"Aquila, maafkan aku."
Mendengarnya, tubuh Aquila menegang, matanya membulat memastikan apa yang baru didengarnya itu benar.
"Aku..." Aquila tak dapat berkata-kata, tubuhnya terasa begitu kaku.
Tanpa disadari, ia meneteskan air mata.
"Ah, maafkan aku!" Aquila segera menarik tangannya dari genggaman Zero, ia menyeka air matanya.
"Aquila, kau menangis!" Zero berseru panik, ia hendak menghapus air mata cewek itu—namun tangannya ditepis.
"Aku tidak apa-apa." Aquila berujar dengan air mata berderai. "A—air mataku turun sendiri..." lirihnya sambil menghapus jejak air matanya dengan kedua tangan.
"Ma—af Yang Mulia," Aquila membungkuk hormat, "aku pamit dulu," ujarnya sebelum berbalik tanpa menunggu reaksi Zero.
Aquila berlari kecil, dengan gaun yang ia angkat. Sebenarnya, ia juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Air matanya turun begitu saja?
Lalu,
"Kau bisa berkuda, Aquila?" tanya Iluka. Aquila hanya menggeleng, kalau boleh jujur, ia bahkan merasa takut. "Bagaimana kalau aku mengajakmu berkuda? Apa kau mau?" "Tentu, tetapi aku merasa sedikit takut." Aquila menatap Iluka, sorot keraguan terlihat jelas pada matanya. "Hey, kau tenang saja, 'kan ada aku!" Iluka tersenyum manis, tangannya bergerak melepaskan ikatan pada Zeus— kuda putih miliknya. "Kau harus bertumpu pada injakannya," Iluka memberi instruksi. Aquila mengangguk, ia percaya pada Iluka, walau tangannya sedikit gemetar, ia berhasil menunggangi kuda putih itu. Tak lama setelahnya, Iluka juga menaiki kuda tersebut, dengan posisi persis di belakang Aquila. Aquila menahan senyumnya yang nyaris mengembang, dengan jarak sedekat ini ... Jantungnya terasa tidak karuan. Bahkan tangannya tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Iluka saat cowok itu memegan
"Sepertinya belum begitu lama sejak terakhir kali aku melihatmu menangis, sekarang kau malah terus tersenyum sendiri seperti—" "Ssttt~" Aquila mendekatkan telunjuknya persis di depan bibir Ahn, "hentikan komentarmu, Ahn, aku sedang merasa senang!" ujarnya dengan senyum yang lebar. "Kau tahu tidak, apa yang tadi aku lakukan bersama dengan Pangeran Iluka?" tanya Aquila. Ahn menggeleng. Ia tidak berminat untuk menjawab. "Coba tebak!" Mata Ahn memicing, menatap pakaian Aquila yang terlihat acak-acakan, "kalian tidak melakukan hal yang diluar batas, kan?" Aquila langsung menggeleng tegas, "tidak, tidak, tentu saja tidak! Sepertinya ada yang tidak beres dengan pikiranmu, Ahn!" Ahn tidak merespon. "Tadi, Pangeran Iluka mengajakku berolahraga!" "Lalu?" "Lalu katanya, ia bersedia untuk mengajariku berbagai macam hal, seperti berpanah, dan yang lainnya!" Melihat ekspresi
Sudah sedari tadi, Aquila berusaha keras untuk menetralkan degup jantungnya, namun sia-sia saja, debaran jantungnya tak dapat dikendalikan. Bukan tanpa alasan saat ini ia merasa begitu gugup. Pasalnya, hari ini adalah hari dimana festival (yang nantinya akan diselenggarakan selama tiga hari dan tiga malam) resmi dibuka. Bukan festivalnya yang membuat Aquila merasa gugup, melainkan seseorang yang berada persis di sampingnya inilah yang membuatnya merasa tak karuan. "Aquila, kenapa kau diam saja, kau sedang memikirkan apa?" Pangeran Iluka memiringkan kepalanya, ia mengibaskan tangannya persis di depan wajah Aquila. Aquila menggeleng pelan, tidak mungkin kan ia bilang kalau sedang memikirkan Iluka? "Kalau kau sudah siap, aku akan membawamu menuju kereta kuda." Sang Pangeran tersenyum cerah, ia mengulurkan tangan— yang langsung disambut dengan senang hati oleh Aquila. Aquila berjalan beriringan dengan Il
"Maaf." Aquila menengadahkan kepalanya, menatap wajah Iluka yang baru saja mengucap kata maaf. "Maaf? Untuk apa?" Jawab Aquila, jujur saja, ia tak merasa Iluka ada salah padanya. "Aku... Seharusnya tadi aku lebih bisa menahan emosi, tingkahku tadi hanya memperkeruh keadaan." Aquila menggeleng, "tidak, kau tidak salah, aku justru sangat berterima kasih padamu." Hening lagi. Iluka larut dengan pikirannya, sedangkan Aquila sibuk menatap ke arah jendela, melihat salju yang mulai turun. Drama di pagi hari tadi, membuat Aquila merasa enggan untuk kembali melanjutkan kegiatan, ia juga merasa enggan bertemu dengan siapapun— kecuali Iluka, tentunya. Oleh karenanya, Aquila memutuskan untuk kembali ke dalam kereta kuda miliknya. "Aquila," Si empunya nama menoleh ketika Iluka memanggilnya. "Kau tunggu di sini sebentar, aku akan segera kembali. Ada urusan yang harus aku kerjakan." Ujar Iluka.&nb
