"Winda ...," teriak Mas Bram mendekatiku. Kemudian tanpa kusadari Mas Bram mengayunkan tangannya ke pipiku.
Plak !!
"Jangan keterlaluan kamu, selama ini aku sudah berusaha menahan dirimu karena Ibu. Aku sudah lama muak padamu, kini aku hanya mencintai Laras seorang bukan lagi kamu. Pergi kamu dari rumah ini, Pergi!" teriak Mas Bram yang membuat semua penghuni rumah terkejut termasuk aku.
Aku terpana tidak percaya, benarkah Mas Bram mengusirku? Hanya demi wanita ini dia sampai hati menampar dan mengusirku. Seketika bulir-bulir air merembes, runtuh sudah perlawanan ku.
Tadinya aku berbuat kasar hanya demi mempertahankan rumah tanggaku. Namun, tak kuduga Mas Bram malah tega melukaiku.
"Kenapa Mas? Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, demi wanita hina ini kamu tega menampar bahkan mengusirku. Kenapa?" teriakku mendorong tubuhnya.
"Karena aku udah gak cinta kamu lagi, aku udah muak melihatmu yang tak pernah se
Aku melangkahkan kaki menuju trotoar, kulihat kebelakang rumah yang sudah dua tahun ditinggali. Kini semua tinggal kenangan, kebahagiaan yang baru seteguk di rasakan hancur berkeping-keping karena ulah seorang wanita.Impian untuk menua bersama sang suami hanya dongeng belaka, yang tidak sedikit pun terbesit di hati mantan suamiku. Entah apa tujuan dia dulu menikahi ku, kalo memang dasar cinta kenapa baru dua tahun saja sikapnya sudah berubah.Andai dulu tidak menyetujui permintaan Ibu untuk tinggal bersamanya, pasti sekarang aku masih hidup bahagia bersama Mas Bram. Ibu ikut andil dalam menyesatkan Mas Bram hingga membuat dia berpaling dariku.Ah, sudahlah. Semua sudah berlalu, walaupun aku lega tapi tetap saja sakit masih menguasai hatiku. Ingatlah Bram, Ibu suatu saat nanti aku akan datang dan membalas semua perbuatan kalian, gumam ku bertekad.Ku stop taksi yang lewat dan ku pinta menuju terminal. Ya lebih baik aku pulang kampu
Perkataan Mbok sedari siang masih terngiang terus di telinga, rahasia? Mengapa begitu banyak rahasia yang tidak ku ketahui. Apakah rahasia itu baik atau buruk, aku takut akan seperti rahasia perselingkuhan Mas Bram.Setelah melepas lelah, aku segera ke kamar membereskan barang. Ku taruh kembali baju usang kedalam lemari, baju yang selalu menemani suka duka ku selama ini. Baju ini juga sebagai saksi dan simbol atas sifat kikir Mas Bram.Masih ingat jelas dalam benakku awal menikah dulu, Mas Bram pernah membelikan sehelai daster. Daster itu pula yang selalu ku pakai selama ini, hingga sobek dan berlubang. Mas Bram tau itu tapi tidak sedikitpun ingin membeli gantinya.Dia hanya bisa mencela terus mencela, katanya tak usah cantik karena aku selalu kerja di rumah. Tapi kenyataan nya itu jadi bumerang tajam bagi sikapnya. Dia yang pelit keluar uang, tapi dia juga yang tak terima aku jelek dan tak berdandan.Benarlah kata mutiara itu buah
Sementara itu, Bram merasakan kebahagiaan baru dengan wanita pilihannya. Setelah kepergian Winda, Bram sama sekali tidak mengingat lagi mantan istrinya itu. Hatinya sudah di penuhi oleh kehadiran Laras.Apalagi kini Laras telah mengandung, buah cinta mereka. Bagaimana tidak bahagia, selama dua tahun berumah tangga, tidak nampak tanda-tanda sedikitpun Winda hamil. Namun, baru jalan dua bulan dengan Laras, wanita itu malah hamil.Bram pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, alasan itu pula yang membuat Bram mantap menceraikan Winda. Tanpa Bram selidiki dulu benarkah anak yang di kandung Laras itu memang anaknya. Akan tetapi, emosi dan nafsu sesaat sudah membutakan mata dan hati Bram.Setelah menalak Winda, hari itu juga Bram menikahi Laras. Roman bahagia terpancar dari mata keduanya, saat menghadap penghulu dengan mantap Bram mengucapkan ijab qobul. Kini resmilah mereka menjadi sepasang suami istri.Kebahagiaan itu juga turut di ras
