"Aaaah, Chef Tyas!" Koki wanita yang baru tiba tersebut melesat dan langsung menubruk Arisha, mendekapnya dengan sangat erat. "Akhirnya saya menemukan Anda, Chef. Saya senang sekali!" Arisha megap-megap. Pasokan oksigen di dadanya semakin menipis karena tergencet dekapan wanita itu. "L–lepas! A–aku tidak bisa bernapas." Arisha menepuk-nepuk lengan koki yang memagutnya. "Aduh! Maaf, maaf! Saya terlalu bersemangat." Koki wanita itu melepaskan pelukannya dan menapak mundur. "Apa sekarang Anda baik-baik saja?" Wanita itu merasa bersalah. Arisha menghela napas dalam-dalam. Memasok ulang persediaan oksigen ke dalam paru-parunya. Setelah merasa lebih baik, Arisha bertanya, "Apa kita … pernah bertemu sebelumnya?" Arisha tak menemukan arsip wajah wanita itu dalam memori otaknya. Entah mereka memang belum pernah bertemu atau ingatannya yang terlalu buruk. Air muka wanita itu berubah keruh. "Ah, saya bukan siapa-siapa. Tentu saja Anda tidak akan pernah mengingat orang seperti saya." Ari
'Tidak! Tidak mungkin Rasyad tega melakukan hal itu padaku!' Arisha syok. Jika benar apa yang dikatakan Dareen dan James, berarti Rasyad telah menjualnya kepada Dareen. Kenyataan ini lebih menyakiti perasaan Arisha daripada sakitnya luka yang disebabkan oleh pengkhianatan Alfian. Menyusuri koridor sunyi dengan rantang yang tak lagi tersusun rapi, air mata Arisha menitik. Rasa sakitnya sungguh tak terkira kala mengetahui dirinya dijadikan objek jual beli. Memasuki lift, Arisha tampak seperti raga kosong. Ia merenungi semua tingkah lakunya selama ini. 'Ya Allah, apakah dosaku melebihi jumlah buih di lautan hingga Kau uji aku bertubi-tubi?' Baru saja ia merasa damai dalam bekerja karena mendapat rekan kerja baru yang bersikap baik, sekarang ia harus kembali dihantam kecewa dari pahitnya sebuah kenyataan. Sosok yang selama ini ia agung-agungkan sebagai malaikat pelindung ternyata tak ubahnya seperti mucikari. Perbuatan Rasyad mengingatkan Arisha pada Hanna. Arisha tersenyum sinis
"Astagfirullah!" Arisha terlonjak tegak, menoleh pada sekumpulan orang yang berlari ke satu titik.Ia ingin ikut mendekat, tapi suasananya terlalu ramai. Jadi, ia memilih untuk menonton dari jauh."Ada-ada saja. Kukira ada apa. Ternyata tuh anak cuma digigit kepiting," ujar seorang pemuda kepada rekannya."Iya. Kirain tenggelam. Bikin panik aja tuh anak. Emaknya ke mana lagi? Masa anak sekecil itu dibiarin main di tepi pantai sendirian."Arisha ikut merasa lega setelah mendengar obrolan dua pemuda yang melintas di dekatnya. Ia kembali duduk. Kali ini tak lagi di atas hamparan pasir yang terasa lembap karena pasang mulai naik, melainkan di atas bangku kayu sambil menikmati hamparan biru dengan ditemani es kelapa muda.Di kejauhan, Dareen mengulum senyum melihat Arisha mencicipi minuman yang disuguhkannya lewat tangan orang lain."Sekalian makanannya, Mbak." Gadis yang tadi mengantar minuman kepada Arisha datang lagi dengan membawa sepiring nasi dengan seafood."Ini … benaran gratis, Mb
"Kalau aku tidak bisa memilikimu dengan kerelaan hatimu, maka aku akan membuatmu menetap di sisiku dengan cara paksa. Aku sungguh tergila-gila padamu, Arisha. Sejak dulu."Alfian melempar kemejanya ke sembarang tempat. Begitu pula dengan celana panjangnya. Yang melekat di tubuh Alfian kini hanya menyisakan celana boxer.Ia duduk di tepi ranjang. Memandangi wajah Arisha lekat-lekat. Perlahan tangannya terulur, membelai kulit wajah Arisha nan mulus dan lembut."Kau tahu, Arisha? Aku sangat tersiksa menahan gejolak rinduku padamu. Kau jahat, Arisha! Teganya kau meninggalkan aku cuma karena kemunculan Nadine yang licik itu."Ekspresi Alfian berubah-ubah dalam sekejap. Sesaat ia terlihat murung. Detik berikutnya ia tampak dikuasai amarah, kemudian tersenyum. Persis seperti seseorang yang mengidap gangguan jiwa."Tapi, sekarang aku lega. Sebentar lagi … kita akan menikah. Kita akan bahagia, Sayang." Alfian menunduk. Bibir ranum Arisha sangat menggoda. Ia sudah tak sabar untuk segera mencici
"Bagaimana kondisi Arisha, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Dareen begitu Dokter Aldo selesai membaca hasil pemeriksaan darah Arisha. "Nona Arisha cuma syok. Beruntung pelaku menggunakan obat bius dosis rendah." "Tapi, kenapa dia masih belum sadar?" Dareen tak mampu menyembunyikan kecemasannya melihat mata Arisha masih tertutup rapat. "Selain karena syok dan sisa-sisa pengaruh obat bius, sepertinya dia juga mengalami kelelahan mental. Apakah dia sedang memiliki banyak masalah akhir-akhir ini?" Dokter Aldo juga memandang prihatin pada Arisha. "Mungkin Anda perlu melakukan pengamanan ekstra untuk melindunginya." "Aku sudah mengirim lelaki bajingan itu ke penjara," sahut Dareen geram. "Tapi, terima kasih atas saran Anda, Dok. Akan aku pertimbangkan." "Baiklah. Setelah ini, Nona Arisha boleh dipindah ke ruang perawatan." "Terima kasih, Dok!" Dareen merasa lega mengetahui tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Arisha. Jiwa gadis itu mungkin benar-benar terguncang karena
"Jangan salah paham! Aku tidak bermaksud untuk mempermainkanmu, tapi … hanya itu satu-satunya cara yang terlintas di kepalaku untuk dapat melindungimu dari mantan calon suamimu dan lelaki yang sejenisnya."Tatapan garang Arisha melunak. Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga solusi yang ditawarkan Dareen."Apa kamu menawarkan ini juga untuk menyelamatkan diri dari wanita itu?"Sesaat Dareen terkejut, tapi akhirnya dia paham siapa yang dimaksud Arisha dengan wanita itu.Awalnya dia tidak berpikir ke arah sana. Pertanyaan Arisha membuka matanya. Benar juga. Dengan menjalani pernikahan kontrak bersama Arisha, dia bukan hanya melindungi Arisha, tapi juga menolong diri sendiri dari rongrongan Davina."Saling menguntungkan, bukan? Ini win-win solution. Bagaimana? Kamu bersedia?"Setelah berpikir sejenak, Arisha akhirnya setuju. "Baiklah, tapi ingat … kamu harus menepati setiap poin dalam kontrak ini. Terutama yang menyatakan bahwa tidak ada kontak fisik tanpa persetujuan kedua belah pihak.""
"Yeay! Benaran Daddy sama Mommy mau jadi pengantin?" Sorot mata Silla berbinar cerah, menatap Dareen dan Arisha bergantian. Gadis itu masuk ke kamar Arisha diam-diam dan dikagetkan dengan perkataan Dareen. Dareen dan Arisha saling lempar pandang. Arisha jadi salah tingkah. Pipinya merona merah. Bak seorang gadis remaja yang tertangkap basah sedang berpacaran oleh orang tuanya, Arisha tak berani membalas tatapan lekat Silla. "Daddy …." Silla mengguncang lengan Dareen. Dareen terperanjat. "Eh, ya. Kenapa, Sayang?" "Ih, Daddy! Silla nanya, benaran Mommy Arisha bakal jadi mommy Silla?" Dareen turun dari kursi dan berjongkok di hadapan Silla. "Silla kenapa bisa berada di sini? Ini masih malam lho. Yuk, tidur lagi!" "Nggak mau." Silla menggeleng. "Daddy belum jawab pertanyaan Silla." Silla memasang wajah cemberut. Dareen menghela napas panjang. Silla memang keras kepala dan tak mudah menyerah jika keinginannya belum tercapai. "Kalau daddy jawab, Silla janji akan tidur lagi?" Sil
"Siapa pun pilihanmu, selama kau merasa nyaman dengannya, aku tak akan melarang," lirih Tuan Hart dengan suara serak. "Kapan kalian akan melaksanakan pernikahan?""Masih mencari waktu yang tepat, tapi kupastikan tidak akan melewati bulan depan.""Dalam waktu sebulan ya? Itu tidak lama lagi." Tuan Hart seakan berbicara pada diri sendiri, berusaha untuk bangkit.Cepat-cepat Dareen membantu ayahnya. "Ayah mau ke toilet?"Tuan Hart tak menyahut. Ia hanya beranjak turun dari ranjang. Dareen pun terpaksa memapahnya tanpa bertanya lagi dan mengiringi saja ke mana langkah ayahnya terayun pergi.Tuan Hart membuka brankas, mengeluarkan kotak berwarna hitam. Pada bagian tengah kotak itu terdapat ukiran logo huruf H yang dicetak dengan tinta emas—simbol keluarga Hart yang merupakan keturunan bangsawan.Tuan Hart menatap sendu pada kotak yang berada dalam genggamannya. Berulang kali ia menghela napas panjang dan dalam, sebelum akhirnya menyerahkan kotak tersebut kepada Dareen."Ambillah dan berika