Share

Bab 5: Perjanjian Kontrak Pernikahan Telah Selesai

“Kukembalikan Isabella Halka. Perjanjian kontrak pernikahan telah selesai.”

Isabella berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ucapan Evan berdengung layaknya lebah. Tiga bulan kebersamaannya selesai sudah. Pernikahannya dan Evan telah usai. Talak telah dilayangkan padanya. Ditatapnya mata biru Evan yang menurutnya indah. Pria itu sedang berbicara dengan Kartika yang berdiri di sebelahnya. Dia tidak fokus pada apa yang diucapkan Evan. Namun, dia lebih fokus pada wajah pria itu. Wajah itu dipandanginya dalam demi membuat memori di pikiran.

Kartika tersenyum senang. Wanita itu menerima amplop coklat tebal dari Evan Oliver. “Terima kasih sudah percaya padaku, Tuan Oliver. Jika berkunjung lagi ke Semarang, mampirlah kemari. Akan kusediakan wanita cantik untukmu.” Kartika mengulurkan tangannya mengusap lengan kiri Evan.

Mata Evan melirik Bella yang berdiri di sebelah Kartika. Sejak dalam perjalanan menuju kediaman Kartika, Bella hanya diam saja.  

“Tentu.” Evan mengangguk. “Boleh aku berbicara dengan Isabella sebentar?”

Kartika tersenyum lalu menjawab, “tentu saja boleh. Silakan.” Setelah itu Kartika undur diri. Wanita itu melenggang pergi membawa amplop tebal berisi uang dari Evan masih dengan raut wajah gembira.

“Isabella?” Evan memanggil Bella yang masih diam saja. “Ada yang ingin kamu sampaikan?”

Bella menunduk lalu menggeleng. Padahal, ada yang ingin dia sampaikan. Mengenai perasaannya pada Evan. Namun, dia tidak berani mengatakannya. Hari ini dia begitu emosional dan dia tidak tahu apa sebabnya. Dia hanya tidak bisa jauh dari Evan. Mungkin itu saja, 

“Kamu yakin?” Evan bertanya menegaskan apa yang dilihatnya.

Bella menghela napas. “Ada satu hal,” bisiknya. Satu hal lain yang pastinya Evan akan mengabulkannya. Bella yakin itu. “Apa kamu mau mengabulkannya?”

“Tentu.” Evan menjawab tanpa pikir panjang.

“Aku ingin kamu ….” Bella mendongak, lalu melanjutkan, “tersenyum untukku. Itu saja.”

***

Perpisahan itu telah terjadi satu bulan lalu. Namun, Bella masih teringat jelas ucapan Evan yang mengembalikannya pada Kartika. Bella menghela napas. Evan memberikan cukup banyak uang untuk bertahan hidup tanpa bantuan Kartika dalam satu tahun ke depan. Walau begitu, dia tetap tinggal di sekitar kediaman Kartika. Di sebuah kamar kos sederhana khusus perempuan.

“Jadi Mami tidak punya nomor ponsel Tuan Oliver?” Bella bertanya melalui sambungan telepon. Evan pun memberikan Bella sebuah hadiah yang belakangan diketahuinya sebuah ponsel lambang apel yang digigit keluaran terbaru. Dibantu Kartika, Bella belajar menggunakan ponsel pintar tersebut. 

“Tidak, Sayang. Dia datang begitu saja.”

Nada suara Kartika terdengar di telinga Bella seperti menyesal. “Baiklah,” jawabnya pelan. Dia merindukan Evan beberapa hari belakangan ini hingga kedua matanya bengkak karena menangis semalaman.

“Memangnya ada apa, Bella? Sepagi ini kamu meneleponku hanya menanyakan Tuan Oliver.”

Bella menatap layar televisi yang menampilkan sebuah berita mengenai pejabat politik yang tersandung masalah korupsi.

“Tidak ada, Mami. Hanya ingin tahu kabarnya saja.” Bella berkilah. Padahal dia sangat teramat rindu pada pria yang ternyata memiliki senyuman yang menggoda itu. Ya, Evan mengabulkan keinginannya untuk tersenyum. Bahkan, pria itu memeluknya seraya mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih telah menemaninya selama berada di Semarang.

“Kuberitahu padamu, Bella. Kita dilarang untuk menemui lagi tamu istimewa itu. Apa pun alasannya. Paham?” 

“Ya, Mami.” Bella mengangguk pelan pada nada bicara Kartika yang penuh penekanan. 

“Apa kau ingin bekerja lagi? Sebab sudah satu bulan kau tidak datang ke rumahku. Itu berarti semenjak Tuan Oliver pergi, bukan?”

Bella melihat kalender yang sudah berganti. Benar, dia sudah lama tidak datang ke rumah Kartika. Terakhir dia di sana ketika meminta bantuan mencarikan kamar kos yang dekat. Dia enggan untuk pulang ke rumahnya di Grobogan. Dia masih enggan bertemu dengan Timo—Bapaknya. 

“Minggu depan boleh, Mami? Beri saya waktu sedikit lagi.” 

Bella meremas ujung kaus yang dipakainya. Siap tidak siap, dia harus kembali masuk ke rumah itu. Seperti yang pernah Kartika katakan padanya dahulu; ada jalan masuk tetapi tidak ada jalan keluar. Lagipula utang Timo pada Kartika belum lunas semuanya. Masih tersisa sedikit lagi. Uang banyak yang diberikan Evan pada kartika saat itu digunakan wanita itu untuk membayar utang Timo dan tidak diberikan pada Bella seperti apa yang diminta Evan. 

“Tentu saja.” Kartika menjawab pelan. “Tetapi jangan lewat dari minggu depan. Mengerti kan maksudku?”

“Ya, Mami. Saya mengerti.” Bella menjawab sedikit ragu lalu menutup telepon. Kartika pandai mengancam dan ucapan yang didengarnya barusan berupa ancaman. 

Bella kembali memerhatikan kalender yang tergantung di dinding. “Tidak ada cara lain selain melupakanmu, Evan.” Bella berbisik. 

Tangannya terulur menyentuh kalender tersebut. Sejurus kemudian alisnya berkerut. Tangannya bergerak menghitung angka demi angka dan membuka lembaran kalender sebelumnya. 

“Harusnya satu minggu lalu,” bisik Bella. Jantungnya berdegup tidak karuan. Dia mulai takut setengah mati. “Tidak. Mungkin aku terlambat saja. Benar seperti itu.” 

Tetapi nyatanya dia masih saja takut. Dinyalakan kembali ponselnya. mengobati rasa penasarannya, dia mulai memesan layanan pesan antar obat daring. Dia menekan beberapa kali layar tersebut. “Semoga hanya terlambat,” bisiknya. “Jika sampai itu terjadi, aku tidak tahu harus berbuat apa.” Nada suaranya mulai gemetar. 

Kartika pasti memakinya habis-habisan dan dia harus membayar denda yang tidak sedikit. Dia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang wanita sepertinya dimaki-maki dan harus membayar denda. Itu terjadi dua hari setelah perjanjian kontraknya dengan Evan berakhir. 

“Kumohon,” pintanya kemudian duduk lemas di sofa.

Dok! Dok! Dok!

Pintu kamar kosnya diketuk tidak lama kemudian. 

“Permisi! Mbak Isabella?” 

Bella segera berdiri dari duduknya mendengar suara seorang pria berteriak memanggil namanya. “Pasti itu pengantar pesananku,” ucapnya pelan. 

“Permisi!” suara pria itu memanggil lagi.

Bella segera membuka pintu kamar kosnya. Dia disambut pria berjaket hijau memakai helm. “Ya, Pak?”

Pria itu menatap Bella sekilas. “Atas nama Isabella?” tanyanya menunduk menatap layar ponselnya.

“Ya, saya.” Bella menahan gemetarnya. Dia gugup bukan main. Kemudian pria itu memberikan pesanan tersebut padanya. “Terima kasih, Pak.”

Pria tersebut hanya mengangguk kemudian pamit pergi. Bella segera menutup pintunya dan bergegas menuju kamar mandi. Hari masihlah pagi jadi dia dapat melakukan tesnya. Dia pun belum makan dan minum setelah bangun tidur tadi. 

“Aku hanya ingin alat tes ini menunjukkan garis 1.” Bella berdoa. Dia takut bukan main. Dia takut jika alat tes itu menunjukkan garis 2 maka habislah sudah semuanya. Simpanan yang dia punya pastilah dikeluarkan untuk membayar denda yang tidak sedikit. Belum lagi utang Timo yang masih belum lunas. Kartika mengatakan padanya demikian. Entah berapa banyak Timo berutang pada Kartika. Padahal simpanan pemberian Evan tersebut hendak dia gunakan untuk membuka usaha toko bunga.

Dia menatap beberapa alat tes yang dia beli tersebut. Dibukanya salah satu alat tes dan mengangkatnya sejajar mata. Dipejamkan matanya lalu menarik napas dalam. “Tuhan,” bisiknya masih memejamkan mata. “Aku memang banyak dosa tetapi kumohon janganlah membuatku tersiksa dengan memiliki anak dari orang yang tidak akan pernah aku temui lagi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status