Via bangun dari tidurnya, dia duduk di tepi ranjang, masih sedikit merasakan sempoyongan dan pandangan matanya berkunang kunang, Via menarik nafasnya , menguatkan dirinya, perlahan dia berdiri, beranjak dari ranjangnya, dengan tubuh lemah dia berjalan dengan sempoyongan, melangkah mendekati meja rias yang ada di kamar, lalu mengambil tasnya yang tergantung di kursi meja rias. Via duduk di kursi, membuka tasnya, mengambil ponselnya, dia meletakkan tasnya di atas meja rias, melihat ponselnya, mengecek apakah ada pesan atau telepon yang masuk di ponselnya.
Tidak ada pesan ataupun telepon yang masuk di ponselnya, Via menghela nafasnya, berfikir sejenak, dia ingin menghubungi papahnya, namun ada keraguan di hatinya, lantas dia berusaha untuk menenangkan dirinya, memencet sebuah nomor dari ponsel yang diberikan papahnya, mencoba menghubungi papahnya, Via menunggu , nada panggilan terdengar dari ponselnya, tidak ada jawaban, nada panggil berhenti, Via mengulangi lagi, menVia check in di sebuah hotel yang berada di tengah tengah kota antara Klaten dan Jogjakarta, sebuah hotel yang sederhana di pilih Via untuk tempat peristirahatannya.Via membuka pintu kamar hotel, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar hotel kembali.Via meletakkan tasnya di dalam lemari pakaian yang ada di kamar hotel, lalu dia berjalan dan duduk di tepi ranjang, dia termenung. Via sedang memikirkan sesuatu hal, bagaimana cara agar dia segera bertemu papahnya dan menyelesaikan semua masalah yang terjadi karena perbuatan papahnya. Dia menarik nafasnya berat, lalu berdiri dan melangkah menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar hotel tempatnya menginap itu. Saat hendak masuk ke dalam kamar mandi, ponselnya berbunyi, Via cepat berbalik dan berjalan mengambil ponselnya dari dalam tas, dia melihat ponsel pemberian papahnya, tidak ada panggilan masuk di ponsel itu, lalu Via memasukkan ponsel dari papahnya dan mengambil ponsel lainnya
Sore itu, Via bertemu dengan seseorang yang disebutnya sebagai "Om"nya.Di dalam cafe yang dekat dengan candi prambanan, Via duduk di sebuah kursi cafe dengan latar belakang candi prambanan yang terlihat di kejauhan , di atas meja ada 2 piring berisi makanan khas cafe itu beserta 2 gelas minuman.Di depan Via, duduk seseorang yang disebutnya sebagai "Om".Via dan Omnya terlihat sedang terlibat dengan suatu pembicaraan yang sangat serius sekali saat itu, Via dengan wajah serius menjelaskan semua yang ada di dalam fikirannya, sementara Omnya diam mendengarkan Via yang terlihat penuh dengan keyakinan membahas sesuatu hal. Omnya yang mendengar segala penjelasan Via mengangguk angguk dan tersenyum, dia tidak membantah sedikitpun dari penjelasan Via, hanya menatap wajah Via yang serius memberikan penjelasan.Di tempat lain, di pematang sawah, terlihat Randi dan Marwan sedang bertemu, mereka berdiri di depan sawung yang ada di tengah tengah pematang sawah
Randi terbangun dari tidurnya, dia memegang kepalanya, rasa pusing masih ada sedikit di rasakannya, dia tersadar saat tahu dirinya saat ini berada disebuah sawung, ditengah pematang sawah, dia lalu bangun dan duduk di tepi sawung, memegang kepalanya kembali, menghilangkan rasa pusing yang dirasanya. Dia melirik sekitar, tidak terlihat Marwan, Randi lalu memegang tengkuk lehernya, memijat dengan tangannya, tubuhnya terasa pegal pegal.Apa yang telah terjadi pada Randi ?Untuk mengetahui kejadian yang sudah di alami Randi, kita akan mundur pada waktu beberapa jam sebelumnya.Cerita mundur pada saat beberapa Jam sebelum misi bunuh diri yang di lakukan Marwan. Seseorang yang di sebut Via sebagai "Om" itu memasuki gang rumah Randi lama, dia sengaja datang ke rumah itu untuk mencari tahu keberadaan Randi, Orang tersebut memarkirkan motornya di ujung gang, di dekat sebuah rumah kosong yang di tiang teras rumahnya ada kertas bertuliskan "Rum
Randi duduk terpaku di sofa, dia terdiam , terngiang kembali ucapan anaknya yang memintanya untuk segera membebaskan Dewi, jika Randi tidak menuruti permintaan anaknya, dia tidak akan bisa bertemu lagi dengan anaknya, Randi resah, dia tidak ingin hal itu terjadi, dia yang sangat menyayangi dan merindukan anaknya itu tak kan mampu menerima kenyataan jika benar benar anaknya menghindar dan tidak ingin bertemu dia lagi.Tiba tìba Randi meringis menahan sakit, dia memegang kepalanya, mengerang kesakitan, beberapa saat dia dalam keadaan melawan rasa sakit di kepalanya itu, lalu sesaat kemudian dia terdiam, matanya melotot dengan tatapan tajam, menyeringai buas, saat itu, bukan lagi diri Randi yang normal, tapi Roni, salah satu kepribadian yang ada di dalam diri Randi muncul."Aku gak kan biarkan Yana tersenyum karena melihat anaknya bebas !" Ujar Roni menatap tajam dan menyeringai."Kalo kamu sampe melepaskan anak Yana, kamu tolol !" Ujar Roni.
