“Kukembalikan Isabella Halka. Perjanjian kontrak pernikahan telah selesai.”
Isabella berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Ucapan Evan berdengung layaknya lebah. Tiga bulan kebersamaannya selesai sudah. Pernikahannya dan Evan telah usai. Talak telah dilayangkan padanya. Ditatapnya mata biru Evan yang menurutnya indah. Pria itu sedang berbicara dengan Kartika yang berdiri di sebelahnya. Dia tidak fokus pada apa yang diucapkan Evan. Namun, dia lebih fokus pada wajah pria itu. Wajah itu dipandanginya dalam demi membuat memori di pikiran.Kartika tersenyum senang. Wanita itu menerima amplop coklat tebal dari Evan Oliver. “Terima kasih sudah percaya padaku, Tuan Oliver. Jika berkunjung lagi ke Semarang, mampirlah kemari. Akan kusediakan wanita cantik untukmu.” Kartika mengulurkan tangannya mengusap lengan kiri Evan.Mata Evan melirik Bella yang berdiri di sebelah Kartika. Sejak dalam perjalanan menuju kediaman Kartika, Bella hanya diam saja. “Tentu.” Evan mengangguk. “Boleh aku berbicara dengan Isabella sebentar?”Kartika tersenyum lalu menjawab, “tentu saja boleh. Silakan.” Setelah itu Kartika undur diri. Wanita itu melenggang pergi membawa amplop tebal berisi uang dari Evan masih dengan raut wajah gembira.“Isabella?” Evan memanggil Bella yang masih diam saja. “Ada yang ingin kamu sampaikan?”Bella menunduk lalu menggeleng. Padahal, ada yang ingin dia sampaikan. Mengenai perasaannya pada Evan. Namun, dia tidak berani mengatakannya. Hari ini dia begitu emosional dan dia tidak tahu apa sebabnya. Dia hanya tidak bisa jauh dari Evan. Mungkin itu saja, “Kamu yakin?” Evan bertanya menegaskan apa yang dilihatnya.Bella menghela napas. “Ada satu hal,” bisiknya. Satu hal lain yang pastinya Evan akan mengabulkannya. Bella yakin itu. “Apa kamu mau mengabulkannya?”“Tentu.” Evan menjawab tanpa pikir panjang.“Aku ingin kamu ….” Bella mendongak, lalu melanjutkan, “tersenyum untukku. Itu saja.”***Perpisahan itu telah terjadi satu bulan lalu. Namun, Bella masih teringat jelas ucapan Evan yang mengembalikannya pada Kartika. Bella menghela napas. Evan memberikan cukup banyak uang untuk bertahan hidup tanpa bantuan Kartika dalam satu tahun ke depan. Walau begitu, dia tetap tinggal di sekitar kediaman Kartika. Di sebuah kamar kos sederhana khusus perempuan.“Jadi Mami tidak punya nomor ponsel Tuan Oliver?” Bella bertanya melalui sambungan telepon. Evan pun memberikan Bella sebuah hadiah yang belakangan diketahuinya sebuah ponsel lambang apel yang digigit keluaran terbaru. Dibantu Kartika, Bella belajar menggunakan ponsel pintar tersebut. “Tidak, Sayang. Dia datang begitu saja.”Nada suara Kartika terdengar di telinga Bella seperti menyesal. “Baiklah,” jawabnya pelan. Dia merindukan Evan beberapa hari belakangan ini hingga kedua matanya bengkak karena menangis semalaman.“Memangnya ada apa, Bella? Sepagi ini kamu meneleponku hanya menanyakan Tuan Oliver.”Bella menatap layar televisi yang menampilkan sebuah berita mengenai pejabat politik yang tersandung masalah korupsi.“Tidak ada, Mami. Hanya ingin tahu kabarnya saja.” Bella berkilah. Padahal dia sangat teramat rindu pada pria yang ternyata memiliki senyuman yang menggoda itu. Ya, Evan mengabulkan keinginannya untuk tersenyum. Bahkan, pria itu memeluknya seraya mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih telah menemaninya selama berada di Semarang.