Ibu hanya menatap tajam kearah Bram, tidak menyangka Bram mengabulkan permintaan istrinya. Ibu takut uang Bram akan diselewengkan Laras, mengingat baru sehari jadi menantu tapi sudah berani protes.Bram juga terpaksa melakukan itu, dia tidak mau rumah tangganya terus ribut dan berakhir perceraian. Dia tidak ingin berpisah dengan Laras, sebab kini Laras bahkan sudah mengandung anaknya.*****Bram terus memohon pada ibunya agar mengabulkan permintaan istrinya. Sejahat apapun seorang ibu tetap menyayangi anaknya, melihat Bram terus merengek dengan berat hati ibu menyetujui tapi dengan syarat Laras mesti melakukan semua pekerjaan rumah.Bram sumringah, begitu juga Laras. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Dia tidak menyangka semudah itu membujuk suami dan mertuanya. Bram dan ibunya tidak tau bahwa kebaikan dan kelemahan mereka akan dimanfaatkan oleh Laras.Setelah menyelesaikan pekerjaan, sesuai janji Bram akan men
Ting!!Gawai Laras berbunyi, ternyata Bram sudah tiba di bawah. "Gawat, cepat kamu pergi! Suamiku udah sampai di bawah. Kamu menginap lah di kamar sebelah dan berpura-pura menjadi teman yang akan ku titipkan mobil," titah Laras.Pria itu mengangguk, kemudian setelah berpakaian secepatnya keluar dan masuk ke kamar sebelah. Saat itu Bram baru keluar dari pintu lift, sementara Laras membersihkan ranjang dan menyemprotkan parfum ke seluruh ruangan, agar bau pria itu tak terendus Bram.Lalu Laras mandi dan berpura-pura habis muntah hingga Bram yang baru masuk khawatir. "Ras, kenapa? Kamu sakit?" tanya Bram cemas sembari mengetuk pintu kamar mandi.Pintu terbuka dan Laras memasang ekspresi lesu, Bram segera memapah di ranjang. "Kamu sakit, Ras?" tanya Bram sembari menyentuh dahi Laras. Tidak panas, tapi mengapa muntah.Bram mengendus heran, kamar begitu wangi, seperti habis di semprot pewangi ruangan. Apakah karena terlalu w
Didalam pesawat Bram mencari nomer kursi sesuai di tiket. Nomer kursi 15 dan 16, pramugari segera mengarahkan mereka ke kursi penumpang.Penumpang hari ini lumayan ramai, masih banyak penumpang yang naik dan mencari kursi. Terlihat antrian di dalam pesawat. Dari jauh Bram seperti melihat seorang wanita yang di kenalnya. Dan saat melewati kursinya, Bram terkejut."Winda ... ?"Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku dan kaget. Ternyata dia mantan suamiku, "Mas Bram?"Dia hanya melongo memandangiku, mungkin dia tak tak percaya kalo aku yang miskin bisa naik pesawat. Atau dia pangling melihat penampilan ku.Wanita yang di samping Bram juga ikut terpana, dia menoleh saat Bram menyebut namaku. Mereka berdua tidak menyangka akan bertemu dan satu pesawat denganku.Aku masa' bodoh saja dan terus melewati mereka. Kulihat sekilas Laras menatap sinis ke arahku, ku balas tatapannya dengan sombong. Tunggulah beberap
Mbok menghambur di bawah kaki wanita itu. "Nyonya, maafkan aku. Aku Sri nyonya, yang dulu kerja di sini dan membawa putri nyonya," ucap Mbok sesenggukan.Wanita anggun itu mengangguk dan membantu Mbok berdiri. "Bangun Mbok Sri, aku masih inget kamu. Bagaimana aku melupakanmu. Kamu telah berjasa melindungi anakku," ucapnya tegas tapi lembut."Lalu dimana anakku, Mbok? Apa dia masih hidup?" tanyanya merasa bersalah.Mbok memanggilku agar mendekat, "Winda, kemari Nak. Inilah ibu kandungmu, ayo salim tangannya," titah Mbok.Mataku berkaca-kaca, entah aku harus sedih atau bahagia. Dari kecil hingga sekarang aku belum tau yang namanya orang tua kandung. Aku masih terasa asing dan segan.Wanita anggun itu menatapku, memperhatikan dari ujung rambut sampai bawah kaki dari matanya kulihat berembun. Dan sejurus kemudian dia berlari ke arahku dan mendekap ku. "Anakku, maafkan Mama sudah membuang mu. Mama berdosa, ya Allah," katany
Selesai makan bersama keluarga besar, Mama mengajakku ke kamar. Sebelumnya Mama telah menyuruh agar art membersihkan kamar yang akan kami tempati.Aku ingin Mbok bisa sekamar denganku, tetapi Mbok tidak mau. Mbok mengerti posisi dirinya dan tidak ingin membuat Mama cemburu karna aku lebih dekat pada Mbok.Kamarku berada di lantai atas di tengah-tengah kamar Mama Papa dan juga Haris. Sedangkan kamar yang di tempati Mbok berada dibawah berdampingan kamar art. Walaupun cuma dapat kamar di bawah, asal masih bisa bersamaku Mbok sudah sangat senang.Saat pintu kamar terbuka, aku tercengang melihat dalamnya. Sungguh sebuah kamar yang besar, ranjang dan lemari besar, apalagi jendela juga berukuran tinggi di hias dengan gorden yang cantik."Ayo, masuk! Kok malah bengong anak Mama," ajak Mama sembari menarik tanganku."Benar ini kamar Winda, Ma?" tanyaku tak percaya. Mama tertawa memamerkan giginya yang masih utuh.