Share

5. Kemalangan

Dibawah guyuran hujan, Thena terduduk lemas di paving blok area halaman rumah Briant. Ya, Thena sudah dijual pada seorang pria cacat bernama Briant.

Bimo benar-benar ingin menyaingi Tuhan. Berani-beraninya dia membuat alur kehidupan yang menyengsarakan bagi Thena. Dengan hebatnya, pria bajingan itu menjual Thena pada seorang pria cacat yang bahkan tidak sudi membiarkan Thena menginjakkan kaki ke dalam rumahnya.

"Tuan, apa tidak sebaiknya dia dibawa masuk? di luar hujan deras, dia bisa sakit," ucap Ismail yang berbicara pada Briant menggunakan suara dan juga gerakan tangannya sebagai bahasa isyarat.

(Tidak boleh. Biarkan dia di luar dulu. Dia bekas pria bejat itu, biarkan air hujan membersihkan kotoran di seluruh tubuhnya) , kata Briant menggunakan bahasa isyarat.

Gerakan tangannya begitu penuh penekanan, tanda bahwa pria itu sedang dipenuhi oleh amarah.

"Tapi, tuan. Dia bisa sakit. Lagipula si Bimo itu sudah berkata bahwa dia tidak menyentuh istrinya sama sekali," ungkap Ismail.

Ismail mungkin memang seorang pria berusia 40 tahun yang punya sifat dingin, tapi tetap saja dia masihlah seorang Ayah.

Ia punya anak perempuan yang seusia Thena, membuat sisi nuraninya sedikit terusik saat melihat Thena terduduk gemetar di luar dengan kondisi tubuhnya yang basah kuyup karena kehujanan.

Mendengar ucapan Ismail, Briant pun langsung menatapnya tajam.

(Kamu percaya padanya, Ismail? Dia pria yang sehat. Dia gak bisa menahan birahinya, sekalipun dia benci pada istrinya)

Ismail diam.

Sekalipun usia Briant jauh lebih muda 10 tahun dibawahnya, tapi tetap saja Briant adalah majikannya. Ia tidak bisa membantah perintah pria cacat itu.

"Baik tuan, maaf kalo saya sudah lancang. Apa tuan pengen ke kamar sekarang?"

(Iya)

Tanpa menunggu lama, Ismail pun segera meraih pegangan kursi roda Briant, dan langsung mendorongku pergi.

Hening.

Padahal ada lebih dari 15 orang pekerja di rumah itu, tapi suasana tetap hening karena mereka terbiasa berbicara menggunakan bahasa isyarat.

Rumah Briant jauh lebih terang karena lampu-lampu dihidupkan. Hujan membuat langit gelap, jadi Briant tidak mempermasalahkan ketika lampu dirumahnya harus menyala terang.

***

(Jam berapa sekarang?) tanya Briant saat ia baru saja terbangun dari tidurnya, sementara Ismail duduk di samping tempat tidur untuk mengawasi keadaannya.

"Jam 3 sore."

(Bawa dia masuk, lalu panggil Bi Surti buat memandikannya. Beri wanita itu baju baru)

"Baik tuan."

Ismail bergegas keluar dari kamar Briant untuk sekadar mendapati beberapa pelayan sedang berkerumun di depan jendela di lantai dua.

"Ngapain kalian berkumpul kayak gitu?" tanya Ismail dengan suara baritonnya yang terdengar tegas.

Seketika, para pelayan itu berjengit kaget dan bergegas memisahkan diri.

"A-Anu, pak Mandor. I-Itu, si Neng Cantik yang pak Mandor bawa pingsan di luar," kata salah seorang pelayan berusia 30 tahunan.

Mendengar itu, mata Ismail langsung terbelalak dan ia pun bergegas berlari menuruni tangga dan terburu-buru pergi ke luar rumah.

Menerobos derasnya hujan tanpa menggunakan payung, Ismail langsung meraih tubuh lunglai Thena, dan membawanya masuk ke dalam rumah Briant.

"Surti! Buka kamar tamu!" teriak Ismail.

Seorang pelayan bernama Surti itu langsung berlari terburu-buru menuju kamar tamu yang tak jauh dari ruang tengah, dan langsung membukakan pintunya.

Dengan cepat, Ismail langsung membawa Thena masuk ke dalam kamar itu dan membaringkannya di atas tempat tidur.

"Lap tubuhnya pake handuk dan air hangat, lalu ganti bajunya. Di lemari ada baju baru untuk perempuan. Nanti beri dia makanan," perintah Ismail dengan napas terengah-engah.

"Baik, pak... tapi perempuan ini teh siapa?"

Ismail mengusap kasar wajahnya yang basah kuyup, lalu menatap wanita berusia 30 tahun itu dengan tatapan datar.