Paman Mulyono beserta keluarga dan sanak famili mengantarkan Dewi ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di samping paman Mulyono terlihat Yana dengan wajah sedih dan mata bengkak karena menangis terus menerus meratapi kepergian anaknya yang meninggal dengan cara tragis.Suasana di lokasi pemakaman itu hening dan khidmat, Yana berjongkok di sisi makam Dewi, menaburkan bunga bunga, menyiramkan air dari botol, lalu mengelus lembut batu nisan yang bertuliskan nama Dewi. Yana menangis tersedu sedu.Paman Mulyono menenangkan Yana, dia mengangkat tubuh Yana, Yana berdiri menatap makam Dewi yang berada tepat di samping makam Sekar, anak pertama Yana yang sudah meninggal lebih dulu."Dewi udah gak merasakan sakit lagi sekarang, Dewi udah ketemu mbak Sekar, kalian bisa bersenang senang di syurga, tunggu mama ya, kita pasti akan berkumpul nanti." Ujar Yana menangis sedih, paman Mulyono menepuk lembut bahu Yana, memberinya ketenangan.Orang orang yang hadir mela
Sore itu, Via menemui orang yang biasa di panggilnya dengan sebutan "Om", mereka duduk di sudut cafe, wajah Via terlihat tenang."Melihat papah yang menjadi pembunuh buas, aku sering berfikir om, apa aku juga nanti akan seperi papah ?" Ujar Via dengan suara datar dan tatapan mata yang dingin. Orang yang di sebut "Om itu tersenyum menatap wajah Via."Hanya kamu yang tau jalan hidupmu." Ujar Omnya pada Via, si Om terdiam sejenak, lalu menatap wajah Via."Papahmu membunuh anak Yana." Ujar orang yang disebut "Om" itu pada Via yang meliriknya dengan raut wajah yang datar, tidak menunjukkan rasa kaget sedikitpun."Aku tau Om, Papah pasti tetap membunuhnya, biarpun aku mencegahnya, papah gak bisa dihentikan, nafsu keinginan membunuhnya semakin besar." Ujar Via dengan suara datar dan tatapan mata yang dingin."Kalo kamu udah tau begitu, buat apa kamu mau mencegahnya?" Tanya orang yang disebut "Om" pada Via."Aku hanya ingin membantu papah agar
Randi menatap tajam wajah Rizal, sosok orang yang telah mendahuluinya menyelinap kerumah paman Mulyono dan membuat pingsan para penjaga dirumah itu."Lepaskan tanganku !" Ujar Randi menahan geram pada Rizal."Kikikikikikik..." Rizal tertawa dengan bunyi tawa yang khasnya."Aku gak kan membiarkan kamu membunuh dia." Ujar Rizal melirik paman Mulyono yang menyimpan rasa takut dalam dirinya."Jangan ikut campur urusanku !" Ujar Randi membentak Rizal, dia mulai marah pada Rizal, menatapnya tajam."Randiii...Randiii... buat apa aku nyampuri urusanmu." Ujar Rizal menyeringai , matanya melotot pada Randi, gayanya tengil."Aku ada di sini karena anakmu ." Ujar Rizal menatap tajam wajah Randi, mendengar itu Randi kaget."Apa maksudmu ?" Tanya Randi. Rizal melepaskan pegangan tangannya dari tangan Randi."Via memintaku untuk melindungi orang ini, dia gak ingin orang ini mati kamu bunuh." Ujar Rizal tersenyum menatap Randi."Kalo bu
Saat itu, Rizal menemui Via di sebuah rumah kontrakan yang di sewa Via, Lokasi kontrakan itu berada jauh di perkampungan yang bernama Manisrenggo, masuk ke dalam wilayah Klaten."Kamu benar, papahmu datang mencari Yana dan hampir saja membunuh pamannya." Ujar Rizal pada Via."Aku tau gimana papah, dia akan memakai cara apapun agar mendapatkan yang dia mau, sekalipun harus membunuh." Ujar Via datar."Via minta Om lindungi kakek Mulyono karna dia baik dan udah nolongin Via, bebasin Via saat dijadikan sandera bunda Yana." Ujar Via, Rizal kaget mendengar Via sempat dijadikan sandera oleh Yana." Kamu di sandera Yana ?" Tanya Rizal menatap tajam wajah Via."Iya Om, tiba tiba bunda Yana ngamuk dan menunjukkan kebenciannya ke Via, dia mengikat, menampar bahkan memaksaku makan dengan cara seperti anjing." Ujar Via menjelaskan dengan raut wajah yang dingin."Waah...waah, makin kacau kalo gitu." Ujar Rizal."Iya Om, itu yang buat papah semakin