Dua hari setelah menghilangnya Aira. Wanita hamil itu tidak pernah mendatangi kediaman keluarga Nagasawa. Pun dengan ponselnya, tidak sekali pun dihidupkan sejak pergi. Pesan yang Kosuke kirimkan masih ceklis satu. Tidak ada tanda dibaca, apalagi dibalas pesannya. Tidak ada harapan."Nona, apa yang sedang Anda lakukan?" tanya Kosuke lirih sembari memeriksa ponselnya. Berkali-kali dia juga memeriksa titik GPS di ponsel istri tuannya, berharap pernah berkedip satu detik saja. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Pria itu mengusahakan segala cara, termasuk menyisir rekaman CCTV di seluruh kota, tapi tetap tidak dapat menemukan jejak Aira."Jika Anda tidak segera kembali, saya takut Tuan Muda akan benar-benar gila," lanjutnya sembari menatap Ken yang duduk terpekur di lantai. Tangannya menggenggam potret pernikahannya dengan Aira. Pernikahan yang tidak diinginkan oleh wanita itu.Jangan tanya seperti apa keadaan Ken. Dia seperti singa jantan yang kehilangan pasangannya. Seluruh barang yan
Limusin yang membawa Ken dan Kosuke terhenti di sebelah deretan kontainer yang siap diangkut ke kapal. Puluhan kendaraan terparkir sembarang di depan sana, membuat Ken tidak bisa lebih dekat menuju dermaga."Mereka sudah datang?" Ken mengerutkan keningnya, memerhatikan rombongan wartawan yang berjarak seratus meter di depan. Dia tidak menyangka informasi ini akan menyebar dengan cepat ke awak media. Beberapa pekan ini, mereka seolah bertindak satu langkah lebih cepat dibandingkan Ken maupun Kosuke."Saya akan memeriksanya." Kosuke bergegas turun, berbincang dengan salah satu pengawal keluarga Yamazaki yang berjaga di sana. Mereka berusaha menghalau lalat-lalat hidup itu, melarang mereka mendekat ke dermaga.Orang-orang berpakaian hitam itu mulai kewalahan saat jumlah wartawan semakin banyak. Mereka seolah mendapat komando dari seseorang untuk terus membuat keributan.Kosuke mengambil sapu tangan guna mengusap peluh di pelipis. Udara pengap terasa semakin panas, membuatnya tak bisa ber
Suasana hening menyelimuti ruangan yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Semilir angin pegunungan menyapa wajah-wajah dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Dipanggil tiba-tiba untuk berkumpul di kediaman Kakek Yamazaki, pastilah ada sesuatu yang mendesak.Di tengah ruangan, Ken mengambil tempat bersama Kosuke, asisten yang bersedia mendampinginya meski harus bertaruh nyawa. Skenario besar sudah tergambar di kepala, bersiap dijabarkan meski mendapat pertentangan dari para tetua."Apa yang membawamu kemari, Nak?" Yamazaki Subaru, pemimpin tertinggi di keluarga itu mulai membuka suara. Meskipun dia sudah tahu tujuan kedatangan Ken, tapi sembilan orang di kanan kirinya belum. "Saya datang untuk meminta maaf," ujar Ken setelah menundukkan badan dalam-dalam. "Sudah saatnya saya mengungkap semuanya. Tentang hal-hal yang tersembunyi, juga rahasia yang selama ini saya simpan seorang diri."Para tetua menoleh saling pandang satu sama lain. Dengan tabiat Ken yang tegas dan keras kepala, belu
"Apa yang kau lakukan di sini, Sawaguchi-san?" Sayaka buka suara, menatap gadis dengan gaun putih yang senada dengan warna bunga di tangannya. Terlihat jelas ada rona merah di pipi, sengaja berhias untuk menggoda putranya.Sayaka mendengkus, semakin jengah dengan perilaku mantan calon menantunya. Dulu dia amat menyukai Erina, berpikir kalau gadis itu sosok yang sempurna untuk Ken. Namun, sekarang dia bisa melihat sifat asli yang mengerikan darinya. Untung saja hubungan mereka kandas, kalau tidak dia akan memiliki menantu seorang rubah wanita yang akan merepotkan hari ini dan seterusnya.Bunga Lili seringkali digunakan sebagai ungkapan duka cita, dalam acara kematian maupun bencana. Sekarang, Erina membawanya dengan sengaja, pastilah dia memiliki niatan tidak benar di dalam hatinya."Bibi, aku ...." Erina mengalihkan fokus pandangannya dari Ken, menatap Sayaka dan beberapa tetua yang ada di sana."Lancang sekali kau. Siapa yang mengizinkanmu bergabung dengan kami? Ini pertemuan resmi k