"Kau dari mana saja? Aku sejak tadi mencarimu." Ujar Iluka seraya menghampiri Aquila. "Aku..." Ucapan Aquila terjeda, tidak mungkin, kan, ia bilang habis bertemu seorang penyihir? "Aku tidak dari mana-mana." Iluka tak begitu mengindahkan jawaban tak jelas dari Aquila, cowok itu melangkahkan kakinya, tangannya menuntun Aquila menuju ruang pertemuan. "Ayo." Sebenarnya Aquila sangat malas, kalau boleh, ia ingin pulang saja, tapi tentu ia tak dapat melakukannya. Di dalam ruangan, Aquila sibuk mengedarkan pandangannya, banyak bangsawan yang tengah bercengkrama. Dari yang Aquila tangkap, sebentar lagi akan diadakan lomba berburu hewan. Lomba ini diadakan berpasangan, Putra Mahkota berpasangan dengan kekasihnya, tentu saja. Aquila menoleh pada Iluka yang tengah mengambil sebuah busur. "Kau ingin yang mana?" Tanya Iluka. Aquila terdiam, Aquila tidak bisa memanah, kalau dirinya berpasangan dengan Iluka, Aqu
Raganya ada di sini, namun pikirannya entah berada di mana. Aquila, sedari tadi larut dalam pikirannya, perkataan Zeline benar-benar tak bisa dianggap angin lalu— dan entah mengapa kini Aquila teringat akan ramalan Madam Gienka. Benarkah ... Alur yang susah-susah Aquila ubah akan kembali seperti semula? Kali ini, jejak kaki seekor hewan kecil berhasil mengalihkan pemikiran Aquila dari kalimat-kalimat Zeline. Aquila mengikuti jejak kaki yang membawanya ke sebuah pemandangan tidak mengenakan. Ada seekor kelinci salju yang terjatuh dalam sebuah lubang— lebih mirip jebakan. Aquila segera memosisikan busurnya, ini kesempatan untuknya, tangkapan pertama untuk hari ini. Aquila memusatkan titik fokusnya, ia bisa melepaskan anak panah ini kapan saja. Tapi gerakannya terhenti. Aquila menurunkan senjatanya. Ia... Tidak tega jiga harus membunuh kelinci ini. "Aku tidak bi
"ALASTER!" "Aduh," Alaster menutup kedua telinganya, "kau berisik sekali." Semua yang berada di meja itu, menatap sosok yang baru saja datang, Alaster, lelaki itu masih berdiri di belakang kursi Zero. Tanpa sadar Aquila sudah berdiri— nyaris saja ia berlari memeluk kakaknya itu, untung Aquila masih bisa mengendalikan dirinya. Atmosfer mendadak berubah semenjak kedatangan Alaster, Aquila yang raut wajahnya berubah bahagia, Zeline yang entah mengapa nampak sedikit tak nyaman, Zero yang jadi semakin sigap, dan Iluka yang masih saja diam. "Sebenarnya aku lelah sekali, baru sampai dari perjalanan jauh, aku ingin istirahat. Namun percakapan kalian membawaku ke sini." Alaster berujar. "Aku jadi penasaran kalian sedang membicarakan apa? Nampaknya seru sekali." Alaster menduduki bangku yang kosong, tersenyum lebar sembari menatapi wajah penghuni meja ini satu-persatu. Aquila meneguk ludah. Alaster mengucapkannya dengan n
"Hoaaahmm," Aquila menguap lebar, membalikkan badannya, mencari posisi ternyaman untuk berbaring. "Hei, bangun!" Ahn, memasang tangan di pinggang, menggeleng melihat kelakuan majikannya yang nampak tak sudi berpisah dengan ranjangnya. "Sekarang sudah hampir tengah hari, Nona. Ini adalah hari kedua festival, kau tidak berniat melewatkannya, kan?" "Sebentar lagi, Ahn." Ucap Aquila malas. "Aku sangat mengantuk." "Sebentar lagi apanya?!" Seru Ahn, "kau sudah mengatakan itu berkali-kali." Aquila tak merespon. "BANGUUUUN!" kali ini, teriakan nyaring Ahn sukses membuat Aquila terperanjat dan segera bangkit dari ranjangnya. *** "Aduh! Pelan-pelan, Ahn!" Aquila mengaduh kesakitan saat Ahn menarik tali korset di pingganggnya— mengencangkannya. "Diam sebentar, Nona." balas Ahn yang masih sibuk dengan kegiatannya. "Haruskah kita melakukan ini?" Aquila mengeluh, korset itu... Benar-benar menyesa