"Dan untuk Ibu, aku membeli mesin cuci dengan uangku sendiri. Tak sedikit pun meminta kepada Ibu," tegas Safira, kini memandang lekat wajah sang mertua.
Wajah kedua teman Mirah berubah masam, yang tadinya senyum-senyum penuh ejekan sekarang menjadi tak enak dipandang begitupun dengan sang mertua.
"Kurang ajar! Berani kau bicara tak pantas kepada ibu dari suamimu, hah? Perempuan mandul!" cetus Mirah dengan dada naik turun. Amarahnya menggelora melihat wajah Safira.
Bagai dihantam batu besar yang tiba-tiba turun dari langit. Hati Safira terasa sangat hancur menjadi seperti debu beterbangan. Bibirnya seolah terkunci dan tubuhnya kaku. Hanya air mata yang mulai bergerak perlahan dan lama-lama semakin deras sampai menetes ke sepatunya.
Ia terpaku di tempatnya berdiri memandang ketiga wanita yang menjauh meninggalkannya sambil menggerutu membicarakan dirinya.
***
"Safiraa, Safiraa," teriak Mirah dari lantai dua memanggil menantunya.
Safira yang sedang asyik dengan ponselnya di kamar segera keluar, berlari menaiki tangga, menghampiri ibu mertuanya yang sudah berdiri berkacak pinggang di tempat jemuran.
"Ada apa, Bu?" tanya Safira, terengah-engah.
Rambut yang digerainya tertiup angin yang berembus melalui terali jendela seperti daun-daun melambai dari tanaman yang digantung di tempat menjemur pakaian tersebut.
Jemari Mirah diketuk-ketuk di atas mesin cuci yang baru dibeli menantunya kemarin. Di balik kacamata persegi panjangnya dua buah bola mata melotot menatap perempuan yang berdiri di depannya.
"Lihat! Apa ini?" bentak Mirah, menunjuk setumpuk pakaian kotor di dalam keranjang.
"Pakaian kotor, Bu," jawab Safira, melawan tatapan sang mertua.
"Kenapa pakaian Ibu dan Zafar tak kau cuci, hah?" tanya Mirah masih bernada tinggi.
Mata Safira melirik ke atas, melihat hanya pakaian miliknya dan Sadam yang tergantung berayun-ayun. Ia sengaja tak mencuci pakaian kotor ibu mertua dan adik iparnya.
Perkataan tak pantas yang dilontarkan Mirah kemarin di kantor tak mudah hilang begitu saja di ingatan Safira, malah membekas dan mungkin tak akan pernah bisa dilupakan sampai kapan pun.
"Kenapa tak kau cuci, Safiraa?" teriak Mirah tambah melotot seakan bola matanya hendak loncat.
Seluruh tubuh Safira gemetar dan keringat dingin mulai muncul di keningnya. Ia melawan ibu mertuanya karena sudah terlalu sering diperlakukan buruk. Perkataan mertuanya kemarin membuat Safira kesal dan jengkel hingga ia tak mau mencuci baju kedua orang itu.
"Ibu masih punya tangan yang bisa digunakan untuk mencuci baju Ibu sendiri dan juga Zafar." Bergetar bibir Safira bicara kepada ibu mertuanya.
Pasalnya selama ini ia selalu diam dan mengalah, tetapi kali ini luka yang ditorehkan oleh ibu dari suaminya itu sudah terlalu dalam di hatinya. Ia tak pernah menyangka kalau sang mertua akan tega mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul sampai hampir seluruh orang di ruang kerja mencibir dirinya. Bukan hanya masalah Safira yang belum juga hamil setelah dua tahun menikah dengan Sadam, tetapi ternyata setiap apa pun yang dilakukan Safira menjadi buah bibir di kantornya.
Perempuan berkulit seputih porselen itu tak habis pikir dengan ibu mertuanya bisa sampai tega menjelek-jelekkan menantu sendiri di tempat mereka bekerja. Memang mereka berdua tak satu gedung, tetapi Mirah memiliki banyak rekan di gedung tempat menantunya bekerja.
Tak tahan dengan cibiran dan tatapan orang di kantor, Safira memutuskan untuk izin pulang kemarin siang. Bayangkan saja perkara mesin cuci dan skincare yang dibelinya pun menjadi bahan pembicaraan.
"Lancang sekali kau menyuruhku mencuci!"
Tangan kanan Mirah berayun di udara dan sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Safira. Sekejap saja pipi putih itu mulai memerah.
Pipi Safira yang memerah mulai terasa perih dan panas. Sontak tangannya mengelus pipi kirinya. Jantungnya berdetak sangat kencang, terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan ibu mertuanya.
Mata indah Safira mulai berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak seakan terhimpit benda berat. Dari hari ke hari mertuanya semakin memperlakukan Safira dengan buruk.
"Cuci semua baju itu sampai bersih! Pakai tangan! Mengerti?" bentak Mirah.
"Ta-tapi, Bu—," sela menantunya itu.
"Kalau telingaku mendengar suara mesin cuci, akan aku hukum kau," geram Mirah, menunjuk daun telinganya sendiri.
"Satu lagi, jangan sampai kau mengadu kepada Sadam kalau aku menamparmu tadi."
Mirah berjalan melewati menantunya, lalu, mendorong punggung Safira hingga terjatuh. Mirah mendengkus kesal dengan kelancangan Safira yang menyuruhnya mencuci sendiri.
"Aah," pekik Safira saat didorong mertuanya hingga terjatuh.
Panas dan perih di pipinya saja belum hilang, kini, lututnya memerah karena terbentur lantai. Air mata kembali meleleh membanjiri pipinya, sambil terisak ia menyeka pipi yang kemerahan itu seraya terus terisak.
Pagi itu ia harus mengeluarkan tenaga lebih untuk mencuci baju ibu mertua dan adik iparnya. Padahal mesin cuci yang baru dibelinya kemarin terpampang jelas di depan mata Safira. Justru ia mengganti mesin cuci lama yang rusak agar meringankan pekerjaannya. Sekarang malah harus mencuci menggunakan tangan sendiri.
Satu per satu baju-baju yang direndamnya tadi mulai dikucek dan disikat. Sesekali Safira menyeka keringat di dahi dan pelipisnya. Air matanya sudah mengering hanya tinggal bekasnya yang berkilau terkena sinar matahari.
Semua pakaian yang penuh dengan busa sabun mulai dibilas olehnya dan dijemur satu per satu. Tulang belakangnya terasa sangat sakit saat ia meluruskan tubuhnya yang sedari tadi membungkuk.
Akhirnya, semua cucian sudah dijemur. Pekerjaan Safira sudah selesai. Ia menggeliat-geliat karena seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal.
"Mertua jahat," cibirnya, menjulurkan lidahnya.
Safira duduk sebentar di tempat menjemur pakaian, menikmati angin sepoi-sepoi yang bebas keluar masuk karena tempat jemuran itu tak dipasang jendela kaca hanya terali lebar bermotif terbuat dari besi agar pakaian yang dijemur lebih cepat kering terkena angin dan sinar matahari langsung.
Perutnya mulai keroncongan minta diisi. Matahari pun mulai beranjak naik, tetapi Sadam belum juga pulang dari lari pagi setelah Subuh tadi.Safira memutuskan untuk mandi saja setelah rasa lelahnya mulai hilang sambil menunggu Sadam pulang. Semalam ia minta diantar berkunjung ke rumah orang tuanya karena sudah rindu ingin bertemu ibu dan bapaknya. Safira duduk di depan meja rias, memandangi wajahnya yang cantik dan anggun. Sebenernya, Mirah sangat beruntung punya menantu secantik Safira, hanya karena Safira yang tak kunjung hamil. Jadi, Mirah membenci dirinya. "Safiraa, Safiraa," teriak Mirah lagi membuat menantunya itu tersentak. "Astaga, apa lagi, sih?" Safira membanting tempat skincare-nya ke atas kasur saat berdiri.Safira berlari kecil keluar dari kamar menghampiri Mirah yang terus memanggil namanya. Ia berdiri di depan sang mertua yang berada dapur. Mata indahnya berkedip-kedip memandang wajah sang mertua yang tak enak dipandang. Ia merasa risih saat mata Mirah memindai setia
Ia hanya bisa mengadu kepada Sadam. Tak mungkin mengadu pada kedua orang tuanya kalau ia selalu diperlakukan buruk oleh sang mertua. Perempuan berwajah cantik itu tak ingin ibu dan bapaknya khawatir. Untungnya Sadam selalu membela dirinya selama ini. Hal itu adalah salah satu alasannya tetap bertahan meskipun terkadang merengek minta pindah rumah, mengontrak pun tak masalah bagi Safira."Keterlaluan sekali Ibu berani menamparmu. Biar nanti aku bicara dengannya," kata Sadam, sedikit marah kepada sang ibu."Sudah, biarlah, Mas. Mau bicara apa pun juga tak akan pernah mengubah sikap Ibu terhadap aku. Ia memang tak menyukaiku, Mas," tutur Safira, menatap lurus ke depan.Namun, Sadam tetap akan bicara dengan ibunya. Sebagai suami, ia tak terima istrinya sampai ditampar seperti itu. Ia pun tak pernah berlaku kasar kepada Safira apalagi sampai memukul dan menamparnya. "Ya sudah, terserah, Mas, saja," balas Safira, menghela napas panjang.Tak lupa Safira pun mengungkapkan unek-unek dalam hat
"Ibu bicara apa, sih?" Sadam mulai kesal dengan sikap ibunya kepada sang istri. "Memang istrimu seperti itu, 'kan? Maunya hidup enak dan senang. Bisanya menghabiskan uang saja, heh," cetus wanita yang memakai daster selutut dan lengan pendek itu."Aku katakan sekali lagi, ya, Bu. Saat pulang kerja kadang aku merasa lelah sekali, tetapi masih harus mengurus cucian dan pekerjaan rumah lainnya," tukas Safira."Diam! Beraninya kau bicara lancang padaku," timpal Mirah.Safira pun terdiam, menghela napas kasar dan wajahnya berubah cemberut. Senyuman yang menghiasi wajahnya kini berubah seketika. Perasaan senang setelah bertemu kedua orang tua kini berubah kembali menjadi kesediaan dan sakit hati yang teramat.Ia benar-benar merasa sangat lelah dan butuh bantuan orang lain. Selama ini Mirah tak pernah sedikit pun membantunya. Setidaknya kalau tak ingin membantu, biarkan orang lain saja.Namun, justru keinginan Safira dan Sadam sangat ditentang oleh Mirah. Safira dicibir terus-menerus oleh m
"Mertuamu itu memang tak bisa masak enak, ya, Sadam," cetus Mirah. "Ayamnya ini terlalu pedas! Mau bikin Ibu sakit perut, iya, hah?" imbuh Mirah yang mengalihkan pandangan ke menantunya."Bukannya Ibu suka makan pedas. Lagi pula ini tak terlalu pedas," bela Sadam."Kau selalu saja membela perempuan ini," ketus wanita berkulit putih itu. "Lihat, Nala! Adikmu selalu tidak mempedulikan Ibu," ucapnya kepada putri pertamanya."Kalau Ibu memang tak suka masakan ibuku, tak perlu dimakan," sela Safira.Selera makannya kembali hilang, padahal sebelumnya ia sangat senang dibawakan makanan oleh ibunya sendiri. Masakan sang ibu membuat nafsu makannya bertambah, tetapi malah dihina oleh ibu dari suaminya."Diam kau!" bentak Mirah."Cukup! Cukup, Bu! Sikap Ibu terhadap Safira sudah keterlaluan, selalu saja ada hal yang dipermasalahkan. Ibu juga sudah berani menampar Safira, istri Sadam, yang selalu dijaga dengan baik. Aku, suaminya, tak pernah sedikit pun menyakiti Safira." Sontak Sadam berdiri den
Namun, Safira menolak karena masih lelah. Ia meminta waktu untuk beristirahat sejenak dan malah menyuruh mertuanya untuk minta tolong Nala yang membereskan semua karena kakak iparnya itu seharian ada di rumah."Beraninya kau menyuruh putriku!"Tangan Mirah mengayun hendak menampar kembali pipi Safira, tetapi tiba-tiba teringat Sadam dan tangannya terhenti mengambang di udara. Safira memandang lekat mata mertuanya seakan menantang. Ia yakin bahwa Mirah tak berani lagi menampar pipi mulusnya. Hati kecilnya ingin tersenyum melihat wajah sang mertua, tetapi ia tahan. "Tukang ngadu!" umpat Mirah kesal. "Ibu, sudah-sudah." Tangan Nala menarik lengan Mirah. Dada Mirah bergemuruh, kembang kempis menahan rasa kesal kepada Safira. Kalau saja bukan karena perkataan Sadam semalam, ia sudah menampar menantunya lagi lebih keras. Wanita beralis tipis itu yakin Safira akan mengadu lagi kepada putranya kalau sampai telapak tangannya itu mendarat lagi di pipi Safira."Em, Safira, aku baru saja data
"Memangnya sampai kapan Mbak Nala di sini? Tapi tadi juga ia tak mau membantuku," kata Safira memajukan bibirnya."Entahlah, mungkin satu atau dua minggu seperti biasanya."Safira menghela napas panjang. Ia berharap apa yang dikatakan Sadam betul, kakak iparnya akan membantu di rumah selama berada di sini. Satu pekan berlalu, ternyata kedatangan Nala dan kedua anaknya malah menambah beban pekerjaan di rumah untuk Safira. Tetap saja, ia yang membereskan rumah dan memasak. Belum lagi mencuci dan menyetrika baju yang kini bertambah banyak karena Safira juga yang harus mencuci dan menyetrika baju kakak ipar dan dua keponakannya. Ditambah ia harus berkali-kali membersihkan dan membereskan rumah yang berantakan karena ulah Oza dan Kieran. Seharusnya Nala yang bertanggung jawab atas kedua keponakannya itu. Safira tak menyalahkan Oza dan Kieran yang masih lucu karena memang kedua anak itu butuh bermain.Selama seminggu ini pula ia merengek dan mengeluh kepada suaminya untuk menegur Nala dan
Setelah membeli semua bahan makanan yang dibutuhkan Mirah, Sadam mengajak Safira untuk sarapan dulu. Namun, sang istri menolak. Ia tak ingin kejadian waktu itu terulang lagi. Gara-gara ia meminta Sadam membelikan lontong sayur untuk sarapan malah dimarahi oleh mertuanya."Ayolah, aku mau makan ketoprak mumpung kita lagi di pasar, banyak jajanan," rayu Sadam."Baiklah, tapi bungkuskan juga buat orang rumah, ya, Mas." Akhirnya, Safira menyerah juga dengan permintaan sang suami.Memang jarang juga mereka makan di luar berdua. Bukan tak ingin, tetapi Safira selalu memikirkan kebutuhan di rumah dulu. Selain itu, kalau mereka berdua tak makan di rumah dan mengatakan sudah makan di luar, Mirah selalu bilang kalau itu pemborosan."Iya, nanti minta dibungkus buat orang rumah," ucap Sadam.Selesai menyantap ketoprak, Sadam dan Safira langsung menuju arah pulang. Kedua tangan Safira menenteng beberapa kantung plastik yang cukup berat. "Dari pasar saja lama banget," ketus Mirah sudah berdiri di
Sekitar pukul sepuluh teman-teman Mirah mulai berdatangan. Hampir semua teman ibu mertuanya itu berpenampilan seperti Mirah. Pantaslah kalau sang mertua cukup sombong karena memang pergaulannya pun dengan ibu-ibu sosialita. "Kenalin, ini anak pertama saya, Nala," ucap Mirah merangkul anak pertamanya, memperkenalkan pada teman-temannya sebelum mulai acara. Safira sedang merapikan hidangan di atas meja panjang. Ia terihat sangat kelelahan dan pucat karena belum mengisi perutnya sama sekali. "Itu siapa, Jeng?" tanya wanita seumuran Mirah yang lengannya dipenuhi benda berkilau. "Oh, itu istri anak laki-laki saya," ketus Mirah."Oh, yang waktu itu ketemu di kantor, ya?" cetus ibu-ibu lain yang waktu itu ikut mengejek Safira di halaman kantor dan ternyata bernama Dahlia."Iya, Jeng. Sudah jangan urusi menantu saya yang tidak tahu diri itu. Bisanya cuma menghabiskan uang suami saja untuk membeli barang tak penting. Ia juga istri pemalas!" cerocos Mirah kesal. Sekitar tujuh orang ibu-ibu