"Beb!" Teguran bernada keras dari Poppy membuyarkan lamunan Ezra.
Ezra menoleh ke arah Poppy di sampingnya. Semua mata di meja itu memandang padanya.
Rupanya sejak tadi Poppy berkali-kali memanggil, tapi tak terdengar sebab pikiran Ezra sibuk mengembara.
"Oh, ada apa, Bee?" Ezra mengulas senyum indah ke arah tunangannya yang sedang menekuk wajah.
"Kamu kenapa sih? Dari tadi melamun terus!" protes Poppy kesal lalu menghambur ke kamar kecil.
Ketiga teman perempuannya terkejut dengan aksi Poppy.
Ezra memandangi yang lain dengan muka bingung.
"Dari tadi dia memanggilmu, tapi kamu tidak menyahut," jelas Vivian.
Keempat perempuan geng jetset Poppy akan berkumpul di griya tawang atau penthouse milik Clara. Griya tawang seluas 900 m² yang terletak di lantai teratas salah satu gedung apartemen mewah itu menjadi tempat berkumpul geng Poppy karena hanya dihuni oleh Clara bersama dua asisten rumah tangganya. Clara dan Poppy duduk di balkon, berbincang sembari menikmati embusan angin dan pemandangan dari lantai 22 gedung apartemen yang terletak di Jakarta Selatan itu. Tak lama kemudian, Vivian dan Tessa datang melalui akses lift pribadi. "Pop, aku dapat info sewa detektif dari Jeremi, nih," ujar Vivian sambil menghempaskan tubuhnya di sofa empuk ruang tengah. Ia menyodorkan kartu nama berwarna biru muda kepada Poppy yang datang menghampirinya bersama Clara. "Kamu bilang ke Jeremi kalau Poppy mau memata-matai Ezra, Vi?" tanya Tessa.
Jovita sedang berlari pagi di jalan Bukit Golf Utama tak jauh dari rumah orang tuanya ketika sebuah Lexus berhenti di depannya. Ia mendengkus kesal karena aktivitasnya terganggu oleh makhluk sialan itu. Ezra turun dari mobil, berpakaian kasual dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. "Sejak kapan kamu rajin lari pagi?" "Sejak masalah dalam hidupku pergi," sahut Jovita. Ia hendak melanjutkan lari ketika tangan Ezra menahannya. "Aku ingin mengajakmu bertemu Vanya," ujar Ezra. Jovita tersentak. Ini hari Sabtu, hari yang menurut Kiara adalah jadwal Ezra mengunjungi Vanya. Ezra memandangi Jovita yang bersimbah peluh. Keringat yang membasahi pakaiannya memperlihatkan lekuk tubuh Jovita, menghadirkan imajinasi liar
Gigi Poppy gemeletuk, napas memburu, jemari tangan mengepal menahan amarah saat detektif yang disewanya memaparkan hasil temuan investigasi sebulan ini. Ia tidak sanggup berkata-kata, hanya ingin berteriak dan melempar semua barang yang ada di hadapannya. Clara melirik ke arah Poppy, lalu berkata pada Edi, sang detektif. "Terima kasih banyak atas informasinya, Pak Edi. Nanti kalau ada hal yang perlu kami tanyakan, boleh kami hubungi kembali?" Ia memutuskan untuk mengakhiri pertemuan sebelum Poppy melampiaskan kekesalannya di depan orang. "Sama-sama, Bu Clara. Silakan menghubungi saya kapan pun," ucap Edi. Ia kemudian pamit pulang, berjalan menuju pintu yang menghubungkan dengan area lift pribadi griya tawang Clara. Seperti dugaan Clara, begitu Edi beranjak pergi, Poppy langsung menangis sambil memukulkan cushion ke so
Ponsel Jovita berdering, sebuah nomor yang belum tersimpan di memori gawainya tampil di layar. "Halo," sapa Jovita. "Halo. Apakah ini dengan Jovita?" tanya perempuan di seberang. "Maaf, ini dengan siapa?" "Ini Poppy, tunangan Ezra," jawab perempuan tersebut. "Oh ... ada perlu apa ya, Pop?" "Aku ingin mengundangmu makan malam. Kapan kamu punya waktu?" tanya Poppy tanpa b**a-basi. Jovita menelan ludah. "Dalam rangka apa, ya?" "Ada yang perlu kudiskusikan supaya ke depannya tidak ada masalah setelah aku dan Ezra menikah," sahut Poppy.
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang