Aku tertawa sekilas membayangkan betapa hebohnya mereka di rumah sekarang. Rumah mungkin lebih berantakan dari tadi, karena tidak ada satupun temannya Santi yang bisa melakukan pekerjaan rumah. Apalagi memunguti sampah kuaci yang kecil-kecil pakai tangan, pastinya sangat melelahkan.
Duh, kasihan sekali. Besok-besok tidak usah bertamu ke rumah anak menantuku lagi jika dalam membuang sampah pada tempatnya saja mereka tidak lulus. Ngakunya lulusan universitas, tapi adabnya tidak ada. Bukankah orang yang beradab itu lebih tinggi derajatnya dari orang yang berilmu?
Aku duduk di balai bambu yang sengaja minta dibuatkan pada Akmal saat pertama datang ke rumah ini. Lumayan bisa mengobati rinduku pada kampung halaman. Tempat ini sangat sejuk dan jadi favoritku karena letaknya di bawah pohon mangga dan rambutan cangkokan. Cukuplah untuk mengademkan hati saat melihat kelakuan menantuku yang menguras emosi.
"Ibuu! Bantuin!" seru Santi, meletakkan tangannya di atas balai bambu. Dia ngos-ngosan dengan wajah dan bajunya belepotan tepung dan bau amis dari telor. Sepertinya dia sudah mendapatkan balasan niat buruknya dengan melakukan pekerjaan itu sendiri. Aku melirik arloji menantuku yang sudah menunjukkan hampir jam makan siang. Aku kasihan padanya yang terlihat kelelahan. Sebentar lagi anakku akan pulang. Kasihan kalau dia kecewa dengan istrinya yang gagal memberikan bolu yang enak.
"Kalau salah, minta maaf dulu," balasku sok cuek. Aku tidak mau langsung menuruti permintaannya.
"Iya-iya, Bu. Santi minta maaf karena sudah berniat jahat sama Ibu. Aku kapok, Bu," ujar Santi. Dari sorot matanya masih terlihat kurang ikhlas. Tapi tak apalah. Pelan-pelan saja, yang penting mau memperbaiki diri. Mana ada manusia sempurna di bumi ini? Dia sedang khilaf dan mau meminta maaf sudah patut dihargai.
"Ya sudah, Ibu maafin," balasku, tersenyum ramah. Santi memegang tanganku dan kami berjalan bersisian. Coba aja dia sejinak ini setiap hari. Mungkin aku akan merasa jadi orang paling beruntung di muka bumi ini. Ya, standar kebahagiaanku sesederhana itu. Dia pasangan hidup dari anakku, kebahagiannya juga kebahagiaanku.
Aku mengulum senyum melihat semua sampah bekas kuaci sudah bersih, tinggal lantainya yang belum di sapu karena alatnya kusimpan. Teman-temannya Santi juga tidak kalah mengenaskan darinya. Ada yang sudah basah bajunya dan berlumur tepung dan salah satu dari mereka barusan terpeleset di lantai yang basah.
"Astagfirulloh! Siang-siang kok ada hantu ya, San?" seruku. Keempat wanita muda itu terkejut dan menatapku takut. Apa wajahku seseram itu? Mereka saja yang belum mengenal sifatku.
"Kalian kalau kerja itu jangan grasak-grusuk! Coba yang ikhlas, pakai hati, semuanya akan cepat selesai dan hasilnya lebih maksimal," imbuhku. Santi dan teman-temannya menunduk, persis seperti siswa yang ketakutan pada gurunya. Baguslah. Ini lebih menguntungkan. Saatnya memperlihatkan kalau wanita tua ini bukan orang yang pantas disingkirkan.
Aku mengambil sapu ke kamar dan menyuruh salah satu teman Santi yang pakaiannya tidak basah untuk menyapu ruang tamu. Yang sudah terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian. Eh, maksudnya yang bajunya basah kusuruh bagian mencuci piring. Tinggal Santi kuperlihatkan cara membuat bolu pandan yang enak, makanan kesukaan suaminya. Kelak jika aku telah tiada, tangan lembutnya itu bisa membuat bolu seenak buatanku. Dengan begitu, rasa rindu Akmal pada ibunya ini akan terobati.
Maut itu suatu yang pasti, tinggal waktunya saja yang masih rahasia. Kalau Akmalku memiliki pasangan wanita soleha, tentu aku kebagian pahala setiap harinya. Mereka saling mengingatkan untuk mendoakanku dan Bang Ande yang telah lebih dahulu menghadap Ilahi.
"Cepat kalian mandi, Nak! Ini tinggal nunggu beberapa menit lagi di oven sudah masak. Dandan yang cantik ya, Sayang," ujarku, mencubit pipi menantuku yang sedikit gembul.
