Share

3. Langkah awal untuk balas dendam

Akhir pekan ini Tami sengaja tak pulang karena badannya belum pulih benar dan dia membutuhkan istirahat. Alasan lainnya sudah pasti adalah menghindari omongan dan perilaku menyakitkan dari Mama dan adiknya.

Tami mendesah keras. Dia memijit pelipisnya sembari duduk bersandar di sofa ruang tengah apartemennya saat terdengar bunyi bel beberapa kali. Dengan malas dia membukakan pintu dan wajah terkejutnya tak bisa disembunyikan lagi.

“Mau ngapain kamu kesini,” tanya Tami penuh kecurigaan.

Sissy tak peduli atas omongan kakaknya dan dia melangkahkan kaki masuk bahkan sebelum dipersilakan. “Sejak kapan main ke tempat kakak sendiri harus ada alasan, “ celetuknya.

Decak kesal terdengar jelas dari bibir Tami. “Ya udah, jangan ganggu karena aku mau tidur.”

Gadis manja dengan gaun navy terusan selutut itu menyamankan diri di sofa dan menjawab sembari mencibir, “Terserah.”

Dalam hati Sissy membatin, “Aku mau tahu, Satria akan kesini atau enggak ya. Karena aku menginginkannya, Kak.”

Setelah beberapa menit, Sissy yang tak mengindahkan peringatan kakaknya langsung menerobos masuk ke dalam dan merebahkan diri di sebelah Tami.

Merasakan kasurnya bergerak, Tami berdecak kesal. Namun, dia tak bergeming berharap Sissy pergi dengan sendirinya. Rupanya itu hanya berakhir menjadi harapan saja, karena saat ini lengannya sudah di gelayuti manja dengan suara merengek yang menyebalkan.

Tami membalikkan badan sambil melirik tajam lalu melepaskan lengannya dan mendengkus kesal. “Apaan, sih, Si. Kakak cape mau tidur.”

Sissy memberikan cengiran lebar dan duduk bersila menghadap Tami. “Bangun bentar, Kak. Aku mau ngobrol, udah lama ‘kan kita enggak girl talk.”

Tami memutar matanya malas tapi tetap bangun, menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Melihat itu, gadis centil di depannya semakin melebarkan senyumnya dan melontarkan pertanyaan. “Em, Satria itu benar bos kakak ya? Dia umur berapa sekarang? Udah punya pacar belum? Dia tinggal di mana, Kak?”

Sebelum menjawab, helaan napas terdengar keras saat tangan Tami bersedekap di depan dada. “Udah? Atau masih ada pertanyaan lagi?”

“Ih, jangan gitu dong, Kak,” rengek Sissy. Wajahnya cemberut. Namun, tiba-tiba dia menunjuk wajah datar Tami sambil memicingkan mata dan menuduh, “Atau jangan-jangan kakak juga suka ya sama Satria?!”

“Makin ngawur kamu,” jawabnya sambil menepis jari Sissy dari depan wajahnya dan melanjutkan, “sakit hati aku sama mas Irwan aja belum tuntas. Apalagi aku belum tahu gimana hasil kemarin di kepolisian.”

Sissy menganggukkan kepala senang. “Bagus kalau begitu, jalan aku buat menarik hati Satria terbuka lebar.”

Yang Sissy tak tahu, saat ini di dalam pikiran Satria sedang dipenuhi oleh rencana ke depan untuk segera menjebak Tami agar menikah dengannya dan balas dendam itu bisa terlaksana.

Dia teringat kala minggu lalu pulang ke rumah utama setelah mengantar Tami. Karena jenuh selalu di desak menikah, akhirnya dia terpaksa berjanji pada maminya.

Mami enggak usah kuatir, aku sudah menemukan wanita pilihanku juga. Hanya saja, saat ini aku belum mengutarakan niatanku meminangnya.

Satria terkekeh sendiri dan dia melangkah mengambil ponsel juga kunci mobilnya.