"Dia, Nona Thena– calon istrinya tuan Briant." Suara Ismail menyahut dengan napas yang masih memburu karena kelelahan.

***

"Emak... Abah...," lirih Thena memanggil orang tuanya.

Perlahan, Thena pun pulang mengerjapkan matanya beberapa kali, sampai akhirnya ia bisa menatap sekitarnya dengan jelas.

Ruangan besar dengan cat dinominasi warna cokelat dan krem.

"Aku di mana?" tanya Thena lirih, tapi tak ada seorangpun yang menjawabnya.

Thena mengedarkan pandangannya ke sekeliling, lalu menggenggam sprei dan juga tekstur tempat tidurnya, sampai akhirnya ia pun sadar bahwa ini bukanlah rumahnya.

Derai air mata itu pun mengucur deras dari pelupuk mata Thena, tat kala ingat kalau-

"Aku dijual suamiku sendiri...."

Ia terisak-isak pedih. Beberapa kali ia menyeka air matanya, tapi air mata itu tidak sekalipun berhenti mengucur.

Dada Thena naik turun dalam isak tangisnya, tanda bahwa saat ini perasaannya begitu hancur.

"Oh... anda sudah sadar?" suara seseorang yang tiba-tiba masuk itu membuat Thena tersentak kaget.

Buru-buru, Thena menghapus air matanya.

"Anda siapa, bu?" tanya Thena serak.

Ia berusaha bangun dari pembaringannya, tapi seketika kepalanya berdenyut nyeri.

"Oh, saya? Saya Bi Surti, salah satu pelayan di sini– Non kenapa? Sakit kepala?" ujar Surti lalu menatap khawatir ke arah Thena yang meringis sambil memegangi kepalanya.

Surti pun bergegas menaruh nampan yang dibawanya itu ke atas nakas, lalu duduk di tepi tempat tidur Thena.

"Kalo sakit, lebih baik tidur aja, Non."

Dengan perlahan, Surti menumpuk bantal di belakang Thena, lalu kemudian ia membantu Thena untuk bersandar.

"Terima kasih, bu," ucap Thena.

"Panggil Bi Surti aja, Non. Sekarang Nona makan dulu, ya? Bibi udah buatin sup ayam. Nanti beres makan langsung minum obat," kata Surti.

"Ayam?"

"Iya, Non. Ayam. Kenapa? Nona gak suka makan ayam atau alergi?" tanya Surti tak bisa menyembunyikan perasaan risaunya.

Thena menggeleng lemah. "Bukan. Aku gak tau rasanya daging ayam itu gimana, aku gak pernah makan daging ayam. Apa rasanya enak?" ungkapnya.

Untuk sejenak, Surti merasa terpana. Ia tidak habis pikir, memangnya manusia seperti apa yang seumur hidupnya tidak pernah makan daging ayam.

"Berapa usia Nona memangnya?" tanya Surti takut-takut.

Thena tersenyum kecut. "Mungkin 21 tahun, aku lupa."

"Lupa? Nona ini bercanda, ya? Nona kok kayak orang yang gak pernah ngerayain ulang tahun aja," canda Bi Surti yang berusaha tertawa.

"Aku emang gak pernah ngerayain ulang tahun, bu. Aku hanya orang miskin, makan sehari sekali saja rasanya udah hebat."

Surti tertegun.

Dengan susah payah ia menelan ludahnya, lalu memaksakan senyumnya.

"K-Kalau gitu dimakan ya sup ayamnya. Bisa kan makan sendiri?"

"Iya, bu."

"Kalo gitu bibi permisi," pamit Surti lalu terburu-buru keluar dari kamar Thena dan menutup pintu itu rapat-rapat.

Surti tidak benar-benar pergi. Dia berdiam diri di depan kamar itu, lalu menangis tanpa suara dengan membekap mulutnya.

"Kenapa?" tanya Ismail. Ia baru saja hendak membuka pintu kamar Thena dan masuk ke dalam, ketika Surti menghalaunya sambil menggeleng pelan.

Surti menarik tangan Ismail dan mengajaknya pergi ke sisi dinding yang agak sepi

"Dia perempuan yang pak Mandor ambil di mana?" tanya Surti dengan berbisik.

Ismail mengeryit.

"Kenapa memangnya? Itu privasi tuan Briant."

"Se-miskin apa dia, pak Mandor? Dia gak pernah makan ayam dan bahkan lupa umurnya," isak Surti.

Mendengar itu, Ismail hanya menghela napas berat lalu menepuk pelan pundak Surti.

"Sudahlah, jangan nangis. Nona Thena memang berasal dari keluarga susah. Dia datang ke sini karena dijual suaminya, jadi Surti... tolong bantu Nona Thena."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status