Farhan duduk di tepi jendela lantai dua Cirius. Sudah lewat tengah malam dan ia masih terjaga. Di sampingnya, cangkir bekas black coffee sudah kosong. Cangkir kedua malam itu. Permintaan Eda agar mempercepat pernikahan membuat matanya enggan terpejam. Ia sibuk menimbang, bukan soal biaya, melainkan kesiapan Kalila. "Paman tidak masalah kapan pun kamu nikah, Farhan. Justru Paman lega kamu segera menikah. Sering hati Paman dan Bibi was-was kalau kamu menemani Kalila. Walaupun kamu bilang tidak pacaran, tetap saja Paman ketar-ketir. Kalian dua manusia dewasa, tidak baik terlalu sering berdua." Jawaban bijak sang paman ketika Farhan menelepon terngiang di telinga. Dengan kepala penuh pikiran, mata Farhan tertuju ke jalan raya yang lengang. Dari tempatnya duduk, lampu-lampu kendaraan bermotor seperti kunang-kunang yang terbang cepat melintasi udara. Sejak peristiwa pelemparan batu, Farhan lebih sering menginap di kafe ketimbang di rumah. "Aku sudah siapkan skenarionya. Kamu, Kalila,
Farhan duduk di tepi jendela lantai dua Cirius. Sudah lewat tengah malam dan ia masih terjaga. Di sampingnya, cangkir bekas black coffee sudah kosong. Cangkir kedua malam itu. Permintaan Eda agar mempercepat pernikahan membuat matanya enggan terpejam. Ia sibuk menimbang, bukan soal biaya, melainkan kesiapan Kalila. "Paman tidak masalah kapan pun kamu nikah, Farhan. Justru Paman lega kamu segera menikah. Sering hati Paman dan Bibi was-was kalau kamu menemani Kalila. Walaupun kamu bilang tidak pacaran, tetap saja Paman ketar-ketir. Kalian dua manusia dewasa, tidak baik terlalu sering berdua." Jawaban bijak sang paman ketika Farhan menelepon terngiang di telinga. Dengan kepala penuh pikiran, mata Farhan tertuju ke jalan raya yang lengang. Dari tempatnya duduk, lampu-lampu kendaraan bermotor seperti kunang-kunang yang terbang cepat melintasi udara. Sejak peristiwa pelemparan batu, Farhan lebih sering menginap di kafe ketimbang di rumah. "Aku sudah siapkan skenarionya. Kamu, Kalila,
Akad dan resepsi selesai sebelum Zuhur. Dokter Haryo yang menyarankan. Demi kesehatan Wisnu. Selain itu juga, supaya tidak menabrak waktu salat Zuhur. Sahabat Wisnu itu bahkan menyiapkan ambulans beserta dokter dan perawat untuk berjaga jika terjadi sesuatu dengan Wisnu. Andromeda membatasi tamu undangan dan melakukan pemeriksaan berlapis pada semua yang hadir. Ia mengirim dua polisi untuk mengawasi dapur hotel yang menyiapkan hidangan. Sebelum acara dimulai, Andromeda menurunkan kesatuannya untuk mengelap kursi dan meja yang akan diduduki Wisnu dan keluarganya. Ditutupnya semua celah dan kemungkinan paparan racun pada tubuh Wisnu. “Semua aman, Ndan,” lapor anggotanya. “Sempat ada pengunjung yang mencurigakan, tetapi sudah kami amankan.” Andromeda mengangguk puas, lalu kembali bersikap siaga, mengawasi Wisnu dan sesekali melihat ke pelaminan. Sebenarnya, pelaminan adalah tempat yang tidak ingin dilihat Andromeda. Sikap Farhan membuat perutnya mual dan ingin mengumpat sahabatnya it
Andromeda berpikir jika pelaku masih berkeliaran di sekitar Wisnu. Bukan tidak mungkin, ia muncul di antara staf wedding organizer dan mencuri-curi kesempatan untuk menambahkan satu dosis tambahan racun. Untuk itu, Andromeda menemui Miranti malam-malam, ketika Wisnu dan Kalila sudah tidur. Ia membutuhkan bantuan sahabat Kalila itu. "Untuk apa memanggil saya malam-malam begini?" sembur Miranti. Wajah lelahnya menguap berganti raut tak bersahabat.Apalagi mereka bertemu di kamar serba tertutup sehingga Miranti merasa perlu waspada, kalau tidak bisa disebut curiga. Hati Miranti jengkel bukan main. Entah dari mana Andromeda mendapat nomor teleponnya. Miranti lupa, sebagai polisi, Andromeda bisa melakukan banyak hal dalam senyap. "Saya butuh bantuan Anda." Andromeda memelihara sikap sopannya meski ia sangat gatal untuk menggoda dan mengerjai Miranti. "Apa terkait kasus Om Wisnu?" Kemarahan di hati Miranti sedikit mereda. Ia selalu prihatin jika sudah menyangkut nasib Wisnu dan bersedia
