Miskin itu Memalukan 7
Mama yang malang“Dari mana, kamu?” Terdengar suara mama dengan nada tinggi.Aku menggigit bibir dan menyimak dari dalam kamar. Sepertinya akan ada keributan. Melirik pada Siva yang memejamkan mata, aku berharap anak itu beneran tidur agar tidak mendengar keributan orang dewasa.“Bukan urusanmu!”“Ini urusanku! Suami apa kamu itu, kerjanya keluyuran, mabok, nggak jelas!”“Banyak bacot lu, tua!”“Ngomong apa, kamu!?”berteriak.Srek, srek, terdengar langkah diseret menjauh dari ruang tamu. Mungkin Om Arif masuk kamar diikuti mama. Sayup aku masih mendengar perseteruan mereka. Kenapa masih ada orang yang bertahan dengan siksa batin seperti itu? Saling menyakiti tetapi tetap terikat dalam tali pernikahan. Apakah salah kalau aku menyebut mamaku orang bod oh?Melayang ke masa lalu membuat air mata ini menetes. Mamaku yang cantik, baik dan penyayang. Aku kecil selalu menunggu momen mama habis gajian. Saat itu aku merasa paling bahagia. Dengan naik angkot berwarna kuning, mama mengajakku ke sebuah mall tak jauh dari rumah. Aku boleh makan di McD, KFC, dan bermain di timezone sepuasnya. Setelah itu mama belanja keperluan dapur untuk sebulan di super market. Aku juga dibelikan es krim, senang sekali. Meski hanya sebulan sekali jalan-jalan tapi, itu sangat berkesan buatku. Aku ingin mengulangnya sekarang tapi, gantian aku yang akan mengajak mama, membelikan keinginan mama, menyenangkan mama. Membuat mama tertawa bahagia lagi …..Mengusap air mata dengan punggung tangan, aku menarik nafas yang sedikit tersendat. Mamaku hanya seorang penjahit di pabrik, lebih tepatnya sebuah konveksi karena tidak begitu besar. Dengan gajinya yang tidak banyak dia pontang panting, sering lembur untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolahku. Mama tidak pernah mengeluh meski seorang single parent. Akupun tidak pernah merasa kekurangan. Buku, sepatu, tas sekolah, uang jajan, semuanya terpenuhi. Aku menyayangi mamaku tapi, kenapa mama tidak menyayangi dirinya sendiri?Mama … huhuhu ….**Aku keluar kamar sekitar jam enam pagi dan langsung menuju kamar mandi. Terlihat mama sedang sibuk memasak di dapur mungil miliknya. Bau harum tumisan bumbu menguar diiringi suara spatula yang beradu dengan penggorengan. Mama sampai tidak menyadari aku berdiri di belakangnya.“Ufi, sudah bangun?” Mama menoleh. Aku mengangguk.“Di mana Siva, Ma?” Kebetulan ini hari Minggu, Siva kan libur.“Ada di depan mungkin, dia kan sukanya nyiram tanaman.” Mama kembali sibuk memasukkan bumbu ke wajan. Aku bergegas masuk ke kamar mandi. Rencana hari ini aku akan mengajak Siva jalan-jalan dan makan di luar. Kasihan anak itu pastinya kurang piknik.Keluar dari kamar mandi rupanya mama sudah selesai masak. Sekarang mama sibuk mencuci perabot.“Makan dulu, Fi.”“Nanti.”Berjalan masuk ke kamar untuk mengambil pouch tempat make up lalu aku duduk di ruang tamu untuk berdandan. Kamar Siva agak kurang terang untuk bermake up jadi aku memilih di luar.“Assalamuaikum.”“WaalaikumSalaam,” jawabku menoleh ke pintu. Seorang perempuan berdaster lebar berdiri dan tersenyum.“Ibu ada, Mbak Ufi?”“Ada.” Aku mengangguk. Rupanya mama sedang berjalan ke mari.