Share

2. Manusia Tanpa Lemak

Dengan tubuh lunglai aku berjalan pasrah ke apartemen Lindsay. Saat Lindsay bilang ia akan menyeretku... dia benar-benar, literally menyeretku ke tempat itu. And here I am, berjalan di belakang Lindsay masuk di lobi apartemen mewah menuju unit mewah miliknya. Aku sudah mengira pasti akan ada David di sana—berdasarkan ucapan Lindsay sebelumnya, David yang akan membiayai semua acara pertunangannya dengan Rick.

"Cheer-up, won't you? Kenapa kau terlihat seperti sangat terpaksa?! Ini untuk acara pertunangan sahabatmu! Setidaknya ceria sedikit!" protes Lindsay kepadaku saat berada di lift. Aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang sama terpaksanya dengan diriku saat ini. My worst... arch-enemy, aku akan bertemu dengan musuh bebuyutanku.

Kami tiba di unit apartemen milik Lindsay, ia melenggang dengan santai dan meletakkan semua tas dan sepatunya dengan seenak hati, ia tak pernah pusing dengan urusan beberes ataupun mencuci karena semua akan dikerjakan seorang pembantu yang ia sewa di apartemen ini. Sementara aku, tinggal di sebuah kontrakan kecil tak jauh dari kampus, sebuah petak berukuran tiga kali empat meter yang kusulap menjadi empat ruangan. 'I know, I am genius!' Aku menyulapnya menjadi kamar tidur, kamar mandi, dapur dan mini studio.

Aku melihat dengan waspada. Aku menahan napas, takut akan kehadiran pria itu. Aku berkeliling apartemen ini dengan langkah ringan, tanpa sengaja berjinjit dari satu ruangan ke ruangan lain. Ingin memastikan bahwa ia tak ada.

"Heh, Gendut!" ucap suara kasar seorang pria dari arah dapur. Ia... pria itu hanya mengenakan celana boxer-nya dan bertelanjang dada, menoleh ke arahku dengan pandangan mencemooh. Ia sedang memegang sebuah sendok dan di depannya sebuah mangkuk yang sepertinya berisi sereal.

Kaget, aku langsung berbalik dan berjalan keluar dari tempat itu. Aku mencari Lindsay yang ternyata berada di ruang keluarga, ia duduk dengan Rick, saling memeluk dan di depan mereka seorang wanita rapi memegang beberapa modul.

"Rose, bantu aku memilih venue!" ucap Lindsay kepadaku.

Aku duduk di dekatnya dan melihat semua gambar venue yang ada di modul yang dibawa seorang event organizer.

"Aku mau kesan romantis... rustic. Sepertinya itu sedang trend, right?" tanya Lindsay kepadaku yang kujawab dengan anggukan. 

"Kalau Mbak mau kesan rustic, biasanya yang dipakai adalah bunga kering, sedangkan Mbak mau bunganya real," ucap perempuan klimis itu. Ia memakai sebuah blazer elegan yang memeluk lekuk tubuh indahnya, ditambah ia mengenakan makeup yang sangat on-point.

"Tapi, aku mau bunganya asli!" keluh Lindsay.

Sepertinya Rick adalah tipe yang tak mau ruwet, ia hanya memeluk Lindsay dari belakang tanpa mengutarakan pendapatnya.

Aku mengerutkan dahi, berpikir sambil melihat beberapa contoh yang ditawarkan.

"Jangan mengkerut, sudah gendut, jelek, nanti keriputan loh!" ejek David yang tiba-tiba duduk di sampingku. Kok bisa? Kenapa aku tak tahu dia datang? Apa dia sudah punya ilmu berjalan tanpa menapak? Atau agh!

Aku tak menghiraukan ejekannya dan masih melihat semua gambar yang dibawa sang EO, yang sekarang fokus matanya tertuju pada dada bidang plus telanjang milik David. Ah, tentu ia seorang atlet dan tubuhnya harus berotot, wajar, kan? 

"Linds, Coba kau lihat ini? Ada kesan rustic-nya dengan tableware dan hiasan di pintu masuk. Sisanya berkesan romantis dan elegan dengan bunga hidup. Kau kan mau keduanya?" Aku melihat sebuah gambar yang menurutku paling cocok dengan kemauan Lindsay. Aku menunjukkannya kepada Lindsay.

"Ah, ya.  Aku suka! Itulah gunanya kau datang, Rose!" ucapnya ketus kepadaku.

Ah, dia pasti masih mendendam soal urusan pesta ulang tahun itu. Aku tersenyum kecil dan menggaruk rambut pendekku dengan canggung.

"Yang ini venue-nya saja rent untuk dua sampai tiga jam mulai dari lima ratus juta," ucap sang EO sementara matanya memandang wajah David yang duduk bersandar dengan wajah malas.

"I pay for it. Selama adikku setuju, aku juga setuju. Uang bukan masalah, akan kubayar semua." Ucapannya membuat perempuan cantik berprofesi sebagai EO itu merona dan memandangnya penuh kekaguman, sementara aku berdeham kecil dan bergumam.

"Sok pamer!"

"Apa kau bilang?" tanyanya menatap wajahku yang ia tarik dengan tangannya agar mengarah kepadanya.

Aku tersenyum malas. "Nothing."

"Dasar gendut! Sepertinya kau bertambah sepuluh kilo lagi ya semenjak kita terakhir bertemu? Kau semakin mirip dengan hippo!" ejeknya dan aku hanya melengos malas. Ia selalu seperti itu kepadaku, dan aku terbiasa dengan semua hinaannya. That is why, aku paling malas dan anti bertemu dengan makhluk yang satu ini.

Nona cantik ber-blazer elegan di depanku menutup mulutnya menahan tawa. Lalu ia berdeham kecil.

"So, deal yang ini?" tanyanya. Lindsay mengangguk. "Baik, nanti kalau ada keperluan lagi, saya akan menghubungi Mbak Lindsay ya?" Lindsay sekali lagi mengangguk.

"Mmh, Tuan David, boleh minta foto bareng?" tanya perempuan itu yang sudah memegang ponsel keluaran terbarunya.

David berdiri, dan dengan ketus menjawab, "Tidak!" Ia berjalan ke arah kamar yang sering ia tempati kalau menginap.

Dasar pria berengsek! batinku kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status