“Kamu pergi saja ke sekolah biar nanti Izhan aku yang urus ya.” Nino memilih jalan aman daripada melihat istrinya marah-marah di pagi hari yang cerah ini.“Awas kalau aku pulang Izhan masih belepotan gini.”“Iya, sayangku. Mana Izel, ayo sarapan dulu.” Nino semakin pintar, ia tahu triknya agar bisa mengalihkan pembicaraan dan istrinya tidak jadi marah.“Bunda, makannya di mobil saja, nanti Izel terlambat. Zea sudah di sekolah pasti, Izel tidak mau keduluan,” rengeknya.“Iya, ayo.”“Salim dulu dong.” Nino mengulurkan tangannya pada Izel, “belajar yang baik di sana ya, jangan nakal.”“Aku bawa mobil sendiri ya, Mas.”“Buat apa ada sopir.”“Mas, sekolah Izel tidak jauh.”“Ya sudah, tapi hati-hati.”Sebelum ada Nino, Serra juga sudah sangat mandiri jadi ia merasa agak aneh jika sering dilarang untuk ini dan itu padahal bisa melakukannya sendiri.“Sini, ayo bersihkan dulu itu tangannya. Ah ... kalau begini caranya Izhan harus mandi lagi.” Nino mengambil toples itu, Izhan yang tidak terima
“Berani ya mengancam orang tua, awas saja Tante akan beritahu kelakuanmu ini pada orang tuamu!” Bu Sanjaya tidak mempan mendapat gertakan dari Amanda, ia melangkah menjauh meninggalkan Amanda dan Roland.Amanda langsung lemas, kesempatannya untuk mendapatkan Edwin kini sudah hilang apalagi Bu Sanjaya sendiri yang melihat Amanda ada di hotel dan akan masuk ke dalam kamar. Tanpa diberitahu pun sudah pasti bisa menebak karena pergaulan anak-anak zaman sekarang itu begitu mengkhawatirkan. Seperti apa yang pernah dialami oleh Edwin dan juga Melody, sekarang mereka sudah menyesali perbuatan mereka dan memulai hidup baru setelah sama-sama memperbaiki dan mendewasakan diri.“Kenapa susah sekali mencari wanita yang baik untuk Edwin, aku ingin wanita baik-baik yang melanjutkan keturunan,” gumam Bu Sanjaya sambil bersungut-sungut, ia benar-benar kecewa karena Amanda.Berekspektasi terlalu tinggi membuat wanita paruh baya ini merasakan kecewa yang mendalam, calon menantu idamannya ternyata sama s
Melody menatap curiga sang suami, “Jangan sembunyikan apapun dariku, Ed!” Ia berucap seolah tahu jika ada sesuatu yang sengaja ditutupi oleh Edwin.“Tidak ada.”“Kau tidak percaya padaku. Ya sudah, tidak apa-apa.” Melody berdiri namun tangannya ditahan oleh Edwin.“Oke, aku bicara.” Edwin mengalah, daripada nanti Melody melihat sendiri yang ada malah terjadi pertengkaran diantara mereka.“Kau sudah berjanji tidak akan menutupi apapun dariku.” Melody kembali duduk, memutar tubuhnya menghadap Edwin.Lelaki itu menghela napas panjang lalu memperlihatkan apa yang membuat jantungnya hampir copot.Mata Melody melebar, tangannya bahkan langsung gemetar, “Ed ....”Tangan Melody langsung digenggam Edwin, “Aku janji akan membereskan semua ini. Papa akan membantuku.”“Keluarga kita, Ed ....” Buliran bening itu berjatuhan membasahi pipi Melody.Saat ini Melody memikirkan bagaimana nama baik keluarganya dan keluarga Edwin yang akan hancur meski tidak akan semua orang menyadari pemeran dalam video
“Ini nomor Mamamu yang terdaftar, tapi bisa juga bukan Mamamu yang melakukannya. Tunggu saja sampai ada informasi lanjutan soal penyebar video itu. Jangan dulu hubungi Mamamu.” Nino menepuk pundak Edwin sebelum meninggalkan lelaki itu.Tangan Edwin mengepal, “Aku tidak tahu lagi harus seperti apa kalau memang itu Mama.”Dalam hati kecilnya Edwin berharap bukan sang ibu yang melakukannya. Meski hubungan mereka renggang tapi Edwin sama sekali tidak mengharapkan hal buruk pada Bu Sanjaya.Edwin menghampiri Melody di kamar sebelah. Serra yang menemani langsung keluar membiarkan Edwin yang menemani Melody. Karena tidak ingin Zea banyak bertanya jadi sementara Melody di kamar sebelah dulu.Sedangkan Serra menghampiri suaminya yang ada di ruang tengah, Nino tampak sibuk menatap layar ponselnya.“Mas.”Lelaki itu langsung mendongak saat dipanggil, “Kenapa, sayang.”“Sudah dapat?” tanyanya lalu menghempaskan bokongnya untuk duduk di samping Nino.Nino menggeleng, “Belum tapi nomor yang kirim p
Apa yang sudah terjadi waktu itu berdampak buruk pada usaha Pak Sanjaya, meski memang wajah Edwin dan Melody tidak sampai tersorot tapi tetap saja nama baik tidak bisa dipulihkan. Edwin bahkan mulai mencari pekerjaan di tempat lain, meski bisa saja ia meminta pekerjaan pada Nino tapi Edwin ingin belajar mandiri agar tidak selalu bergantung pada siapapun.Edwin harus bisa bertanggung jawab.“Kita langsung pulang?” tanya Melody.“Iya. Kau mau beli sesuatu?”Melody menggeleng, “Aku ingin cepat sampai rumah dan rebahan.”Zea yang lelah bermain dengan Izel kini terlelap dalam dekapan sang ibu. Sampai di rumah, Zea langsung ditidurkan di kamarnya. Zea harus dibiasakan tidur di kamarnya sendiri. Anak ini sangat manja, mungkin jika sudah memiliki adik tidak akan semanja ini.“Lelah sekali?” Edwin melirik Melody yang tengah mengambil pakaian tidurnya.“Hm. Padahal hanya di rumah, tapi mengurus anak-anak membuatku lelah. Mereka nakal sekali.”Melody tidak hanya menjaga Zea saja tapi juga kedua
“Den Edwin, Tuan meninggal.”Hati Edwin mencelos mendengar kabar duka yang disampaikan oleh art di rumah orang tuanya. Lutut lelaki itu lemas seketika. Tanpa bisa dikomando cairan bening berjatuhan membasahi pipi. Ia manusia biasa yang bisa merasakan kesedihan apalagi ditinggal orang yang begitu disayanginya. Bukan ditinggalkan sementara tapi selamanya, mereka sudah beda alam dan tidak akan bisa bertemu lagi.Edwin dan Pak Sanjaya memang baru dekat akhir-akhir ini, saat hubungan mereka sudah membaik. Lelaki paruh baya itu malah pergi tanpa pamit dan menyisakan luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.Beranjak menuju kamar untuk memanggil Melody. Ia tidak kuasa untuk mengatakan kabar duka ini. Padahal rencananya mereka akan pergi ke rumah Pak Sanjaya, namun takdir berkata lain. Sebelum mereka sampai ke sana, Pak Sanjaya pergi lebih dulu.Melody mengambil alih ponsel Edwin karena lelaki itu tidak kunjung berkata. Hanya air mata yang bicara.“Halo, Bi. Ada apa?” tanya Melody, kebetul
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real