"Astaga, aku mudah sekali menangis." Aquila berujar sembari menyeka air matanya.
Tuan Alucio— Aquila baru ingat Tuan Alucio pernah meminta untuk dipanggil dengan nama depannya, Revel— lelaki yang baru menolongnya itu menyampirkan sebuah mantel ke pundak Aquila.
"Jangan dipikirkan." Itu kalimat pertama Revel setelah terjadi kesunyian selama beberapa saat.
Aquila mendongak, ia juga tidak mau memikirkannya, tapi apa yang dilihatnya barusan terus saja terngiang-ngiang di otaknya.
Dua orang itu. Kenapa mereka melampiaskan nafsunya di balkon yang notabenenya adalah tempat umum?
Tidak bisakah mereka melakukannya di tempat yang lebih menjamin privasi, seperti kamar? Memangnya Zero tidak punya uang untuk membawa Zeline ke kamar?
"Astaga," Aquila bergumam, memijat pelipisnya.
Aquila memang sebelumnya meminta Zero untuk bersenang-senang dengan Zeline— namun bukan hal seperti itu yang ia maksud.
Seumur hidup, Aquila tak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Atmosfer terasa begitu berat, sedari tadi Aquila menahan napasnya. Suasana ini ... Terasa begitu tak mengenakkan. Saat ini, kedua orang itu— Revel dan Alaster tengah berdiri berhadap-hadapan. Alaster memberi tatapan menusuk, ia menggeram, aura kekesalan jelas terlihat dari tatapan Alaster. Seolah, cowok itu dapat kapan saja menghantam pria di depannya ini. Sedangkan Revel, ia terlihat lebih tenang, ekspresi wajahnya datar, seakan tak ada Alaster di depannya— justru ekspresi itu yang sukses membuat kekesalan Alaster bertambah. Tangan Alaster bergerak, mencengkeram bahu Revel kuat-kuat. Ia memicing tajam. "Apa yang hendak kau lakukan pada adikku?!" Revel menghela napasnya, ia memutar bola mata. "Aku tidak melakukan apa-apa." Jawabnya malas. "BOHONG!" Alaster menyentak, "KAU HENDAK MENCIUMNYA, KAN?!" ia menuding.
Waktu demi waktu berlalu. Semua terasa begitu cepat. Dalam waktu satu minggu ini, ada banyak hal yang Aquila lakukan, ia mendatangi banyak sekali pesta yang diadakan para bangsawan— tentunya untuk meninggalkan banyak kesan baik. Ia juga menggunakan uang pribadinya untuk disumbangkan pada sebuah tempat penampungan anak terlantar, tentu dengan harapan namanya menjadi lebih bersih di mata rakyat. Namun itu semua belum cukup, Zeline pasti melakukan hal yang lebih, tentu Zeline tak akan diam saja melihat Aquila melancarkan rencananya untuk terpilih menjadi Putri Mahkota. Zeline juga pasti memiliki rencananya tersendiri. "Terima kasih, Ahn." Ujar Aquila saat Ahn selesai menata rambutnya. Ahn mengangguk, "wajahmu terlihat lelah, Nona." Komentarnya. "Yah, sedikit," Ucapnya pelan. "Aku lumayan lelah dengan semua rutinitas ini." gumamnya, "bahkan masih ada banyak hal yang belum aku lakukan." "Semangat,
Rose masih berusaha menetralkan detak jantungnya, nyaris saja ia ketahuan sedang mengendap-endap ke ruangan Nona Zeline, untungnya Rose dapat menemukan tempat persembunyian yang aman. "Jadi, apa yang ingin kau laporkan?" Tanya Zeline langsung pada inti pembicaraan. Wanita itu melipat tangannya di dada, memandang skeptis, Rose pernah mengecewakan Zeline dengan memberikan informasi yang keliru, jadi kali ini Zeline tak akan menelan mentah-mentah kalimat yang Rose katakan. "Ini tentang Nona Aquila dan Viscount Falls, Nona." Ujar Rose. "Aku mendengar percakapan ini di perpustakaan, ternyata yang membuat Viscount Falls membatalkan kerja samanya dengan Baron Aideos adalah Nona Aquila." "Nona Aquila menolak untuk berinvestasi kalau Viscount Falls masih bekerja sama dengan Baron Aideos. Ini yang menyebabkan Viscount Falls memutus kerja sama secara sepihak." Lanjut Rose. "Alasan Nona Aquila berbuat demikian sungguh kekanakan, itu karena ia tidak menyukai a
"Menjijikkan." Zeline melempar sembarangan surat kabar yang baru saja ia baca itu. "Sangat menjijikkan, mencoba mengenal rakyat lebih dekat apanya?" ia mengomentari surat kabar yang tercetak wajah Aquila pada halaman pertama. "Bukankah itu sama saja ia sedang mengakui kalau ia sedang berusaha merebut hati rakyat?" "Zeline," Charelle— dayang Zeline, tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan. Ujung sepatu kacanya tanpa sengaja menginjak surat kabar yang baru saja dilempar Zeline. Charelle membungkuk, memungut surat kabar itu, "maksudmu, ini yang menjijikkan?" Charelle terkekeh, menunjukkan surat kabar dengan wajah Aquila tersebut. Zeline mendengus kesal, status Charelle hanyalah dayangnya, tetapi wanita itu sangat tidak sopan, seenaknya masuk ke ruangannya. "Tidak, tadi aku melihat tikus, dan itu sangat menjijikkan." "Ruangan Nona Zeline banyak tikusnya, ya?" Charelle mengangkat sebelah alisnya. "Nona, sebenta