"Tapi temanku gak ada yang bawa baju, Bu. Aku ambil dulu baju untuk mereka," balas menantuku.
"Enggak usah, Nak. Kalau kamu memberikan bajumu untuk mereka, takutnya Akmal tidak kenal istrinya dari belakang. Apalagi bentuk badan dan potongan rambut kalian kompakan. Emangnya kamu mau kalau suamimu salah peluk istrinya?" tanyaku dengan lembut. Santi menggeleng.
"Cepat sana! Itu urusan Ibu," imbuhku. Santi mengangguk dan melenggang ke kamarnya yang memiliki kamar mandi di dalam.
"Lalu, kami pakai baju siapa dong, Bu?" tanya Sindi ragu. Hanya dia yang kuingat namanya karena sering datang ke rumah ini menjemput Santi mau ke luar.
"Pakai baju Ibu saja. Gak usah dibalikin lagi nanti! Ayo! Kalian mandi di kamar Ibu. Sebentar lagi Akmal pulang," titahku dan berjalan mendahului.
"Apaaa? Pakai baju nenek-nenek?" celetuk yang bergigi gingsul.
"Saya masih ibu-ibu, belum nenek-nenek kok. Kan belum punya cucu," kekehku. Keempat wanita muda itu tak bisa mengelak dan berjalan gontai menuruti perintahku. Mereka masih muda dan mau bermain-main dengan wanita tua ini, yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Terima sendiri akibatnya. Semoga saja tidak menyakiti perasaan mereka.
***
"Masya Allah, selain cantik, istriku bisa masak bolu juga? Ini enak banget, Dek!" puji Akmal. Santi tersenyum simpul hingga wajahnya merona.
"Tapi kok persis buatan Ibu, ya?" imbuh Akmal, curiga menatapku. Oalah, anakku. Kenapa kamu buat istrimu merengut? Memuji istri itu tidak akan merugikanmu.
"Ya jelas persislah. Kan Ibu yang ajarin. Coba aja kalau Santi sudah mahir, rasanya pasti jauh lebih enak. Tunggu saja waktunya. Iya kan, San?" timpalku. Santi tersenyum, lalu mengangguk.
"Alhamdulillah. Pasti seru tadi acara masak-masaknya, ya? Harusnya tadi didokumentasikan biar bisa kita tunjukkan pada anak-anak kita kelak loh, Dek. Mereka akan senang melihatnya," celetuk anakku, menatap sang istri. Aku hampir saja tertawa kalau tidak ingat itu bisa melukai perasaan menantuku. Kalau sampai kejadian masak-masak tadi divideokan, bisa malu anak-anak muda se-Indonesia. Hihihi.
"Eh, Sindi, Laura, Dila sama Ningsih kok pakaiannya beda hari ini? Biasanya juga pakai jeans, ini malah stelan katun. Kamu kok belum punya yang kayak gitu, San? Biasanya juga kompak," ujar Akmal, menoleh sekilas pada teman karib menantuku, lalu beralih menatap Santi dengan penuh cinta. Tatapannya pada menantuku itu yang berulang kali membuatku berpikir keras agar Santi tidak sampai sakit hati. Dia cintanya anak semata wayangku.
"Memangnya baju itu cantik ya, Bang? Sesuai dengan aku yang masih muda?" cecar Santi, seperti kurang yakin.
"Lah iya, Dek. Kamu suka? Nanti abang belikan deh untuk kamu," balas Akmal, menjawil hidung istrinya.
"Iya, Bang. Kirain Abang gak suka kalau aku pakai yang seperti yang itu," balas Santi. Senyumnya terkembang ke arah suaminya.
Tadi, dia mencerca setelan baju yang panjangnya sampai lutut itu. Ternyata, setelah dipuji suaminya, menantuku itu jadi suka dengan seleraku. Alhamdulillah ya, Allah. Semoga ini jadi permulaan dia mulai suka juga pada wanita tua ini.