“Mbak Tutik, ada apa?” Langkah mama menuju teras rumah.“Anu, Bu Fatma nanti siang tolong ke rumah saya, gosokannya banyak, seragam juga besok buat sekolah anak-anak,” ujar Bu Tutik tetangga mama. Aku melirik mendengar omongan Bu Tutik. Jadi sekarang mama buruh gosok baju orang?“Iya, Mbak Tutik, nanti aku ke sana,” jawab mama pelan seolah tak ingin aku mendengar. Aku heran, apa suaminya itu tak pernah memberinya uang belanja?“Ngapain Bu Tutik, Ma?” Tanyaku saat mama melintas di ruang tamu.“Oh, mau minta tolong gosok baju,” jawab mama. Aku menatap dan mama sepeti malu, dia berusaha menghindari sorot mataku.“Ngobrol sini, Ma,” aku menunjuk kursi di depanku. Mama menurut, dia pun duduk. Aku meneruskan mengoles mascara di bulu mata.“Mama kerja gosok dibayar berapa?” Mataku melirik sekilas.“Nggak tentu, Fi, kadang 25 kadang 50, tergantung banyak sama lamanya. Mama nggak ngongso, kok, santai aja. Kalau ada yang menyuruh ya dikerjain kalau nggak ya nggak,” jawab mama dengan tertawa. Menyembunyikan perih di hatinya.“Apa Om Arif nggak ngasih uang?” Aku memberesi alat make up ke dalam pouch. Mama terdiam.“Ya ngasih tapi, kan, Om Arif kerjanya serabutan kadang ada kadang enggak. Mama ikut bantu cari uang kan lumayan buat jajan Siva.”Ck! Aku menyugar rambut, lalu melihat mama. Tiap bulan aku menjatah mama 400 ribu. Itu belum termasuk permintaan mama yang mendadak seperti transfer 100, 50, bahkan pernah minta transfer 500 ribu. Semuanya habis hanya dalam hitungan hari atau mungkin jam. Aku curiga semua uang mama diminta Om Arif untuk mabok atau berjudi. Itulah makanya aku tidak pernah memberi banyak uang pada mama. Kalau dia minta baru aku kasih.“Siva suruh mandi, Ma, aku mau mengajaknya jalan-jalan,” kataku sambil berdiri. Sedianya mama mau aku ajak tapi, mama ada kerjaan gosok. Ya sudah.Jam setengah sembilan pagi aku dan Siva sudah naik grab. Aku mau mengajaknya ke mall. Siva sangat exited, tadi dia berjalan bersemangat dan menebar senyum saat keluar gang. Mirip seperti aku dahulu, gembira meluap luap saat mama mengajakku naik angkot ke mall.“Makan dulu ya, Siva … pilih aja mau makan apa,” kataku saat turun dari mobil. Mall sangat ramai karena Minggu. Tubuh Siva bergoyang-goyang karena senang. Bola mata adikku berputar melihat gerai warna warni di depannya.“Makan berger, boleh?” Ucapnya malu-malu. Aku senang sekali melihat Siva tersipu-sipu. Jarinya masuk ke mulut dan digigit pelan oleh giginya yang gugus.“Ayo.”Menggandeng tangan Siva aku membawanya masuk ke restoran cepat saji. Aku membolehkan Siva memilih makanan yang dia inginkan. Siva hanya memilih cheese berger, aku menambahnya dengan fried fries dan ayam goreng. Siva makan dengan lahap, kakinya bergoyang-goyang di bawah meja karena senang. Aku menatapnya terharu … hatiku seperti teriris. Meski dia adik tiriku tapi, aku menganggapnya adik kandung. Hanya Siva satu-satunya saudara yang aku miliki.Aku temani Siva seharian. Kubiarkan Siva bermain sepuasnya di arena bermain. Habis coin banyak gapapa. Tak lupa aku belikan baju baru, sepatu, tas sekolah dan assesoris seperti jepit rambut, karet lucu-lucu dan bando.“Siva senang?”“Bangett!” Seru gadis cilik itu.“Balik yuk, sudah mau sore,” kataku. Siva mengangguk, mungkin sudah capek.Di dalam grab, Siva memeluk semua belanjaannya. Aku sampai tertawa melihatnya. Grab berhenti di ujung gang, aku dan Siva turun. Kubantu dia membawa belanjaannya yang lumayan banyak. Bergandengan tangan aku dan Siva berjalan pulang.“Jangan, Mas, jangan, itu punyanya Ufi!“terdengar jerit suara mama dari dalam. Aku dan Siva menghentikan langkah tepat di depan pintu.“Ahh! Aku tidak peduli. Anakmu yang pelit itu memang harus dirampok uangnya!” Suara Om Arif.Rampok? Uang? Apa maksudnya? Aku melihat Siva yang terpaku menatap kamar mama.“Siva, kamu main dulu ke rumah teman, ya. Biar belanjaannya mbak Ufi simpan di kamar,” ucapku. Anak itu mengangguk lalu berlari keluar halaman.Menaruh belanjaan di meja tamu, aku bermaksud melihat apa tang terjadi.“Kembalikan, Mas!” Teriakan mama.“Nggak sudi! Hahaha,” tawa Om Arif terdengar seram.Buk, buk! ( bunyi seperti sesuatu yang terjatuh)Lalu terdengar pintu kamar dibuka. Om Arif berjalan cepat keluar dari kamar bahkan hampir menabrakku. Lelaki itu berhenti sejenak di hadapanku. Sedetik sorot mata kami bertabrakan. Wajah Om Arif merah padam seperti sedang marah. Aku melihat di tangannya memegang segepok uang merah.Tanpa berkata apa-apa, Om Arif berjalan cepat keluar rumah dan segera menghilang. Mama tergopoh- gopoh keluar kamar untuk mengejar. Di tangan mama ada amplop coklat yang sudah koyak.“Ufi, hentikan dia! Om Arif mencuri uangmu!” Mama berteriak sambil menunjuk Om Arif yang sudah tak nampak. Mataku melebar seketika.Hah? Mencuri uangku?!Mataku terbelalak pada amplop coklat di tangan mama.BersambungMiskin itu Memalukan 8Istri yang berbakti?“Ufi, Ufi, cepat kejar dia!” Dengan wajah panik, tangan Mama menunjuk-nunjuk ke luar rumah. Aku yang sebenarnya masih bingung berlari ke halaman tapi, terlambat. Punggung Om Arif pun sudah tak nampak. Berlari aku kembali masuk rumah, perasaanku tak karuan dan penuh tanda tanya, apa yang terjadi? “Mama ada apa?” Aku kembali dan berdiri di depan mama yang menangis. Mataku tertuju pada amplop koyak yang didekap mama. Bendelan uang merah nampak mengintip di sudut amplop yang robek. “Kenapa amplopnya koyak, Ma?” Menatap mama penuh selidik, jangan-jangan ….“Huhuhu,” mama tersedu-sedu menangis. Nafasnya sampai tersendat. “Uangmu diambil Om Arif, Fi, huhuhu,” tangis mama menjadi. Aku kaget bukan main. Uang peningsetku diambil Om Arif? Keterlaluan, kurang ajar benar orang itu. Berani sekali dia. Aku akan lapor Polisi, itu yang saat ini terlintas di pikiranku. Merebut amplop rusak dari tangan mama aku segera mengambil isinya. Tunggal tersisa empa
Miskin itu Memalukan 9Wali Nikah Aku masih bekerja seperti biasa karena pertunangan kemarin itu mengambil hari libur reguler yaitu Sabtu dan Minggu. Rencana aku akan ambil cuti tahunan untuk menikah nanti. Aku tidak tahu apakah setelah menikah masih bekerja lagi atau tidak. Pinginnya sih kerja tapi, dari gelagatnya Ruly sepertinya tidak akan mengizinkan. Gapapa sih, berani memintaku berhenti kan artinya dia mampu untuk menopang hidup dan gaya hidup aku. Hari ini sepulang kerja, Budhe Lies memintaku untuk mampir ke rumahnya. Budhe bilang akan membicarakan surat-surat dan administrasi untuk keperluan menikah. Aku memang masuk di kartu keluarganya Budhe Lies maka dari itu seluruh administrasi kependudukan di urus di sana. Karena tidak bisa libur di hari kerja, aku sudah meminta tolong Budhe jauh-jauh hari. Setengah enam sore kurang sedikit aku baru keluar dari kantor. Kerja di bank, apalagi sebagai Teller jarang pulang ontime. Harus balance dulu antara pemasukan dan pengeluaran. Bila
