Terpaksa kuhentikan langkah. Ingin kabur tetapi takut jika dia terus keluar dan mengejarku. Bisa-bisa aku dipecat dari pekerjaan kalau tertangkap.
"Bapak manggil saya?" tanyaku sambil memegangi dada yang berdetak lima puluh kali lebih cepat dari biasanya.
Aku menengok ke kanan kiri, tak ada siapa pun. Di seberang lorong banyak orang tetapi tak ada yang berdiri atau berjalan. Masing-masing sibuk di kubikelnya.
"Tolong tutup pintunya!" titahnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Ealah ... jadi dia manggil aku tuh cuma mau disuruh nutupin pintu doang? Alamak! Aku udah kegeeran tadi. Kirain dia inget sama aku. Huh! Dasar Bos Ganteng!
Pelan-pelan kututup pintu kayu bercat cokelat tua tersebut. Sebelum pintu menutup sempurna, kusempatkan melirik ke arahnya. Pak Mahendra duduk dan menulis sesuatu di buku yang ada di mejanya. Wajahnya terlihat semakin tampan dengan ekspresi datar dan serius seperti itu.
Duh Gusti ... kenapa Kau ciptakan makhluk setampan ini? Kan aku jadi khilaf, pengen meluk.
Ya Tuhan, jika dia adalah jodohku, dekatkanlah. Jika bukan jodohku, tolong jodohkanlah. Jika dia jodoh orang, tolong putuskan dan tetaplah Kau jodohkan denganku.
Aamiin-kan, Gaes!
Lantas terbayang kejadian di malam itu, saat dia mengambil kehormatanku. Mungkin dia juga sedang mabuk atau tak sadar. Coba kalau kami sama-sama sadar, apa dia mau melakukan itu denganku?
Kalau aku sih pasti mau melakukannya. Hitung-hitung untuk memperbaiki keturunan. Biar nanti anakku tampan seperti bapaknya. Dengan catatan, kami sudah halal.
Yang jadi masalahnya, apa iya dia mau menghalalkanku? Kalau dalam angan-anganku sih dia mau. Nggak tahu tuh kalau dalam kenyataan.
Mana mungkin Upik Abu dipersunting oleh laki-laki yang bak pangeran seperti dia? Im-pos-si-ble!
Kinara mimpimu ketinggian! Buruan turun! Kalau nggak ada tangga, lompat, gih!
Akhirnya setelah pintu itu menutup sempurna aku pun meneruskan langkah ke kamar mandi. Sampai di sana langsung kucuci muka di wastafel lalu ke toilet.
Sial! Biarpun sudah mencuci muka tetap saja bayangan Pak Mahendra mengikuti dan tak mau hilang.
Di cermin ada dia, di ember ada dia, di gayung pun ada dia. Eh, tunggu, dia nggak ngintip aku lagi pipis, kan? Jangan-jangan ....
Hush! Hush! Pergi sana! Jangan intip aku!
Gimana bayangannya bisa pergi, lha wong barusan juga ketemu sama orangnya. Percuma deh jauh-jauh ke kamar mandi. Nggak ada hasilnya.
Oalah Gusti ... tolong aku!
Pak Mahendra ternyata sombong juga. Mentang-mentang presdir, menyuruh orang seenaknya. Enggak pakai terima kasih lagi. Mungkin dia sudah lupa sopan santun. Paling tidak kasih senyum. Ini malah mukanya datar mirip telenan. Dasar!
Ingat, Nara! Dia presdir! Dia bebas berbuat apa pun. Sisi malaikatku mengingatkan.
Aaargh! Sial!
Setelah mengeringkan muka, kuoleskan bedak tipis-tipis. Biar ada manis-manisnya sedikit. Mungkin saja nanti Pak Mahendra kepincut. Rezeki nomplok itu namanya. Patut bikin syukuran, kalau perlu bikin tumpeng nasi kuning.
Keluar dari kamar mandi, kembali kulewati ruangan Pak Mahendra yang tertutup. Mulutku komat-kamit berdoa agar jangan dipanggil lagi.
Setan aja doyan, dhemit aja ndulit.
(Setan jangan doyan, dhemit jangan nyolek)
Haish! Doaku salah, ya? Oke deh, diralat dulu.
Ya Allah, jangan sampai si Setan eh si Tampan manggil aku lagi. Aamiin.
Bantuin aamiin-in atuh! Nah, gitu, dong. Kuhitung nih, ada berapa orang. Terima kasih, nanti nasi berkatnya ambil di rumah, ya!
Aku tiba dengan selamat sentosa di kubikel lagi. Aura, Ririn, dan Andy masih asyik berkutat dengan layar di depannya. Mereka tenggelam dalam pekerjaan masing-masing tanpa ada yang bersuara. Hanya terdengar samar-samar musik dari speaker yang tergantung di dinding. Satu-satunya hiburan untuk mengusir kejenuhan.
Aku pun kembali mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Tak lama, Andy memanggilku. "Lani, temenin gue ke sample room, dong!"
"Emang kenapa gitu, harus ditemenin segala? Takut sama Pak Risman, ya?" tebakku.
"Iya, gue takut ditelan sama dia. Tahu sendiri, kan, dia mah manager paling killer."
"Sumanto, kali, makan orang," celetuk Aura.
"Ini mah versi baru, duplikatnya." Ririn mengatakan itu sambil terbahak.
"Kerjaanku lagi banyak-banyaknya, nih. Gimana, atuh?" curhatku.
"Huh! Dasar teman Tayo!" gerutu Andy sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku hanya bisa nyengir mendengar perkataannya Andy. Kalau sudah keluar kata 'teman Tayo', berarti dia ngambek. Mentang-mentang namaku Kinara Ailani, dia suka manggil Lani. Makanya dia bilang aku ini temennya Tayo.