“Kuberitahu padamu, Bella. Kita dilarang untuk menemui lagi tamu istimewa itu. Apa pun alasannya. Paham?” “Ya, Mami.” Bella mengangguk pelan pada nada bicara Kartika yang penuh penekanan. “Apa kau ingin bekerja lagi? Sebab sudah satu bulan kau tidak datang ke rumahku. Itu berarti semenjak Tuan Oliver pergi, bukan?”Bella melihat kalender yang sudah berganti. Benar, dia sudah lama tidak datang ke rumah Kartika. Terakhir dia di sana ketika meminta bantuan mencarikan kamar kos yang dekat. Dia enggan untuk pulang ke rumahnya di Grobogan. Dia masih enggan bertemu dengan Timo—Bapaknya. “Minggu depan boleh, Mami? Beri saya waktu sedikit lagi.” Bella meremas ujung kaus yang dipakainya. Siap tidak siap, dia harus kembali masuk ke rumah itu. Seperti yang pernah Kartika katakan padanya dahulu; ada jalan masuk tetapi tidak ada jalan keluar. Lagipula utang Timo pada Kartika belum lunas semuanya. Masih tersisa sedikit lagi. Uang banyak yang diberikan Evan pada kartika saat itu digunakan wanita itu untuk membayar utang Timo dan tidak diberikan pada Bella seperti apa yang diminta Evan. “Tentu saja.” Kartika menjawab pelan. “Tetapi jangan lewat dari minggu depan. Mengerti kan maksudku?”“Ya, Mami. Saya mengerti.” Bella menjawab sedikit ragu lalu menutup telepon. Kartika pandai mengancam dan ucapan yang didengarnya barusan berupa ancaman. Bella kembali memerhatikan kalender yang tergantung di dinding. “Tidak ada cara lain selain melupakanmu, Evan.” Bella berbisik. Tangannya terulur menyentuh kalender tersebut. Sejurus kemudian alisnya berkerut. Tangannya bergerak menghitung angka demi angka dan membuka lembaran kalender sebelumnya. “Harusnya satu minggu lalu,” bisik Bella. Jantungnya berdegup tidak karuan. Dia mulai takut setengah mati. “Tidak. Mungkin aku terlambat saja. Benar seperti itu.” Tetapi nyatanya dia masih saja takut. Dinyalakan kembali ponselnya. mengobati rasa penasarannya, dia mulai memesan layanan pesan antar obat daring. Dia menekan beberapa kali layar tersebut. “Semoga hanya terlambat,” bisiknya. “Jika sampai itu terjadi, aku tidak tahu harus berbuat apa.” Nada suaranya mulai gemetar. Kartika pasti memakinya habis-habisan dan dia harus membayar denda yang tidak sedikit. Dia pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang wanita sepertinya dimaki-maki dan harus membayar denda. Itu terjadi dua hari setelah perjanjian kontraknya dengan Evan berakhir. “Kumohon,” pintanya kemudian duduk lemas di sofa.Dok! Dok! Dok!Pintu kamar kosnya diketuk tidak lama kemudian. “Permisi! Mbak Isabella?” Bella segera berdiri dari duduknya mendengar suara seorang pria berteriak memanggil namanya. “Pasti itu pengantar pesananku,” ucapnya pelan. “Permisi!” suara pria itu memanggil lagi.Bella segera membuka pintu kamar kosnya. Dia disambut pria berjaket hijau memakai helm. “Ya, Pak?”Pria itu menatap Bella sekilas. “Atas nama Isabella?” tanyanya menunduk menatap layar ponselnya.“Ya, saya.” Bella menahan gemetarnya. Dia gugup bukan main. Kemudian pria itu memberikan pesanan tersebut padanya. “Terima kasih, Pak.”Pria tersebut hanya mengangguk kemudian pamit pergi. Bella segera menutup pintunya dan bergegas menuju kamar mandi. Hari masihlah pagi jadi dia dapat melakukan tesnya. Dia pun belum makan dan minum setelah bangun tidur tadi. “Aku hanya ingin alat tes ini menunjukkan garis 1.” Bella berdoa. Dia takut bukan main. Dia takut jika alat tes itu menunjukkan garis 2 maka habislah sudah semuanya. Simpanan yang dia punya pastilah dikeluarkan untuk membayar denda yang tidak sedikit. Belum lagi utang Timo yang masih belum lunas. Kartika mengatakan padanya demikian. Entah berapa banyak Timo berutang pada Kartika. Padahal simpanan pemberian Evan tersebut hendak dia gunakan untuk membuka usaha toko bunga.Dia menatap beberapa alat tes yang dia beli tersebut. Dibukanya salah satu alat tes dan mengangkatnya sejajar mata. Dipejamkan matanya lalu menarik napas dalam. “Tuhan,” bisiknya masih memejamkan mata. “Aku memang banyak dosa tetapi kumohon janganlah membuatku tersiksa dengan memiliki anak dari orang yang tidak akan pernah aku temui lagi.”