"Aku balik ke kantor dulu ya, Bu!" pamit anakku. Tak lupa dia selalu mencium pipi keriput ini. Sejak kecil, ini jadi kebiasaan kami, layaknya seperti kecanduan. Mungkin karena aku cuma punya satu anak, kami jadi sangat dekat. Mencukupi kebutuhannya itu prioritas, tapi kedekatan kami juga tak kalah penting.Ia pamit pada teman-teman Santi dan kami membiarkan menantuku mengantarkan Akmal sampai masuk ke mobil. Sejoli itu nampak bergurau sebentar sebelum akhirnya saling melambaikan tangan."Bu! Apa benar baju ini gak usah dibalikin? Ini masih baru loh," ujar Sindi. Mungkin mereka mulai menyukai baju itu karena beberapa kali kulihat para wanita muda itu mengambil foto bersama dengan berbagai gaya."Iya. Rejeki kalian. Kalian harusnya memakai pakaian seperti ini. Aura cantiknya keluar," pujiku. Wanita suka sekali dipuji dan ini memang benar bukan gombalan semata. Mataku lebih adem melihat pakaian mereka yang sopan seperti ini, apalagi saat bertamu ke rumah ini.Mereka kadang memakai baju u
"Hallo putri mama yang syantik. Gimana kabarnya, Sayang? Kamu enggak sakit hati kan tinggal sama mertuamu? Atau … dia pernah bicara kasar? Ih, kamu kok pake baju kayak gini? Gak modis tahu," cerocos besanku. Suaranya yang khas langsung kukenali dari dapur. Aku menghentikan langkah melihat Bu Lilis membolak-balik badan menantuku.Tidak ada salahnya perhatian pada anak sendiri? Apakah perlu sampai seperti itu? Selalu mertua yang jadi tersangka. Apa aku kelihatan seperti orang yang kasar?"Aku baik-baik saja, Ma. Gak usah berlebihan deh. Ada apa datang ke sini?" Santi balik nanya. Sepertinya Santi sudah terbiasa berkata kurang sopan sejak masih gadis. Anehnya, besanku malah tertawa."Belakangan ini kamu jarang nelpon sama Mama. Wajar dong kalau khawatir. Kamu itu putri ibu satu-satunya," balas besanku. Tak enak melihat mereka masih berdiri di teras, aku menghampiri dengan senyum terkembang.Aku dan Bu Lilis bisa dikatakan bernasib sama. Dia dan suaminya hanya memiliki Santi, sedangkan ak
"Kami keluar dulu ya, Ma, Bu. Mau cari makanan untuk kita," ujar Akmal, menggandeng tangan Santi. "Yang mama bilang tadi gimana, Akmal? Ada, kan?" tanya besanku, melirik sekilas padaku. "Ada, Bu. Kami sekalian mau beli makanan untuk Papa mertua," ujar anakku. "Eng-enggak usah, Nak Akmal. Tentu akan merepotkanmu. Kamu sudah capek pulang kerja, mama gak mau kalau kamu terlambat kerja besok," elak besanku. Harusnya dia senang kalau menantunya mau menjenguk, ini kok tidak diperbolehkan."Enggak apa-apa, Bu Besan. Akmal ini kan sudah tak punya Ayah. Dia sudah menganggap mertuanya sebagai ayahnya. Santi juga pasti khawatir dengan papanya yang sedang sakit. Walau niat kita agar tidak merepotkan mereka, tapi kita tak boleh menghalangi anak-anak untuk berbakti, Bu," ujarku menimpali."Iya, betul kata mertua Santi, Ma. Santi mau jenguk Papa. Masa karena aku sudah menikah, gak boleh lagi menjenguk Papa yang sakit," ujar menantuku. Bu Lilis tersenyum hambar dan melepas kepergian anak menantu k
"Sejak kapan Ibu punya ponsel kayak gini? Kok Akmal gak pernah lihat, Bu?" cecar anakku, membolak-balik ponsel dengan wallaper fotoku dan Bang Ande berdiri di kiri dan kanan Akmal saat wisuda. "Jangan dibuka, Bang! Itu kan privasi Ibu," larang Santi saat suaminya mulai mengutak-ngatik ponselku. Ah iya, aku baru ingat. Rekaman percakapan Santi saat berniat membuatku pulang kampung itu belum kuhapus. Santiku sudah mulai berubah dan aku tak mau kalau Akmal membenci istrinya. "Loh, kamu sudah tahu, San?" tanya Akmal. Menantuku mengangguk pelan. "Ini sudah lama, Nak. Maaf tidak memberi tahumu. Untuk komunikasi saja dengan teman-teman seangkatan ibu yang kebanyakan sudah PNS. Mereka ditugaskan di berbagai kota dan desa yang jauh. Kami tak bisa reunian lagi. Bisanya ya cuma melalui WA group. Bisalah mengobati kerinduan dengan teman-teman seperjuangan. Mereka kebanyakan sudah punya banyak cucu. Repot kalau mau reunian," jelasku seraya tersenyum.Akmal meletakkan ponsel itu dan memeluk ibu
