang?” ucapnya dengan nada tidak percaya dan senang secara bersamaan.

“Ya!”

Mereka berdua pun segera berpamitan kepada Widia. Tidak lupa Damar mengucapkan terima kasih dan memberikan cek kosong kepada Widia karena sudah menampung Shanna tinggal di panti asuhan selama ini.

Widia tentu saja terkejut, tetapi dia tidak bisa menahan Shanna. Apalagi ada Damar di sana yang merupakan wali Shanna yang memiliki hak penuh atas Shanna.

"Ibu tenang saja. Aku akan tetap berkunjung ke panti asuhan untuk menemui ibu dan anak-anak panti lainnya." Shanna memeluk Widia.

Shanna tahu Widia sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Begitu pula dengan Shanna yang menganggap wanita itu seperti ibu kandungnya. Dengan adanya Damar, dia yakin Widia akan membiarkannya pergi karena Shanna yakin Widia tidak akan melepaskannya tanpa alasan yang kuat.

"Hm, pintu panti akan selalu terbuka untukmu." Widia membalas pelukan Shanna.

Shanna tidak ingin tinggal lebih lama dan mengajak Damar untuk segera pergi, Damar membantu Shanna membawa tas berisikan buku-buku kuliah Shanna ke mobil.

Shanna menatap Damar yang menyetir melalui ekor matanya. Pria itu tampak bahagia karena dia yang akhirnya mau pulang bersamanya.

Shanna memandang sekeliling rumah yang sudah hampir dua bulan dia tinggalkan. Dadanya terasa sesak ketika semua kenangannya bersama Damar di rumah itu memenuhi pikirannya. Terutama kenangan terakhirnnya sebelum dia meninggalkan rumah.

“Ayo!” suara Damar menyadarkan Shanna dari pikirannya.

“Kemana?” Shanna menatap bingung Damar.

“Jalan-jalan. Bukankah baba sudah bilang kalau hari ini mau mengajakmu jalan-jalan?”

Mungkin apa yang dikatakan Viona dan Neila ada benarnya. Lebih baik dirinya tinggal bersama Damar. Meski dia tidak bisa mendapatkan hati pria itu, setidaknya dia bisa tinggal bersama dan menghabiskan sebagian sisa umurnya bersama pria itu. Dia juga tidak perlu menahan rasa sakit karena merindukan sosok pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status