“Kalau dilihat dari siklus datang bulan Mbak Isabella yang terakhir kali, usia kandungan berjalan empat minggu, ya.” Dokter Febri tersenyum menatap Isabella yang menahan air mata. Tangan dokter tersebut terulur mengusap lengan kanan Bella. Hanya dengan perlakuan seperti itu telah berhasil meruntuhkan pertahanan Bella yang telah dibangunnya sejak tadi pagi. Sekedar ingin memastikan apa yang dilihatnya pada alat tes kehamilan, Bella memutuskan untuk datang ke klinik dokter Febri. “Saya harus bagaimana, Dok?” Bella berkata setengah berbisik. Dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. “Jalani, ya, Mbak. Ikhlas,” jawab dokter Febri. Wanita dipenghujung usia 45 tahun tersebut menatap Bella dengan iba. Bella mendongak. Ada satu keinginan tiba-tiba terlintas di kepalanya begitu saja. “Dok, bantu saya gugurkan. Ya?” Dokter Febri menggeleng pada permintaan Bella lalu menjawab, “jangan timpakan kesalahan pada yang tidak berdosa, Mbak. Siapa tahu anak yang Mbak kandung nanti membawa kebe
“Kau baik-baik saja?” tangan kekar dengan sigap menarik Bella berdiri. Wanita itu mendongak menatap siapa yang menariknya. Tenyata pengawal Kartika. Pria itu berdiri tanpa ekspresi masih menggenggam lengan kanan Bella. Bella mulai berandai-andai jika pria yang ada di sebelahnya adalah Evan tentulah hatinya senang bukan main. Nyatanya bukan. “Bella?” Suara Kartika yang berulang kali bertanya apakah dia baik-baik saja membuat Bella memusatkan pandangannya. Kartika sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan khawatir. “John, dudukkan dia di kursi.” Kartika berkata lagi pada pengawalnya yang bernama John. Tanpa banyak kata, John membimbing Bella duduk di kursi kayu yang ada di kamar itu. Pandangan Bella masih berkunang ditambah lagi perutnya yang mulai mual. Ditahannya rasa tidak enak di perutnya seraya memejamkan mata. “Kau pucat sekali. Apakah perlu kupanggil dokter Febri kemari?” Ucapan itu sontak membuat Bella membuka mata lalu menggeleng. Gelengan kepala membuatnya sakit. “Tidak
“Kuberikan waktu dua hari untukmu berpikir. Jika kau ingin tetap di sini, maka gugurkanlah kandunganmu. Aku tahu siapa yang berani melakukannya. Dan itu bukan dokter Febri.”Itulah yang dikatakan Kartika pada Bella. Batas waktu yang diberikan Kartika akan habis sebentar lagi. Namun, Bella belum mengambil keputusan. Sebelumnya sangat teramat yakin ingin menggugurkan kandungannya akan tetapi entah kenapa dia mulai meragukan keinginannya tersebut. Dia mulai bimbang harus melakukan apa. Kini, pikiran dan hati nuraninya bertolak belakang. Diperhatikan ponsel pemberian Evan. Ponsel yang teramat mahal baginya dan tidak akan sanggup dibelinya.“Evan,” bisiknya. “Aku ingin bertemu denganmu.” Lalu dipejamkan matanya demi menahan air matanya yang ingin tumpah. Saat ini dia berada di sebuah restoran keluarga ternama di Indonesia. Restoran tersebut ramai sebab jam makan siang. Bella sengaja datang sendiri ke restoran yang berada di mall tersebut. Di hadapannya tersaji makanan yang ingin sekali dia
“Paket! Permisi, Isabella Halka?! Paket!” Suara nyaring kurir pengiriman barang berteriak di depan muka rumahnya membuat Bella urung melakukan apa yang tadi dia niatkan. Alisnya berkerut mendengar suara kurir pengiriman berteriak memanggil namanya lagi. Dia merasa tidak membeli barang apa pun secara daring. Walau begitu, dia tetap turun dari kursi plastik baksonya lalu menuju ruang tamu. “Isabella?!” lagi, kurir berteriak memanggil namanya. “Ya? Sebentar.” Bella merapikan rambutnya lalu membuka pintu rumahnya. Dia mencoba tersenyum walau hatinya masih kalang kabut. “Paket, Mbak.” Kurir tersebut mengangsurkan padanya sebuah paket ukuran sedang pada Bella. “Isabella Halka, kan?” Bella mengangguk. “Benar.” Kurir menyodorkan lagi paketnya. “Paketnya, Mbak.” “Oiya.” Bella menerima paket tersebut dengan bingung. Dia merasa tidak pernah membeli apa pun di lokapasar. ‘Atau mungkin aku lupa pernah membeli sesuatu? Mungkin saja.’ Mengangkat bahu, Bella tersenyum pada kurir paket tersebut.