"Santi? Kenapa kamu masuk kamar, Nak? Jangan takut, San! Om Arman itu orangnya baik. Dia tak akan melukaimu. Ibu juga akan melindungi kamu kok. Tidak akan terjadi apa-apa," ujarku, mengusap kepala menantuku yang meringkuk di atas ranjang. Dia masuk ke kamarnya dan Akmal saat mereka kupestakan di kampung ini. Kamar yang penataannya tak berubah sejak kami tinggalkan. Tidak ada debu yang menempel di sana, pasti karena Lita rajin membersihkan ruangan ini juga. "A-aku takut, Bu. Aku mengaku pernah salah. Ta-tapi aku menyesal, Bu," ujar Santi tergagap. Kesalahan apa yang dilakukan menantuku sampai Arman mengatakan kalau Santi tak punya adab? Kenapa menantuku ini begitu ketakutan? Kupeluk Santi dan mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Aku siap memasang badan agar pasangan hati anakku tidak terluka. Arman memang adikku. Kami memiliki pertalian darah. Tapi, Santi itu istri dari anakku. Aku harus bisa berdiri di tengah agar perselisihan mereka tidak menimbulkan kecemburuan. "Santi t
Aku dan Santi pamit pulang karena badan masih butuh istirahat. Tak lupa juga Lita kuajak tidur di rumah. Aku sudah merindukannya. Lita ini suka membaca, tapi kurang suka menulis. Dia lah yang memperkenalkanku dengan platform kepenulisan untuk mengusir kejenuhan. Siapa sangka, qku malah berpenghasilan dari sana. "Kita tidur di kamar ibu aja, ya," usulku. Karena Akmal dulu gak mau pisah tidur sampai remaja, tempat tidur kami yang terbuat dari papan didesain lebih luas. Muat lah untuk tiga orang dewasa."Santi tidur di kamar sebelah aja, Bu. Tadi udah janjian mau nelpon sama Bang Akmal. Nanti Ibu sama Lita terganggu," balas menantuku. Aku tersenyum dan mengiyakan. Mereka masih dimabuk asamara. Wajar kalau saling merindukan.Aku mengajak Lita ke kamar dan malam ini kami bisa bercerita dengan bebas. Aku sempat melihat perubahan ekspresi wajah Lita saat Santi bilang mau menelpon dengan suaminya. Apakah keponakanku ini masih kepikiran abang Akmalnya? "Sayang! Apa benar kamu menyukai Akmal?
"San! Santi! Buka pintunya, Nak!" seruku. Aku menekan gagang pintu dan ternyata tidak dikunci, lantas masuk ke dalam rumah. Santi sedang duduk di kursi rotan yang membelakangi pintu. "Pipimu terluka, San? Ya Allah, maafkan Ibu, San. Ibu akan ambilkan obat," ujarku panik sekaligus merasa bersalah. Sifat buruknya dahulu telah membuatku langsung curiga kalau dia masih angkuh dan licik.Astagfirullah! Wajar saja menantuku tadi langsung menghempaskan tangan Bu Darmi. Ternyata pipi Santi memerah dan sedikit terkelupas kulitnya. "Ibu sayang gak sih sama Santi? Kenapa membentakku di depan orang itu, Bu? Sakit hati ini lebih parah dari ini" ujar menantuku sambil menunjuk pipinya."Ibu minta maaf, Nak. Ibu khilaf dan spontan membentakmu. Mungkin karena melihat Bu Darmi yang sudah tua, ibu langsung terenyuh dan bersimpati padanya. Ibu juga terlalu fokus dengan ucapanmu yang terkesan sombong. Padahal, kamu hanya ingin membela diri," balasku sambil mengoleskan minyak akar tumbuhan ke pipi Santi.
"Sombong banget tuh Bu Khadijah sekarang. Mentang-mentang dia sudah jadi orang kota sekarang. Menantunya salah, dia diam saja. Aku sudah menunggu tadi malam, kirain mereka datang mau minta maaf, sekalian bawain oleh-oleh. Eh, rupanya gak ada," ujar Bu Darmi. Ia sedang sibuk bergosip dengan tetangga yang lain sambil memetik sayur daun singkong milikku. Halaman belakang rumahku lumayan luas dan tanahnya sangat subur. Aku membiarkan warga mengambil berbagai sayur itu untuk dikonsumsi sendiri. Asal jangan di jual saja."Ehem! Rupanya ada yang sudah bergosip pagi-pagi begini ya!" celetukku. "Eh, Bu Dijah. Kirain tadi belum bangun. Biasa kan orang kota malas bangun pagi. Kami jadi belum izin mau ngambil sayur," seru Bu Liana. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak ditutupi apa-apa. Aku melihat dengan jelas, liur basi bahkan masih menempel di dekat bibirnya. "Gak semua orang kota malas bangun dan belum tentu juga orang kampung itu rajin, Bu. Semua tergantung orangnya. Tuh, dengerin! Mena