Miskin itu Memalukan 10Telepon nggak, ya?Bimbang“Budhe tahu di mana Papa?” Masih dengan tidak percaya aku bertanya. Ruly turut menatap Budhe dengan wajah serius. Semua ini membuatku gi-la.Budhe mengangguk, lalu menarik nafas dalam, “ya, Budhe tahu,” jawabnya pelan. Ada perasaan lega, senang bercampur aneh menggelayut hatiku. Jadi, kalau selama ini Budhe Lies tahu keberadaan Papa, kenapa tidak pernah bilang dengan mama atau denganku? Apa yang disembunyikan Budhe sebenarnya. “Berita bagus, Budhe … jujur saya kaget mendengar papanya Ufi masih ada. Di manakah dia sekarang, Budhe?” Tanya Ruly kemudian, mewakili apa yang ada di benakku. Aku juga sangat ingin tahu di mana Papa sekarang. Melihat pada Pakdhe yang tidak menampakkan keterkejutan, aku semakin yakin bahwa mereka berdua menyembunyikan sesuatu. Pakdhe terlihat tenang. “Papamu sekarang tinggal di kota Purwokerto,” sahut Budhe mengangguk. Purwokerto? Itu kan masih Jawa tengah? Lima belas tahun lebih ternyata papaku hanya bers
Miskin itu Memalukan 11Bertemu Papa setelah 15 tahunAku akan menelepon! Iya, sudah aku bulatkan hati untuk menelepon papa. Sebentar, biarkan otakku merangkai kata dulu apa yang akan kuucapkan. Lima belas tahun berjarak, membuat lidahku serasa kelu untuk menyapa. Ting!Sebuah pesan masuk di ponselku. Menunduk aku membacanya. Dari Mama.[Ufi, maaf, mama butuh banget uang tolong ditransfer 100 aja, ya]Bola mataku berputar usai membaca chat dari mama. Apa-apaan mama ini, bukannya baru seminggu lalu suaminya mencuri uangku 10 juta, sekarang mama memintaku mentransfer 100 ribu? Apa mama nggak dibagi sedikit pun uang curian itu oleh Om Arif? Rasanya tensiku naik seketika! Benar-benar marah aku kali ini. Sepuluh juta itu banyak. Sebulan aku kerja putar otak, pulang malam saja tidak sampai segitu gaji yang aku terima. Ini 10 juta sudah habis dalam seminggu saja. Bener-bener gi-la aku dibuatnya. Mama itu bukan tanggung jawabku tapi, tanggung jawab Om Arif sebagai suaminya. Aku tidak akan
Miskin itu Memalukan 12PoV Fatma 1(Mama Ufi)Gair_ah sang Berondong“Mas, mana uangnya Ufi yang kamu curi!” Kataku pada mas Arif yang sedang sibuk dengan alat pancingnya. “Sudah habis,” jawabnya singkat bahkan tidak menoleh padaku.“Habis buat apa? Cepat banget?” Mataku melebar. Kaget. Uang sepuluh juta habis dalam sekejap, padahal aku sendiri belum melihat wujudnya. Mas Arif langsung menghilang secepat kilat setelah membawa lari uang Ufi. “Ya buat macam-macam lah,” ujarnya santai sambil menghisap dalam rokoknya. “Mas, itu tuh uangnya Ufi buat menikah!” Gemas rasanya. Aku berpindah duduk di samping Mas Arif. Suamiku itu melirik sekilas. “Anakmu yang pelit itu memang pantas diambil uangnya. Masih untung aku tidak mengambil semuanya.” Lagi-lagi mas Arif menjawab dengan tidak peduli. “Pelit bagaimana, Ufi itu sering memberiku uang buat beli beras!” Aku berbicara dekat telinganya. Biar suamiku ini tahu, Ufi tidak pelit seperti yang sering dia sebutkan. “Itu kan sama kamu. Sama aku
