Aquila melipat kedua tangannya di dada, ia bersandar pada dinding sembari memandangi seseorang yang nampak mengendap-endap.
Malam semakin larut, tapi, jangankan berkhayal untuk bisa berbaring di kasur seperti biasanya, Aquila justru masih saja disibukkan dengan hal-hal seperti ini.
Aquila menghela napasnya, wajahnya terlihat muak, "dari mana saja kau malam-malam begini?" Ia bertanya kepada Rose yang nampak terkejut akan kehadiran Aquila secara tiba-tiba.
Rose terperanjat, "n- nona, Aquila..."
"Ini sudah larut malam, Nona Rose. Kenapa kau berkeliaran keluar semalam ini?"
"Aku... Aku sedang..." Wajah Rose nampak tengah berpikir, "aku sedang mencari angin, Nona..."
"Hmm?" Alis Aquila terangkat, ia nyaris tertawa akan kebohongan Rose yang terdengar konyol. "Kau sedang mencari angin? Benarkah?"
"I-iya, Nona!"
"Atau kau telah kembali dari ruangan Nona Zeline setelah melaporkan segala tindak-tandukku dari awa
"Master A." Marquis Varen menyebut, pria itu kini berhadapan dengan Aquila dalam mode 'penyamarannya' "aku sangat berterimakasih padamu." Ia menundukkan badannya, memberi hormat. Aquila mengangguk canggung, merasa tak enak melihat orang yang jauh lebih tua darinya ini menunduk di hadapannya. "Iya, sama-sama." "Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau kau tidak menolong putriku," Marquis Varen menghela napasnya, "aku sungguh berterimakasih, oleh karena itu, tolong terima ini." ia menyerahkan sebuah kantung yang berisi emas. Aquila menggeleng, ia tidak butuh uang. "Aku kan sudah pernah mengatakannya, aku tak butuh uangmu, Tuan." "Baiklah. Aku sudah menduga kau pasti menolaknya." Marquis Varen kembali menyimpan kantung itu. "Kalau begitu, ke depannya, setiap kau membutuhkan bantuan, apapun itu, jangan sungkan untuk menghubungiku. Aku akan membantumu sebisaku, aku pasti akan membalas budi." Aquila mengangguk. Bertambah la
"PUTRIKUUU!!" Aquila membalas pelukan erat kedua orang tuanya. Tanpa sadar air matanya mengalir, ia sangat merindukan mereka! "Aku sangat merindukan putrikuuuu..." Duke Charles memeluk erat, membuat Ducchess Aretha hendak protes. "Hei, aku juga ingin memeluknya." Aquila tersenyum lebar, entah tiba-tiba saja langkah kakinya membawanya menuju kediaman orang tuanya. Awalnya Aquila tertangkap penjaga— mereka menyangka Aquila adalah penyusup. Namun setelah membuka jubahnya, Aquila langsung dilepaskan. "Apa kau tidak merindukan kakakmu ini, adikku?" Alaster berujar dari arah belakang Aquila. Pria itu tengah berdiri sembari merentangkan kedua tangannya, ingin dipeluk juga. "Tidak, tuh!" Aquila menjulurkan lidahnya. "Hei!" Alaster menggerutu. "Jangan ganggu adikmu, Alaster." Ducchess Aretha memperingati, "ia pasti lelah sekali, telah diam-diam melarikan diri dari istana." Aquila meringis, ia jadi ingat sesuatu, "kalau Z
"Terima kasih, Master A." Ujar seorang pria paruh baya dengan pakaian gombrangnya, ia merangkul putrinya yang sedang menangis sesenggukan. "Sudah dua hari putriku tidak pulang ke rumah, dan sudah selama itu juga aku tak dapat tidur karena mencemaskannya. Tapi kini kau dapat menemukannya, aku sungguh-sungguh berterimakasih." Aquila menggaruk tengkuknya, ia tersenyum canggung. "Aku senang dapat melakukannya untukmu," "Seandainya saja aku punya banyak uang, pasti aku akan memberikannya padamu sebagai tanda terima kasih." Pria itu memasang wajah menyesal, ia mencoba merogoh sakunya, "aku hanya memiliki beberapa keping uang logam, apa ini cukup?" "Eh?" Aquila menggeleng pelan, "aku tidak minta bayaran, Tuan. Aku melakukannya tulus hanya ingin membantumu." Ujarnya. "Sekarang simpan kembali uangmu, lebih baik belikan makanan untuk putrimu." Pria itu kembali menyimpan uangnya, matanya berkaca-kaca, "seperti rumornya, kau memang orang yang sangat baik, Master
Sepertinya kali ini Zeline sangat berhati-hati, ia masuk ke dalam ruangan gelap yang sulit dijamah orang umum. Aquila bahkan tak menemukan celah untuk masuk. Aquila tak dapat melihat dengan siapa Zeline berbincang, untungnya saja, ia masih dapat mendengar suara mereka. "MADAM, AKU SUNGGUH TAK TAHAN DENGAN SEMUA KEPALSUAN INI!" Seruan Zeline terdengar, ah, ternyata ia bertemu dengan Madam Gienka. Aquila menoleh ke sekitar, ada seberapa banyak tempat persembunyian yang Madam Gienka miliki? Seingatnya, ini berbeda dengan tempat di mana pertama kali Aquila bertemu dengannya. "Ya, kau benar, sihir itu memang membuat Zero cinta mati padaku, ia menuruti semua keinginanku. Tapi, tetap saja rasanya berbeda..." Zeline melanjutkan kalimatnya. "Zero mencintaiku, tapi terasa semu." "Ia bahkan tak pernah merasa cemburu atau sekalipun bertanya setiap melihatku berdua dengan pria lain," Tuturnya. "Reaksinya berbeda sekali setiap melihat Aquila dengan
Rasanya sulit bagi Zero untuk fokus pada kegiatannya saat ini. Kalimat Aquila semalam terus saja menempel pada pikirannya. Zero menatap Zeline yang sedang memberi makan angsa kerajaan di sebelahnya. Seperti biasa, Zeline terlihat sangat manis. Sulit dipercaya wanita selembut dan semanis itu adalah pemakai sihir hitam— yang terhitung pelanggaran berat pada Kekaisaran Timur. Zero menghela napasnya. "Ada apa Yang Mulia?" Zeline berlarian kecil ke arah Zero. "Hari ini kau terlihat berbeda... Tidak seperti biasanya." Zeline menatap Zero dengan mata bulatnya. "Kau terlihat kurang fokus... Apa ada masalah?" Zero menggeleng pelan. "Tidak, aku baik-baik saja. Kau jangan khawatir." "Ah, syukurlah." Zeline berujar lega, wanita itu memeluk lengan Zero dengan erat. "Aku khawatir sekali padamu, untungnya saja kau tidak apa-apa." Zero tersenyum tipis, mengelus rambut Zeline. Tuh, kan. Zeline adalah orang yang paling perhatian dan pali
Perempuan berambut pirang itu hanya bisa duduk diam sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya ke atas meja. membuat irama secara sembarang. Menunggu itu rasanya sungguh membosankan. Apalagi, jika tak ada kepastian kapan orang yang ditunggu itu akan tiba. Panjang umur. Aquila segera menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Akhirnya! Orang yang sedari tadi ia tunggu datang juga. "Rose." Aquila menyebut nama orang itu. "Jadi, bagaimana?" Rose, dayang Aquila yang ternyata adalah mata-mata kiriman Zeline, menghadap Aquila. "Nona Zeline kemarin meninggalkan ruangannya untuk waktu yang cukup lama." Lapor Rose yang kini sudah memihak Aquila. "Tapi Nona Zeline tak menemui siapapun lagi selain Yang Mulia Putra Mahkota. Nona Zeline keluar hanya untuk berkencan dengannya." tuturnya. "Hanya itu?" Aquila menyipit, "kau yakin tidak ada lagi yang hendak kau sampaikan?" Rose menggeleng, "tidak, Nona." ungkapnya. "Setelah selesai menghabiskan waktu de
Charelle memaksakan matanya untuk terpejam. Tapi sangat sulit rasanya! Tak peduli selarut apa sekarang, ia masih terjaga. Semenjak kejadian di mana ia dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah, hidupnya serasa menjadi mimpi buruk. Ia sering merasa ketakutan, sulit untuk tertidur, bahkan iapun enggan menyentuh makanannya. Terdengar berlebihan, mungkin. Tapi bagi Charelle yang selama ini selalu hidup dimanjakan, bergelimang harta, dan dikelilingi oleh barang-barang mewah, tentu, penjara bawah tanah dapat memberinya perasaan traumatis seperti saat ini. Charelle ingat betul penjara bawah tanah itu, bahkan tengkorak beserta tulang belulang yang berada pada sel di sampingnya pun masih melekat dengan erat di pikirannya. Air matanya lolos begitu saja, membasahi bantalnya. Charelle terisak. Terdengar suara ketukan pintu, salah seorang pelayan masuk, "Nona belum tidur?" tanya pelayan tersebut dengan nada lembut. Charelle tak menjawab meskipun ia
"Aku tidak akan mempercayaimu lagi, Zeline." Ujar Zero dengan ekspresi marah. Bisa-bisanya, kekasih yang selama ini selalu ia percaya... Kekasih yang selalu ia anggap sebagai sosok yang sangat baik dan berhati suci, mengkhianatinya seperti ini! "Z- Zero..." Zeline terbata-bata, ia sungguh tak menyangka Zero akan datang ke sini. Meskipun tubuhnya belum pulih, Zeline masih berusaha untuk meraih tangan Zero. "Yang Mulia, sungguh, ini adalah sebuah kesalahpahaman!" ujar Zeline dengan air mata bercucuran. Zeline menoleh lalu menunjuk ke arah Aquila, "aku dijebak! Nona Aquila yang telah menjebakku! Iblis itu pasti sudah merencanakan ini semua." Aquila memutar bola matanya. Kenapa jadi dia yang dikambinghitamkan? "Drama apalagi yang tengah kau ciptakan, Zeline?" Zero menatap tajam. "Sudah cukup hatiku yang kau hancurkan, jangan coba-coba menuduh sahabat masa kecilku yang tidak-tidak." "Aku bisa menjelaskannya padamu!" Ze