"Nikahi Aquila supaya posisimu menjadi kuat, lalu jadikan Zeline sebagai selir setelahnya."
Zero mengusap rambutnya kasar. Sejak tadi, kata-kata ayahnya itu terus saja terngiang.
Zero bahkan sampai tak dapat fokus pada kegiatannya saat ini.
"Kakakku, kalau kau terus melamun seperti tadi, kau bisa-bisa kalah dariku." Ucap Iluka yang sedang membidik panahnya.
Cowok itu mengerahkan segala fokusnya, ia melesatkan satu anak panah. Bam! Anak panahnya mengenai angka delapan.
Di sebelahnya, Zero sudah bersedia melakukan hal yang sama. Ia menarik panahnya, lalu melepaskannya. Bingo! Anak panah itu mengenai angka sepuluh!
Zero tersenyum, merasa puas dengan hasil bidikannya yang akurat. "Kemampuanmu cukup mengagumkan, adikku, tapi masih belum bisa jika dibandingkan denganku," Zero menatap Iluka.
Iluka tersenyum tipis, ia mengangguk. "Mari kita lanjutkan lagi permainannya."
Zero meletakkan panahn
"Yang Mulia, nona Aquila menamparku!" Tubuh Aquila seketika membeku, pantas saja Zeline tiba-tiba terjatuh, Zeline sengaja membuat keadaan seakan Aquila tengah merisaknya. Aquila menatap sinis Zeline yang sedang bersembunyi di balik punggung Zero. Dasar cewek licik! "Aquila ... Benarkah itu?" tanya Zero setenang mungkin. "Tidak, Yang Mulia! Aku sungguh tidak melakukannya!" Aquila menyangkal, tentu saja, karena ia tidak melakukannya. Zeline muncul dari balik punggung Zero, "Yang Mulia, tentu saja nona Aquila tidak mungkin mengakui perbuatannya," air mata Zeline turun. Melihat sandiwara Zeline, membuat Aquila benar-benar merasa geram. "Untuk apa aku melakukannya?!" ia berseru. "Nona ... Nona marah karena Yang Mulia lebih menyukaiku, oleh karena itu nona melampiaskan semua amarahmu padaku." Zeline memiliki imajinasi yang luas, ya? "Uhm... Yang Mulia..." seseorang menginteru
Aquila sungguh tidak ingat apa yang terjadi semalam. Yang jelas, kepalanya masih terasa sangat sakit. Ahn bilang, semalam putra mahkota yang membawa Aquila ke sini, saat itu Aquila sedang dalam posisi tak sadarkan diri. Tapi tidak mungkin, kan, Zero melakukan itu? "Nona, jangan banyak bergerak," ujar Ahn yang sedang memasang anting mutiara kepada daun telinga Aquila. Aquila menurut, setelah Ahn selesai melakukan tugasnya, Aquila langsung berdiri. "Ahn, saat ini aku sedang ingin sendiri. Aku akan menuju perpustakaan untuk belajar, kalau terjadi apa-apa temui aku di sana." Tanpa menunggu jawaban Ahn, Aquila langsung keluar dari ruangannya. Cewek itu mencengkram kepalanya yang terasa berat. Aquila baru teringat sesuatu ... Ia ingat semalam mengatakan kalau ia membenci Zero. Aquila menepuk jidat. Bodohnya... Sialan, tak seharusnya ia mengatakan hal-hal semacam itu! Bag
Aquila harus banyak-banyak berterima kasih kepada Alken! Walaupun terkadang menyebalkan, nyatanya cowok itu sudah banyak sekali membantu Aquila. Seperti saat belajar bersama kemarin, dapat Aquila lihat, Alken memiliki wawasan yang begitu luas, bahasanya pun mudah dipahami. "Nona Aquila," Ahn memanggil, "para dayang anda telah tiba." Aquila mengangguk, ia bangkit dari tempatnya lalu berjalan menuju ruang tamunya. Di sana, ada tiga orang perempuan yang menunggu Aquila. Hanya satu dari mereka yang pernah Aquila lihat, dan sialnya, itu adalah putri dari Count Theta! Sialan. Kenapa harus dia yang menjadi dayang Aquila? "Salam hormat kami, nona Charles." ujar ketiganya kompak. Aquila berusaha tersenyum, jelas sekali ekspresi wajah Nona Theta yang terlihat tidak menyukainya. Aquila merasa, nona Theta adalah pendukung Zeline nomor satu! Seperti saat di pesta
"Ada hal apa nona Aquila menahan saya di sini?" Nona Theta bertanya, dengan intonasi ramah yang nampaknya sangat dipaksakan. "Apa anda ingin mengerjai saya seperti yang anda lakukan pada nona Rose?" Aquila menghela napas, ia mengusap wajahnya lelah, "hei, tenanglah." ujarnya. "Kenapa kau selalu saja berprasangka buruk terhadapku?" ia bertanya dengan nada heran. "Bagaimana bisa kau ingin aku berprasangka baik terhadapmu, padahal kau sendiri memiliki sifat yang sangat buruk?" balas Nona Theta. "Kalau begitu..." dengan tatapan yakin Aquila menyodorkan tangannya. "Bisakah kau percaya padaku kali ini saja?" gadis itu tersenyum yakin. Rencana Aquila selanjutnya telah dimulai, dan nona Theta adalah pion penting dalam rencananya kali ini. *** "Pada pesta esok hari, aku ingin menjadi pusat perhatian!" Aquila bangkit dari tempatnya, ia berkata dengan suara lantang sambil menatap para dayangnya satu-persatu.