Dering alarm ponsel membangunkan Kalila. Susah payah ia membuka mata karena kepalanya terasa berat. Dilihatnya jam dinding. Jam setengah empat, enam puluh menit sebelum subuh. Kalila mencoba bangun, tetapi ketika tubuhnya sudah tegak dan kakinya menyentuh lantai kamar, bumi seperti berputar hebat dan dilihatnya isi kamar seolah jungkir balik. Sesaat Kalila menangkupkan kedua tangan ke wajah lalu menarik napas dalam-dalam, berharap kepalanya tak lagi berat setelah memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-paru. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil. Ketika ia berdiri, tubuhnya hampir limbung sehingga Kalila memutuskan untuk kembali duduk. Lagi, Kalila menghela napas. Ya, Allah, saya izin absen tahajud malam ini karena sakit. Lantas Kalila kembali bergelung di balik selimut. Ia juga merasa wajahnya sangat panas, terutama di sekitar mata dan hidung sampai-sampai kedua matanya seperti berair. Ketika azan Subuh terdengar, Kalila menyibak selimut dengan panik. Ia harus segera salat da
"Palingan cuma flu biasa, Mir. Sehari istirahat juga sembuh. Kamu sendiri tahu, kemarin aku bolak-balik minum es. Kecapekan juga." Cuaca kemarin saat resepsi memang terasa lebih panas meski pesta diadakan di taman. Akibatnya, Kalila tergoda untuk melahap sup buah dan es krim lebih dari satu porsi sampai perutnya terasa penuh padahal ia belum makan. Beberapa kali Farhan mengingatkan, tetapi Kalila ngeyel. "Jangan menyederhanakan masalah. Awalnya Om Wisnu juga disangka kena asam lambung, ternyata keracunan." Miranti terus berujar panik. Ia melupakan tujuan utamanya menelepon Kalila.Sebenarnya , Miranti menelepon Kalila karena ingin menanyakan nomor ponsel Andromeda. Polisi itu sudah membuat ulah dan Miranti harus menghubunginya. Namun, keadaan Kalila melupakannya dari Andromeda."Gejalanya beda dengan Papa." Kalila bersikeras sembari mengingat keadaan tubuhnya. Ia tidak mual, hanya demam dan pusing. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan karena sebabnya jelas. Berbeda dengan Wisnu.
Andromeda tiba di rumah Wisnu hampir bersamaan dengan Miranti, hanya berselang sepuluh menit setelah Miranti datang dan melihat Ratna menyanggah ucapan Wisnu sementara pria itu duduk dengan sorot mata lelah dan wajah sayu. Miranti duduk tidak jauh dari Ratna, mencoba mencerna, apa yang sebenarnya terjadi. "Tidak mungkin Mas Ian dilihat dua orang di tempat yang berbeda, Mbak." Farhan bersuara setelah Ratna selesai bicara. "Prof. Wisnu jelas melihat orang yang memberinya kopi adalah Mas Ian. Sedangkan Aida sendiri bilang kalau papanya baru menjemput setelah magrib. Jadi wajar kalau memang Mas Ian masih di kampus." "Ini lagi ngomongin Mas Ian, OB di kantor Om Wisnu?" Miranti bersuara. Ada benang merah yang terputus di kepalanya sehingga ia belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi. "Iya, Mir. Semalam Mas Ian ditetapkan sebagai tersangka." "Oh, My." Kedua mata Miranti membulat sempurna. Dimainkannya ujung rambut dengan jari seraya menatap Ratna tak percaya. "Andromeda mengat
Andromeda duduk dengan kaki kanan berada di atas paha kiri. Ditatapnya Ian lekat-lekat sembari menggigit-gigit ujung Zippo. Puzzle kasus ini hampir lengkap. Siapa naga di balik aksi percobaan pembunuhan Wisnu juga sudah terdeteksi. Hanya tinggal menyambung dengan benang merah dan melakukan pembuktian-pembuktian. Namun, puzzle itu ambyar setelah kesaksian Miranti yang menguatkan alibi Ian. Semua bukti kembali mentah. Andromeda harus menelisik keping-keping puzzle itu satu per satu dan mencari celah kosong yang membuat susunan puzzlenya lowong. . "Mbak Lila kenal baik saya. Dia mungkin bisa meyakinkan Anda kalau manusia dalam video itu bukan saya." Wajah lelah Ian sesaat seperti bercahaya. Ada kilat harapan pada tatap mata yang semula sayu. Tiba-tiba saja sosok Kalila hadir di kepalanya seperti wahyu yang diturunkan Tuhan pada para nabi. Ia bukan nabi, tetapi ide yang baru saja muncul di kepala ia anggap wangsit, pelita di tengah hidupnya yang mendadak suram. Andromeda mengelilingi m