Miskin itu Memalukan 13POV Fatma 2(Mama Uvi)Kenyataan Pahit“Siva, ayo, itu bisnya sudah datang.” Menggandeng Siva, anak bungsuku dan mengajaknya agak mendekat ke badan jalan raya. Bis antar kota antar provinsi yang kunanti selama hampir 15 menit sudah datang. “Agak ke sini, Siva.” Menarik pelan badan gadis mungil itu merapat ke dekat kursi penumpang. Bis penuh hari ini terpaksa aku, Siva dan beberapa orang lainnya berdiri. Siva tidak rewel, dia berdiri diam dengan berpegangan pada kakiku. Demi menuruti kemauan Mbak Lies, aku berangkat jam 7 pagi dari rumah agar bisa sampai sana sebelum jam sembilan. “Duduk sini, dek.” Seorang cewek cantik dengan tas punggung bertengger di punggung memberikan tempat duduk kepada Siva. Aku tersenyum padanya. Dari penampilannya sepertinya gadis baik hati itu seorang Pelajar atau Mahasiswi. “Terima kasih. Siva ayo duduk cepat,” kataku mendorong Siva masuk. Siva duduk dengan menatapku, mungkin takut karena duduk sendiri sedangkan aku tetap berdiri.
Miskin itu Memalukan 14Apa salahku?“Budhe mau perawatan yang mana, pilih aja,” kataku sambil menunjukkan menu treatment kepada Budhe Lies. Hari Minggu ini aku mengajak Budhe untuk melakukan perawatan bersama di sebuah Spa langgananku. Aku memang sudah mengambil program perawatan pengantin di sini. Perawatan untukku sudah dijadwalkan seminggu sekali dan harus selesai sebelum hari H. Treatment meliputi kaki sampai kepala agar aku terlihat glowing dan manglingi saat menikah. Hari ini aku dapat jadwal facial, massage, lulur dan ratus rambut. “Budhe mau yang ada pijetnya, Fi, pegel badan soalnya,” kata Budhe sembari membuka lembaran buku menu. “Massage sama luluran, Budhe?” “Yo wes gapapa,” sahut Budhe Lies menutup buku menu dan menaruhnya kembali di meja resepsionis.“Mbak, minta kamar dobel, ya?” Kataku pada resepsionis. “Iya, mbak.” Kamar dobel artinya dengan dua dipan treatment bersebelahan, agar aku bisa mengobrol dengan Budhe. Sering aku jalan berdua dengan Budhe Lies untuk se
Miskin itu Memalukan 15Hubungan toxic“Mama nanti datang ke Hotel pagi, ya, kan didandani dulu,” ucapku, “kainnya sudah dijahit?”“Sudah.”TapTapTapSuara langkah kaki cepat terdengar mendekat. Tanpa ucap salam Om Arif memasuki rumah. Aku dan Ruly yang duduk di dekat pintu menoleh. Om alif berhenti sejenak menatap kami dengan tatapan tak menyenangkan. “Om ….” Ruly menganggukkan kepala dan beringsut untuk berdiri untuk memberi salam.Aku menahan dengan memegang tangannya. ‘Nggak usah’ begitu isyarat yang kutunjukkan pada Ruly. Kekasihku itu menatapku tidak mengerti tapi, dia membatalkan niatnya mencium tangan Bapak tiriku. Om Arif sering menghina mamaku, tak layak dihormati.Om Arif mendengus kesal lantas bergegas meninggalkan tuang tamu. Sempat tertangkap olehku tatapannya beringas kepada mama. Manusia tak punya adab. Prang! Prang!Seperti suara benda-benda yang sengaja dibanting terdengar dari dalam. Jantungku berdegup kencang, apa lagi yang akan dilakukan oleh ba ji ngan itu. Ma