“Asal kamu tahu, Ibumu itu sekarang jadi perempuan tidak benar!” Timo mengulangi ucapan itu lagi. Untuk kesekian kalinya pada Bella. “Dia nikah lagi dengan orang kaya dan melupakan kita. Apa namanya itu kalau bukan perempuan tidak benar?!” nada suara pria itu meninggi di akhir kalimat.Bella yang sedang mengelap lemari buffet hanya memilih diam. Dia selalu menjadi pendengar ketika Timo mengoceh seperti itu. Dia baru saja tiba dari sekolah ketika Timo menyuruhnya mengelap lemari buffet yang berdebu.“Sudah belum?” Timo menatap Bella dengan mata menyipit. “Orang yang mau beli lemarinya mau datang.”Bella memejamkan mata sekilas. Tiba-tibanya Timo meminta dirinya membersihkan lemari buffet itu ternyata untuk dijual.‘Pasti untuk judi,’ batin Bella. ‘Berapa banyak barang lagi yang mau dijual? Televisi sudah, blender sudah, sekarang lemari.’ Ingin dia meneriaki Timo. Namun, dia tidak berani. Dia takut pria itu murka padanya.“Bella!” Timo membentaknya. “Dengar tidak?!”Plak!Tamparan menda
“Darel sudah mengatakan semuanya pada saya.” Siswanto merupakan ayah kandung Darel. Pria berperawakan kurus tinggi itu menatap Bella yang duduk di seberangnya. Di sebelah Siswanto duduklah Darel yang juga menatap Bella. “Darel memberikan ide mengenai kamu yang sepertinya perlu bekerja.”Bella masih menunduk itu mengangguk. Dia setuju saja dengan ide Darel. Lebih cepat dia pergi dari rumah Darel, lebih cepat pula dia keluar dari kampung itu. Walau Siswanto merupakan kepala desa sekalipun, dia tidak ingin keluarga Darel menjadi buah bibir di masyarakat. Apalagi ibunya Darel yang dia tahu sedang berada di luar kota sebab sedang menghadiri kemalangan saudaranya. “Kemarin aku membantu mencarikan pekerjaan untukmu, Bella.” Darel membuka percakapan. Memberikan informasi pada Bella dan Siswanto—Bapaknya. “Ada satu pekerjaan yang cocok untuk Bella menurutku.”Bella mendongak. “Apapun, Darel. Aku setuju saja.”Darel menatap Siswanto. Pria paruh baya yang merupakan kepala desa itu menggeleng.
“Kamu cepat sekali belajar, Bella.” Siti tersenyum. Dia memuji keterampilan Bella dalam hal rumah tangga. Kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruangan praktek tersebut. “Contoh Bella. Kalian seharusnya cepat beradaptasi agar cepat pergi dari tempat ini.”Bella menunduk. Dia tidak pernah ingin jadi pusat perhatian dan juga tatapan sinis orang lain padanya. Bella sudah satu bulan berada di Pusat Pelatihan Siti. Siti merupakan penyalur pembantu, perawat bayi, dan perawat lansia.“Ya, Bu!” sahut delapan wanita yang berada dalam ruangan praktek tersebut.Seorang wanita masuk ke dalam ruangan praktek. Dia menghampiri Siti lalu membisikkan sesuatu. Bella memerhatikan siti yang mengedarkan pandangan ke sekitar lalu mengangguk pelan dengan apa yang dibisikkan wanita itu.“Kalian boleh istirahat!” perintah Siti lalu keluar dari ruangan praktek.Bella masih berdiri di tempatnya. Dia sedang belajar menggantik
“Ini enak sekali, Bella. Apa namanya ini?” Chloe menyuap satu sendok penuh masakan buatan Bella.Bella tersenyum sopan. “Tempe orek, Nyonya. Makanan kampung.”“Nah,” Chloe mengunyah seraya menunjuk Bella dengan sendoknya. “Tempe itu makanan sejuta umat tetapi baru kali ini saya makan tempe yang rasanya ada gurihnya, manisnya, kriuknya, pedasnya. Enak. Besok masak ini lagi, ya, Bella.”“Ya, Nyonya.” Tadinya Bella masak tempe itu untuk dirinya. Dia masak pun dalam porsi sedikit sekali tetapi melihat Chloe yang makan lahap sekali, dia jadi ingin memasak lebih banyak untuk semua anggota keluarga.Bella membiarkan majikannya makan tempe orek buatannya sedangkan dia merapikan dapur. Hari sudah siang saat Bella melihat jam yang berada di microwave. ‘Sebentar lagi makan siang,’ pikirnya. ‘Tuan Herman dan Nona Lena pasti akan pulang untuk makan siang.’Seraya makan, Chloe mengangguk-angguk melihat kerja Bella yang cekatan. Ini adalah hari berikutnya Bella tinggal di rumah besar itu. Rumah yang