Di satu sisi, Zeline sedang memilah gaun-gaunnya. Sebenarnya, sejak jauh-jauh hari Zeline sudah menyiapkan sebuah gaun indah berwarna biru yang akan digunakannya untuk pesta musim dingin. Namun, mengetahui kalau ternyata Zero telah sepakat memakai pakaian berwarna senada dengan Aquila, membuat Zeline mengubah pilihannya. Ia batal mengenakan gaun biru itu, sebaliknya, ia tengah mengumpulkan para dayangnya, berunding mengenai gaun untuk pesta nanti malam. "Apa-apaan ini?!" Charelle yang pertama menolak ide Zeline. "Kenapa mendadak sekali?! Kau pikir, gaun yang dipesan pada butik akan langsung jadi dalam waktu sehari?" Lily, salah satu dayang Zeline yang berasal dari rakyat biasa ikut mengangguk, setuju dengan opini Charelle. Mana mungkin sebuah gaun akan selesai dalam waktu secepat itu? "Tapi aku begitu menginginkan gaun berwarna merah muda," pupil Zeline membesar, wajahnya memelas. "Tidak apa-
Merasa tidak enak apanya, sialan! Bagaimana mungkin Aquila merasa tidak enak pada Zeline, padahal ia sendiri juga tahu kalau Zeline begitu pandai memutarbalikkan keadaan?! Seperti saat ini. Tiba-tiba saja beredar rumor kalau Aquila memiliki hubungan gelap dengan Pangeran Iluka. Bagaimana bisa rumor menyebar secepat ini? Lagipula, rumor yang beredar begitu absurd. Maksudnya, hubungan gelap antara dirinya dengan Pangeran Iluka? Aquila sih tidak masalah, tapi sepertinya Pangeran Iluka yang tidak mau dengannya. Tapi, serius, Aquila saat ini sedang berjalan cepat dengan gaun yang diangkat. Dengan keringat yang bercucuran serta degup jantung yang tidak karuan. Aquila harus berbuat sesuatu! Aquila harus menghentikan rumor ini dari sumbernya, yakni, Zeline. Karena apa yang saat ini terjadi tidak bisa dianggap remeh. Bagaimana ini? Semua bangsawan menganggap Aquila me
"Anneth de Theta." ujarnya sambil mengulurkan tangan. "Apa?" Aquila menatap uluran tangan tersebut dengan raut wajah bingung. "Anneth de Theta adalah nama lengkapku." Nona Theta tersenyum. "Mulai sekarang kau bisa memanggilku langsung dengan nama depanku, tidak perlu terlalu formal." Aquila menjabat tangan Nona Theta, tidak, Anneth yang sejak tadi terulur. "Ada apa ini... Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?" "Yah... Harus kuakui kau tidak seburuk yang aku kira," Anneth mengulas senyuman canggung. "Aku dulu begitu membencimu tanpa alasan yang jelas, menyimpulkanmu hanya berdasarkan dari rumor yang beredar, aku bahkan sempat menghasut teman-temanku untuk turut membencimu." "Tapi setelah aku mengenalmu secara langsung, aku berani berkata kalau kau berbeda dengan yang dibicarakan orang-orang." Mendengarnya, Aquila diam seribu bahasa, otaknya masih belum dapat mencerna sepenuhnya perkataan Anneth. "Aku malu men
"Naskahmu kurang konsisten." "Apa?" alis Alken terangkat mendengar celetukan Aquila barusan. "Ceritamu seakan menyudutkan para penyihir tersebut, tapi barusan kau bilang kalau Sang Kaisar yang mengkhianati mereka duluan. Bukankah Sang Kaisar adalah penjahat yang sebenarnya?" "Sang Kaisar melakukan hal itu hanya sebagai tindak pencegahan kalau saja ketua penyihir tersebut menggunakan kekuatannya untuk mengkudeta Kekaisaran." Aquila masih merasa itu bukan alasan yang tepat untuk memburu para penyihir dan semua keturunannya. "Tapi bukankah hal itu terlalu berlebihan? Maksudku, Sang Kaisar memanfaatkan, mengkhianati, memburu seluruh keturunan penyihir, serta membuat seolah-olah para penyihir hitam-lah penjahatnya." "Kau terlalu naif, Nona." pria berambut putih itu menyahuti. "Apa?" kali ini giliran Aquila yang bertanya. "Seandainya Sang Kaisar saat itu memberikan separuh kekuasaannya, bisa saja kali ini para penyi