"Kamu tidak boleh melakukannya!" seru Erina, berdiri dari bantal duduk di bawah kakinya. Dia langsung mendekat ke arah Ken, menarik lengannya."Nona, tolong perhatikan sikap Anda." Kosuke berusaha memperingatkan Erina, mendapati tatapan tidak nyaman dari Ken pada gadis itu."Kakek?" Erina menatap pria yang menjadi pusat pengambilan keputusan nantinya. "Kakek tidak akan membiarkan Ken berbuat bodoh, bukan?"Erina segera mendekat ke arah pria lansia yang duduk di belakang meja berkaki pendek. Dia segera bersimpuh, menatap kakek Subaru dengan penuh harap."Kek, katakan kalau kau tidak akan mengizinkan Ken mengungkapkan segalanya. Hanya karena menghilangnya wanita itu, dia jadi melupakan akal sehatnya. Semua akan berimbas buruk kalau dia tiba-tiba muncul tanpa kursi roda. Juga wajahnya ...," Erina menoleh ke belakang, ke arah Ken yang terlihat tetap tenang. Dia tahu tidak akan bisa memengaruhi Ken yang keras kepala."Kakek harus pikirkan masa depan bisnis Ken juga. Akan banyak investor ya
"Tuan Muda kecil, lari! Cepat lari sekarang, Tuan! Tidak ada kesempatan lain. Cepat masuk ke dalam kereta, kita harus pergi dari sini!" Seorang wanita berpakaian serba hitam menarik lengan bocah yang masih berusia lima tahun. Mereka berlari menyusuri padang ilalang tinggi sebelum mencapai kereta kuda yang ada di ujung jalan."Aku masih mau makan," ucap si bocah dengan wajah sedih. Sup di dalam mangkuknya belum habis saat salah satu pengawal bayangannya datang, membopongnya dengan paksa untuk keluar dari rumah tua yang seminggu dihuni olehnya."Anda bisa makan lain waktu. Sekarang kita harus pergi." Kaneko, wanita yang hanya terlihat matanya itu mengangkat tubuh mungil si bocah kecil ke atas kereta kuda dan menutup pintu belakangnya dengan tergesa. Hanya berselang tiga detik, wanita bertubuh mungil itu segera melepaskan kekang kuda, melesat pergi dari sana.Derap langkah kaki kuda terdengar menggema, beradu dengan jalanan berbatu yang mereka lalui di kaki gunung Asama. Meskipun jalanann
Guncangan pesawat masih terasa, membuat Aira memijit pelipis perlahan. Langkah kakinya terhenti, duduk di bangku panjang tak jauh dari pintu keluar bandara. Udara dingin beraroma salju mulai terasa, membuat wanita hamil itu mengeratkan palto di tubuhnya.Untuk beberapa detik pertama, dia hanya bisa mengambil napas dalam melalui hidung. Kesendirian itu menyiksanya, membuatnya tak bisa berkata-kata. Ada perasaan mual yang terasa, tapi tak terlalu kentara. Tak sampai membuatnya ingin muntah, hanya merasa tenggorokannya sedikit tidak nyaman."Semua akan baik-baik saja. Tenanglah," bisik Aira, menenangkan dirinya sendiri. Berada di negeri antah berantah, membuatnya tenang sekaligus khawatir.Tenang karena tidak ada seorang pun yang mengusik hidupnya, tapi khawatir kalau ternyata kota yang didatanginya tidak bersahabat. Dia hanya ingin menenangkan diri, menyingkir sejenak dari hiruk pikuk kota Fukuoka dan segala yang berhubungan dengannya. Termasuk Ken dan para tetua yang memandangnya sebel
Ken terus berjalan ke sana kemari, melupakan penampilannya sendiri yang tidak terurus. Seluruh atensinya hanya memikirkan Aira, menantikan kabar keberadaan wanitanya. Sebelum Aira kembali, dia sungguh tidak bisa berbuat apa pun. Kacau semua isi kepalanya.“Tuan,” panggil Kosuke, berdiri dengan napas terengah-engah setelah menaiki anak tangga dengan tergesa. Panggilan ponsel di tangan baru berakhir beberapa detik lalu. Seseorang mengatakan dia tahu posisi Aira saat ini.“Kau sudah menemukan di mana Aira?”Kosuke kehilangan seluruh kosa kata yang ada di dalam kepala. Kabar terbaru yang didapatkannya barusan membuatnya kehilangan fokus.“Nona ….” Kosuke menelan ludah dengan paksa, membasahi kerongkongan yang terasa kering seketika.“Di mana Aira?!” Ken menggeram tertahan, tidak sabar menunggu rangkaian kata yang menghentikan gundah gulana di dalam hatinya.“Aomori. Nona ada di Aomori, Tu ….”Belum sempat Kosuke menyelesaikan kalimatnya, Ken sudah lebih dulu melesat menuju mobilnya. Denga