"K— kau... Apa?!" Mata Aquila membelalak, berusaha memastikan ia tak salah dengar. "Kau menampar Nona Zeline?" Charelle mengangguk. Jelas sekali sorot ketakutan terlihat dari matanya. "Kenapa kau melakukan itu?" Aquila bertanya bingung. Wanita itu meringis, bahkan, Aquila saja tak berani melakukannya— karena ia tahu Zero akan menjadi orang pertama yang menyeretnya ke dalam lubang kematian kalau ia berani macam-macam dengan kekasihnya. Nona Theta yang mendengarkan hanya bisa menepuk dahi, "kau hanya memperpendek umurmu," Komentarnya— yang membuat Charelle semakin panik. "Nona Zeline merendahkanku!" Charelle berseru, berusaha menjelaskan penyebab perbuatannya. "Tentu aku tidak akan diam saja!" "Merendahkanmu?" Dahi Aquila terlipat, ia tebak, pasti sebelumnya terjadi perdebatan di antara mereka yang menyebabkan Zeline naik pitam— tidak mungkin Zeline tiba-tiba saja langsung merendahkan Charelle tanpa ada alasan yang jelas, ditam
"Astaga... Itu benar-benar hal yang buruk..." Countess Eliza— salah satu dayang Aquila menutup mulutnya. Ia nampak terkejut dengan hal yang baru saja Aquila ceritakan. Aquila bersandar pada dinding, wajahnya nampak frustasi. "Charelle dimasukan ke dalam penjara bawah tanah, Nona Theta juga entah diseret ke mana, dan Zero mengancamku kalau aku ikut campur." Ia mengusap wajahnya, "aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan." Aquila pikir bercerita pada Countess Eliza dapat membantunya keluar dari kebuntuan, nyatanya sama saja, Countess Eliza juga tak tahu harus berbuat apa dalam situasi seperti ini. Countess Eliza menepuk bahu Aquila— berusaha menenangkan gadis itu, "bagaimanapun juga, kau harus ingat, saat ini kau berhadapan langsung dengan sang putra mahkota, aku tak ingin kau salah langkah dan justru melakukan hal yang membahayakanmu." Wanita itu menatap dengan sorot cemas. Ahn datang, membawakan pesanan Aquila. "Ini, Nona.
Udara yang hangat, ruangan yang berisikan furnitur kayu, serta jejeran rak buku yang tertata rapi pada pojok ruangan. Aquila bersandar nyaman pada sebuah kursi kayu. Rumah ini, meskipun ukurannya sangat kecil, tapi rasanya sangat nyaman. "Ini rumahmu?" Tanya Aquila terhadap Alken yang sedang sibuk menyalakan perapian. "Tentu saja." Sahut Alken tanpa menoleh, ia masih sibuk mengurusi tumpukan kayu di tangannya. "Memangnya untuk apa aku membawamu ke rumah orang lain?" "Tidak, maksudku, untuk apa kau memiliki rumah kecil di pinggir kapital? Bukankah istana sudah sangat besar dan nyaman?" "Hmm?" Alken bangkit setelah selesai menyalakan perapian, kali ini ia kembali sibuk dengan kegiatannya yang lain. "Rumah ini aku gunakan untuk menyimpan arsip dan dokumen yang penting. Tidak ada yang mengetahui tempat ini selain kau, yah, bisa dibilang ini tempat rahasiaku." Ujarnya sembari menyeduh teh. "Oleh karena itu, jangan katakan pada sia
"Apa kau yakin Tuan Varen ada di sini?" Aquila bertanya lagi, hanya untuk memastikan. Alken mendengus, "aku kan sudah mengatakannya, lagi pula tadi kau dengar sendiri, kan, apa yang pelayan di kediaman Varen katakan? Marquis Varen sedang berada di sini." Aquila menganggukkan kepala, ia menatap perkumpulan para bangsawan di depannya, salah satu di antaranya pasti adalah Marquis Varen. "Tuan Alken, boleh aku bertanya lagi?" "Apa?" Tanya Alken sedikit ketus, "awas saja kalau pertanyaanmu tidak penting." Aquila tidak begitu mempermasalahkan sahutan Alken yang terdengar ketus, pria itu, meski cara menjawabnya terdengar menyebalkan, jawaban Alken selalu berguna dan dapat dipercaya. Aquila mundur satu langkah, lantas melakukan gerakan berputar, "bagaimana penyamaranku?" Ia bertanya, "tidak akan ada yang menyangka, kan, kalau aku adalah Nona Charles?" Alken meletakan tangan pada dagu, "hmm... Sekilas mungkin tak akan ada ya