"Ya udah. Yuk, kuanterin. Tapi sebentar aja, ya. Kerjaanku menumpuk, takut dimarahin sama Pak Seno," kataku sambil beranjak.
Kami pun pergi ke sample room menemui Pak Risman. Kami membahas aksesoris yang digunakan dalam produksi. Menurutnya aksesoris itu tidak sama dengan yang digunakan dalam proses sample.
Itu bukan kesalahan bagian purchasing tetapi berdasarkan request dan arahan dari Pak Seno. Sementara Pak Seno sendiri hanya menjalankan perintah dari Manager Produksi.
Pak Risman marah-marah lalu memintaku untuk memanggil Pak Seno. Atasanku itu akhirnya datang dan menjelaskan segala sesuatunya. Selalu begitu jika berurusan dengan sample room. Manager sample itu sangat detil dan selalu mempermasalahkan apapun yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam worksheet.
Sebagai bawahan kami memesan berdasarkan arahan dari atasan kami. Mungkin karena alasan ekonomis maka kadang aksesoris yang digunakan dalam produksi bukan yang tercantum dalam worksheet. Harusnya apa yang dipergunakan di produksi adalah aksesoris yang sama agar kualitasnya juga bisa sama.
***
Aku jadi tak bernafsu makan siang harinya gara-gara kejadian itu. Sebenarnya ingin makan tetapi pikiran tak tenang. Hati gundah gulana tidak keruan. Makanan di mulut terasa susah untuk ditelan.
Aku berhayal kalau Pak Mahendra datang menghibur lalu menyuapiku. Ah, bukan! Aku juga menyuapinya. Kami berdua suap-suapan. Romantisnya .... Kalau sudah begini, dua piring pun dijamin pasti akan habis.
Yaelah, itu mah namanya kemaruk, Markonah!
Haish! Dia lagi, dia lagi!
Kadang aku berpikir mungkin hanya aku saja yang sibuk memikirkan dirinya. Sementara dia mungkin tak akan memikirkan gadis yang telah dia ambil mahkotanya.
Ah, tidak! Bagaimana jika dia kira aku itu kekasihnya? Makanya dia tak mengenali dan bersikap biasa saja padaku? Sebenarnya, dia ingat, atau tidak?
Ealah! Apes amat nasibku. Sepertinya aku harus mandi air kembang tujuh rupa, sekalian diruqyah!
Mendadak badanku jadi gerah jika mengingat kekasih Pak Mahendra yang pernah datang ke kantor itu.
Hareudang hareudang hareudang ....
Panas panas panas ....Mendadak aku jadi cemburu sama kekasihnya Pak Mahendra. Jangan-jangan aku benar-benar sudah jatuh cinta sama laki-laki flamboyan itu.
Kinara, bangun! Jangan mimpi mulu!
Muluk-muluk, enggak, sih, jika aku berharap jadi Cinderella? Aku ini kan sudah biasa hidup sengsara dari kecil. Makanya sekarang cita-citaku hidup bahagia. Menikah dengan pangeran tampan yang mempersuntingku. Aih, indahnya!
***
Tak terasa sebulan telah berlalu dari kejadian terkutuk itu. Kutatap cemas kalender yang tergantung di dinding kontrakan. Kalender yang bergambar aktor-aktor tampan Korea dan tulisan toko baju tempat kerjaku dulu.Bukan ... aku bukan lagi mencemaskan Lee Min Ho atau aktor bermata sipit yang lainnya. Aku lagi deg-deg ser sambil memelototi angka-angka yang ada di sana.Biasanya tanggal segini tamu bulananku sudah datang. Kenapa sekarang belum, ya? Jangan-jangan ....Oh, tidaaak! Jangan sampai itu terjadi!Membayangkan perutku akan semakin membesar dan semua orang akan menatap sinis membuatku bergidik ngeri. Mau ditaruh di mana mukaku?Apa iya aku harus pakai topeng ke mana-mana? Gimana kalau aku dikira tukang ondel-ondel yang suka mengamen dari pintu ke pintu? Terus nanti anak-anak kecil pada ngikutin dan nyorakin aku?Haish! Benar-benar merepotkan!Pelan-pelan kuusap perut yang
Paginya aku bangun kesiangan. Gara-gara semalam bermimpi tentang Pak Mahendra. Setelah terbangun jadi susah untuk kembali tidur padahal baru jam dua malam. Entah jam berapa aku tertidur lagi, rasanya baru saja terpejam tetapi hari sudah beranjak pagi.Aku berangkat dengan tergesa-gesa. Hanya mampir di tukang dagang depan pabrik untuk membeli sarapan dan langsung kubawa masuk ke kantor. Biarlah nanti makannya di dalam saja.Ketika melewati ruangan Pak Mahendra, aku tak tahan untuk tak menolehkan kepala. Kebetulan tirai di jendelanya terbuka. Jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Apa yang terlihat disana membuat mata ini terbelalak.Krak!Ada yang patah di dalam sini. Hatiku. Organ tubuhku yang satu itu terpotek-potek, hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu mustahil untuk disatukan lagi.Di depan mata, Lidya sedang bergelayut manja di bahu Pak Mahendra. Sementara laki-laki tampan itu tersenyum ceria.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Semalam aku bisa tidur dengan lelap setelah melihat hasil yang ditampilkan oleh benda pipih yang kubeli di apotek kemarin.Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya.Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan.Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya me
Sontak kubuka mata dan menoleh ke asal suara di belakangku. Mata ini langsung melotot waktu melihat siapa yang ada di sana. Pak Mahendra!Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya."Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!"Kamu tahu in
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka