" Jadi benar gadis ini calon istri Anda, Pak Raga? Wah pertama kali go public ya? Namanya siapa, Pak Raga?"
Para kerumunan pewarta itu terus maju. Mereka mendesak Ochi yang tengah berdiri di samping meja, hingga ia nyaris jatuh tersungkur. Untung saja ada sepasang tangan kuat yang menahan punggungnya. Tangan Pak Raga ternyata!
Ochi mencoba menggeser-geser tubuhnya, menjauhi lengan Raga. Namun ia kalah cepat dengan Raga. Karena lengan Raga kini malah melingkari pinggulnya di hadapan para pewarta. Para kuli tinta itu terlihat sangat anthusias karena akan mendapat berita terkini.
Kilatan lampu blitz yang terus menerus menerpa wajahnya, membuat Ochi risih. Ia berupaya memalingkan wajah, sambil meper meper kearah kursi tunggu. Situasi ini begitu tidak mengenakkan baginya. Namun lagi-lagi, Raga menahan langkahnya.
"Nama kamu siapa, Sayang? Ayo dong kasih tahu mereka? Tadi aja kamu deng
"Sa-Saya Saya minta maaf. Ta-tadi ponsel saya kehabisan daya. Dan saya baru tahunya sewaktu di kantor omnya murid saya. Jadi baru saya charge di sana. Makanya pas tadi Bapak telepon sudah aktif lagi kan ponsel sa-saya?"Ochi memandang Badai takut-takut. Dia memang sudah melakukan kesalahan yang amat besar."Keadaan rumah di Kemang bagaimana ya, Pak? Apa-apakah semuanya baik-baik saja?" Badai menghela nafas panjang. Melindungi saksi kunci seperti Ochi bisa semakin memendekkan usianya sepertinya."Kalau Anda hanya ingin tahu keadaan Banyu tetapi gengsi untuk menanyakannya pada saya, saya akan menjawab rasa penasaran Anda sekarang juga. Mas Banyumu itu baik-baik saja. Puas? Ada hal lain yang ingin Anda tanyakan?"Ochi terdiam. Ia mengenali suasana hati Badai dari panggilannya pada dirinya. Kalau hatinya sedang baik, maka Badai akan memanggilnya bu guru atau kamu. Tetapi kalau Badai
"Kalau analogi lo seperti itu, mari kita luruskan. Status gue memang hanya polisi yang kebetulan mendapat tugas untuk melindungi saksi. Lantas status lo apa terhadap saksi gue? Dibilang pacar? Bukan? Dibilang suami? Bukan juga. Jadi mulai hari ini, berhenti untuk menghubung-hubungi saksi gue lagi. Ngerti lo?!" bentak Badai tegas. Walau hanya berbicara melalui ponsel, Badai tetap menujukkan ketegasannya pada Banyu. Laki-laki modelan Banyu ini memang perlu untuk dicuci otaknya.Badai terkadang heran dengan orang yang sudah jelas-jelas salah, tapi masih saja bersikap playing victim seperti Banyu. Apa lagi itu dilakukan oleh kaumnya sendiri yang katanya berego tinggi. Tidak malu apa dengan burung garuda segede gambreng?"Emang lo siapanya sampe berani ngelarang-larang gue menghubungi pacar gue? Ayahnya?""Lebih tepatnya calon imamnya, insyaallah!" Dan Bada
"Bapak nggak mau masuk dulu sebentar? Nggak enak kalau Bapak cuma nunggu di mobil. Nggak sopan, Pak. Saya akan menyusul ke depan sekalian berpamitan.""Oke. Saya akan menunggu di teras."Setelah Badai mematikan panggilannya, Ochi mencoba memutar otak agar bisa terbebas dari suasana tidak mengenakkan ini tetapi dengan cara yang sopan."Ehm, Tante. Saya permisi pulang dulu ya, Tan? Soalnya saya sudah dijemput."Empat kepala langsung menoleh. Mereka menatapnya dengan pemikiran yang berbeda-beda. Belum sempat Tante Marini menjawab, ponselnya berbunyi. Satpam memberitahukan ada orang yang ingin menjemput Oceania, dan meminta izin masuk. Tante Marini membolehkan, karena
Sepanjang lorong menuju kamar jenazah rumah sakit, Badai terus saja menggenggam telapak tangan Ochi. Sebenarnya Badai tidak tega membawa Ochi untuk melihat jenazah orang bunuh diri. Apalagi dengan cara menembak kepalanya sendiri. Sudah pasti penampakannya tidak manusiawi, dengan kepala bolong dan otak yang berceceran. Tetapi apa boleh buat, tugas tetaplah tugas. Semakin cepat benang merahnya ditarik, maka semakin cepat pula kasus terkuak. Di depan pintu yang bertuliskan kamar jenazah, suhu yang mendadak terasa sangat dingin. Tampak Elang Pramudya telah berdiri di sana bersama dengan AKBP Reihard Ratulangi, reserse devisi kriminal. "Ayo kita langsung saja mengidentifikasi jenazah. Mudah-mudahan saja Ibu dapat mengenalinya. Tolong beri kami satu clue saja, Bu." Elang mensejajari langkah Ochi di sebelah kiri, sedangkan Badai di sebelah kanannya. Dalam diam mencoba memberi kekuatan dalam genggaman tangannya.
"Ini ceritanya Bapak mau melamar saya atau bagaimana?" dengkus Ochi kesal."Ya kamu dong niatnya tadi bagaimana? Minta gaji saya setiap bulan 'kan? Ya kalau begitu konsekuensinya kamu harus mengurus kebutuhan lahir batin saya juga setiap bulannya? 'Kan semua uang saya, sudah saya alokasikan keseluruhannya buat kamu?" sahut Badai datar. Ochi melirik ke samping. Ia bingung dalam mengartikan. kata-kata Badai. Badai ini susah ditebak. Terlebih lagi air mukanya tidak membiaskan apapun yang ada dalam hatinya.Karena Ochi tidak menjawab, Badai mulai menekan persnelling dari posisi P ke posisi D. Mobil pun mulai kembali melaju membelah kepadatan lalu lintas di sore hari yang mendung itu.Penasaran, Badai melirik Ochi yang terdiam sambil memainkan tali tote bagnya. Gadis ini terlihat biasa- biasa saja setelah ditembak eh lebih tepatnya dibom oleh pernyataan seriusnya tadi. Tidak ada sedikitpun ta
"Jadi pada tanggal 20 Desember Anda sedang berada di mana Pak Singgih?" Elang Pamudya menumpangkan kedua tangannya ke paha. Sedangkan tubuhnya sedikit dicondongkan kearah Singgih dengan tatapan menyelidiknya. Elang memang terkenal dengan tatapan setajam elangnya. Kadang para pesakitan nyaris tidak kuasa untuk menatap matanya, apabila sedang berbohong."Saya ada di Fifth Avenue, Pak. Untuk membeli hadiah ulang tahun istri saya." Singgih masih berupaya mempertahankan alibi lamanya.Lo jual gue beli deh! Batin Elang."Benar begitu, Ibu Gendis?" Elang mengalihkan pandangan pada Gendis."Begitulah menurut pengakuan suami saya tercinta saat ini," sahut Bu Gendis kalem.Ibu Gendis menjawab singkat tetapi penuh dengan makna. Emak-emak kalau sudah dalam keadaan emosi, telur digenggaman pun bisa matang, terkena panasnya amarah."
"Dai, gue ada di Timor Kupang Pati 8-1-10. Satu Bandung Umar Solo berisi tiga puluh empat anak yang akan rekreasi, berangkat dari sekolah. Satu orang masih dalam keadaan 8-1-1. Semua organ dalam lenyap. Sayatan halus dan rapi khas JK. Gue butuh lo untuk memastikan jenis pisau dan sayatannya. Kita berhadapan dengan orang gila kedua setelah JK ini sepertinya, Dai. Orang ini pasti anak buahnya JK. Gila, sudah mati pun ternyata dia masih menyusahkan kita juga.""Gue penasaran dengan kasus ini. Bukannya gue bermaksud merebut lahan lo. Tapi gue merasa ini adalah sisa-sisa tugas gue yang masih ada buntutnya. Ini pertarungan gue, Lang. Kali ini gue yang akan turun. Gue yang akan mohon sendiri ke Timor Bandung Satu. Walaupun gue seharusnya nggak mengurusi hal-hal seperti ini lagi, tapi khusus kasus human trafficking dan penjualan organ tubuh ini, gue yang akan maju. Gue seperti punya hutang pribadi yang harus dituntaskan
DHUAAARRR!!!!Ochi yang berjalan kearah mobil untuk mengambil kunci yang ketinggalan di dalam tas, sekonyong-konyong melompat kaget. Ia mendengar suara ledakan yang begitu memekakkan telinga. Tanah yang dipijaknya bergetar dan menimbulkan teriakan massal dari orang-orang yang berada di sekitar lokasi ledakan. Mereka terlihat panik dan ketakutan. Orang-orang berlarian berusaha saling menyelamatkan diri.Dengan mata kepalanya sendiri, Ochi melihat Badai melompat dan langsung tiarap, saat pintu kayu jati rumahnya tercabik-cabik menjadi serpihan-serpihan kecil. Bahkan dinding rumahnya tampak sedikit berlubang akibat kuatnya ledakan.Ochi memperhatikan tubuhnya sendiri. Beberapa serpihan kayu dan debu menggores pipi dan beberapa bagian kulit luar tubuhnya. Lengannya luka-luka, seperti terkena serpihan logam. Kepalanya juga terkena serpihan beton tembok yang membuatnya pusing seketika.Ketik