Share

Persiapan Pernikahan

Menyetujui ide licik papanya untuk sementara waktu adalah pilihan yang harus Belle putuskan secepatnya. Ia tak mau kehilangan harta dan segala kemewahan yang telah ia nikmati sejak kecil, Belle tak rela jika semua warisan Ronald jatuh ke yayasan yatim piatu yang dikelola oleh perusahaan. Belle masih waras, ia bisa merencanakan sesuatu yang lebih licik demi memenuhi permintaan sang papa.

"Apa syaratnya, Belle? Katakan dengan jelas di depan tamu kita yang akan menjadi saksi," desak Ronald ketika putrinya mendadak bisu dan pucat pasi.

"Aku ..." Belle mengawasi Ronald, Fendi, Josh dan notaris itu dengan tatapan gugup. "Kalau aku harus menikah dengan pria itu, aku nggak mau ada pesta yang besar-besaran. Cukup akad yang dihadiri oleh kalian dan keluarganya saja."

"Oke!" Dengan wajah puas, Ronald bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan pada Belle.

Saat putrinya menyambut jabatan tangan itu, Ronald kembali bersuara, "Deal!" sambungnya mantap.

"Selesaikan hubunganmu dengan Bryan. Papa nggak mau melihatnya atau mendengar lagu-lagunya diputar lagi di rumah ini, mengerti!?"

Dengan ragu, Belle menganggukkan kepalanya. Ronald tak tahu jika Belle sudah merancang rencana agar pernikahannya tak terendus media, pun ia akan membuat perjanjian dengan lelaki jelata itu sebelum mereka sah menikah.

Setelah menemukan kesepakatan, Belle pun berangkat ke kantor dengan suasana hati yang carut marut. Di satu sisi, ia lega karena harta warisan Ronald akan jatuh ke tangannya. Namun, disisi lain Belle juga terluka oleh perlakuan Bryan yang seolah-olah mencampakkan dirinya. Tiga tahun terasa sia-sia setelah Bryan menghilang begitu saja tanpa kabar berita.

Seharian di kantor, Belle tak bisa fokus pada pekerjaannya. Beberapa kali Tiana, Sekretaris Belle, harus meminta tanda tangan ulang karena Belle salah posisi dalam membubuhkan tanda tangannya. Sungguh, patah hati itu sangat menyakitkan.

Belum selesai Belle melamun, ia merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Dengan malas, Belle meraih gadget pipih itu dan membaca nama yang muncul di layar.

"Halo, Pa?" sapa Belle suntuk.

"Belle, apa kamu nggak membaca pesan papa? Kamu di mana sekarang? Zane dan kru Wedding Organizer sudah menunggumu sejak setengah jam yang lalu!" omel Ronald di ujung sana.

Wedding organizer? Secepat ini??

"Aku sibuk seharian ini, Pa. Baiklah, aku ke sana sekarang!"

"Cepat baca dulu chat papa!"

"Iyaaa, Paaa..."

Setelah sambungan telepon terputus, Belle membuka aplikasi chat dan membaca pesan dari papanya seraya menghembuskan napasnya panjang. Tak sampai satu jam, akhirnya Belle tiba di sebuah cafe yang lokasinya tak cukup jauh dari kantornya.

Wajah Zane yang semula datar, mendadak pias ketika tatapannya bertemu dengan Belle yang baru masuk ke dalam cafe. Kegelisahan pria itu bisa Belle rasakan dari gelagatnya, pun ekspresinya tak bisa menipu Belle yang sudah ahli dalam menebak mimik wajah orang.

"Oh, calon pengantin wanita sudah datang rupanya! Silahkan duduk, Kakak Cantik," sapa salah seorang kru wanita berkacamata dengan ramah.

Belle menyambut uluran tangan mereka dan beringsut duduk di sebelah pria bernama Zane itu.

"Tadi kami sudah berbincang dengan calon mempelai pria, katanya dia menyerahkan semuanya pada anda. Ah, betapa romantisnya kalian ini!" puji wanita itu lagi dengan pandangan berbinar ke arah Belle dan Zane. "Jadi anda ingin konsep yang seperti apa, Kak Belle?"

"Saya hanya ingin pesta yang private dan intimate. Itu saja. Selebihnya saya serahkan pada kalian, toh saya hanya ingin pesta akad saja." Belle meletakkan tasnya yang mahal di tengah-tengah antara dirinya dan Zane. Ia ingin Zane tahu jika Belle bukan wanita sembarangan. Barang yang ia kenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah benda mewah nan ekslusif.

"Oh, begitu, baiklah. Saya ada beberapa contoh konsep ..."

Belle menyimak penjelasan wanita itu dengan malas, terlebih harus duduk bersebelahan dengan pria yang tak selevel dengannya membuat Belle mual. Ia melirik seragam kerja yang dikenakan pria di sampingnya sekilas, seragam hitam dengan logo sebuah stasiun TV di bagian lengan. Badge dengan nama pria itu tercetak jelas di atas saku di bagian dada. Zanendra Prasetyo. Hmm, nama yang cukup bagus.

Merasa sedang diperhatikan, Zane melirik Belle sekilas. Degup di dalam dadanya bergemuruh hebat sejak wanita ini datang. Padahal tadinya Zane berdoa agar Belle tak hadir dan beralasan apapun asal mereka tak harus bertemu. Diluar dugaan, Belle justru datang dan bersikap manis seakan-akan mereka benar-benar pasangan yang sedang berbahagia.

"Sayang, kamu nggak makan?" Belle menyela penjelasan kru wanita itu dan memandang Zane dengan lekat.

Tentu saja Zane terkejut bukan main mendengar Belle menyebutnya demikian, apa kepala Belle baru saja terbentur sesuatu?

Dengan gugup, Zane menggeleng. "Tidak, tadi saya sudah makan di kantor."

"Kalau Kak Zane dan Kak Belle mau makan dulu gapapa kok. Kami akan menjelaskan sembari kalian berdua makan malam." Wanita tadi nampak curiga mendengar jawaban Zane yang terkesan formal untuk pasangan yang hendak menikah.

Pada akhirnya karena tak ingin membuang waktu, Belle menggeleng dan meminta wanita berkacamata tadi kembali menjelaskan. Selama satu jam berdiskusi, akhirnya Belle menentukan pilihan pada konsep indoor yang penuh dengan dekorasi bunga mawar putih. Belle sangat menyukai mawar putih karena baginya bunga itu memiliki makna khusus diantara dirinya dan Bryan. Bahkan salah satu lagu Bryan yang berjudul 'Mawar Putih Untukmu' meledak di pasaran.

Dua kru tadi lantas berpamitan pada Belle dan Zane setelah mereka mendapatkan konsep yang diinginkan calon mempelai. Setelah mereka pergi, Belle buru-buru menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari Zane.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Bisa minta waktumu sebentar?" ucap Belle dengan tatapan tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status