Dimulai dengan memberikan perhatian kecil. Maka dari itu, dia beranjak dan memutuskan masuk ke sebuah toko bunga dan coklat tak jauh dari apartemennya. Dia akan memulai rencananya sekarang, menjerat Tami secara perlahan saat wanita itu sedang terpuruk.

Di dalam unitnya, Tami mengerjap perlahan karena lagi-lagi dia mendengar suara bel. Padahal selama ini dia tak pernah kedatangan tamu kecuali Irwan. Lucunya lagi Sissy langsung melesat keluar untuk membukakan pintu.

Tami sendiri turut melangkah. Namun, baru saja kenop pintunya di putar, suara pekikan Sissy terdengar jelas hingga dia berjalan lebih cepat.

“Mas Satria kok tahu aku ada di sini. Itu bunga dan coklatnya buat aku ya?” pekik Sissy dengan antusias.

Satria mengernyit dan melongok ke dalam lalu tersenyum saat melihat Tami yang terdiam tak jauh dari Sissy.

“Ada apa, Pak?” sapanya bingung.

Satria terkekeh melihat penampilan Tami sore ini, rambutnya berantakan dan bahkan pipinya masih ada beberapa bekas garis yang tercetak di sana. Dia menyodorkan buket coklat dengan hiasan bunga di tangannya. “Ini, buat kamu. Sebagai ucapan terima kasih karena seminggu kemarin kamu kerja keras sekali.”

Sissy berdecak kesal karena tak dipedulikan. Tapi dia tak menyerah, diambilnya buket itu dan berkata tanpa rasa bersalah, “Makasi ya, Mas. Kakak tuh enggak suka bunga dan coklat. Jadi, pasti di kasih juga ke aku.” Tangannya yang kosong langsung dilingkarkan ke lengan Satria. “Masuk, Mas.”

Tami bergeming dan Satria dengan muka datarnya begitu masuk, dengan perlahan melepaskan pelukan Sissy di lengannya. Lagi-lagi pria tampan itu tak menggubris Sissy. Dia menoleh ke Tami dan berkata pelan, “Bersiaplah.”

Tanpa menjawab, Tami masuk ke kamar. Dia sudah paham maksud Satria. Setelah tiga tahun menjadi sekretarisnya, Tami sudah cukup memahami cara komunikasi atasannya itu.

“Kok aku di cuekin, sih, Mas.” Protes Sissy sambil memberengut. Dia berharap Satria akan merayunya karena merasa gemas. Tapi Sissy salah besar.

Satria melihatnya tajam, memberikan jawaban yang sarat ancaman. “Jika kamu masih mau hidup tenang, sebaiknya menjauh dari saya atau kamu akan menyesal.”

Sissy yang terkejut, mengambil tas dari atas sofa lalu berbalik ke arah pintu. Namun sebelum pergi dia menoleh dan berucap tegas, “Kali ini aku pergi, tapi aku enggak akan menyerah.”

Pria itu mendengkus lalu mengedarkan pandangan untuk memperhatikan apartemen Tami. Tak jauh di depan sana, di meja dekat televisi, terlihat jelas oleh mata Satria foto keluarga Tami yang sedang tertawa bahagia.

Satria lantas mengepal dan mengeraskan rahangnya, menahan kemarahan yang tiba-tiba melesak keluar. Tak melepaskan pandangannya, dia mengucap lirih penuh kebencian, “Jangan sampai anak kecil itu merusak rencana yang sudah aku susun dengan matang.”

Sementara di luar, Sissy yang berjalan sambil menahan kemarahan tak lagi melihat kanan kiri saat akan menyeberang. Hingga tubuhnya terjatuh saat terserempet sebuah motor yang sedang melaju.

 “Ah, sial. Ini sakit sekali,” pekik Sissy.

Tapi tak lama dia melongo sambil melotot saat melihat telapak tangannya dibersihkan dengan sapu tangan oleh pria yang jelas dikenali dengan baik oleh keluarganya.

“Mas Irwan,” lirih Sissy.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Semangat Tami. Pasti bisa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status