Alan yang baru menyesap kopi yang baru dibuatnya dengan mesin kopi, langsung menyemburkannya dan terbatuk-batuk hebat. Ini terjadi ketika dia melihat istrinya keluar dari area kamar tidur. Matanya membulat melihat gaya berpakaian Gita yang modis, tapi seksi. Yeah. Walau Gita tomboy dan hampir tidak pernah pakai rok, dia tahu caranya berpenampilan stylish dan seksi. Seperti sekarang ini. Gita menggunakan lace bralette hitam dengan, dipadukan dengan hot pants jeans dan cardigan dan sepatu kets putih. Jelas sekali terlihat, bralette itu kurang mampu menampung apa yang ada di dalamnya. Terutama karena model v neck benda itu.Alan sampai perlu menelan liur dengan susah payah melihat pemandangan indah di depannya. Tidak percuma Gita menghabiskan tiga puluh menit di kamar mandi, kadang malah lebih. "Ayo kita pergi." Suara ketus Gita menyadarkan Alan dari lamunannya. Lelaki itu berusaha mencerna kata-kata istrinya dan langsung menatap sang istri dengan horor. "Bu Gita bakal pakai itu?""Y
Donna menatap Gita dan Alan bergantian. Sejak dari Trevi Fountain dua orang itu terlihat sedikit berjarak, membuat sang pemandu jadi sedikit bingung. "Tadi mesra banget, sekarang marahan? Ini gimana ya?" Cewek blasteran Italia Indo itu berdecak pelan. Yah, lebih tepatnya Alan yang sedikit menjaga jarak dengan Gita. Acara pelukan yang tidak disengaja itu sedikit banyak membuatnya canggung. Jadinya selama dari air mancur tadi Alan sedikit menjaga jarak. Namun sekarang ini Alan tidak bisa menjaga jarak terlalu jauh. Berbeda dengan Trevi yang hari ini tidak terlalu ramai, Fiori tetap sangat ramai. Tempat itu sudah serupa pasar dengan berbagai macam jualan. Tempat itu sudah lama ada dan masih saja bisa bertahan. Alan berdehem pelan ketika tangannya tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Gita. Dia lalu menghela nafas setelahnya, ketika melihat reaksi Gita yang biasa saja. Itu Alan mengumpat dalam hati. Kenapa juga dia harus canggung hanya karena berpelukan?"Itu hanya pelukan saja Ala
Alan segera beranjak dari sofa ketika mendengar erangan pelan dari area kamar tidur. Dia cukup tertegun melihat ekspresi ketakutan Gita bahkan dalam tidurnya. Ini pertama kalinya Alan melihat atasannya seperti ini. Biasanya perempuan itu terlihat sangat kuat. Perempuan di depannya itu terlihat sangat merana dalam tidurnya. Buliran keringat sebesar biji jagung mengiasi dahi dan pelipisnya. Alan mengulurkan tangan, untuk mengurai kernyitan di kening sang istri."Gita?"Alan memanggil nama istrinya ketika perempuan itu mulai menggeliat tidak jelas. Tidak ada suara yang keluar, tapi setitik air mata dengan wajah yang memerah dan napas tak beraturan, membuat Alan mengguncang bahu Gita dengan pelan. "Gita? Bangun. Hei."Tiba-tiba saja Gita membuka matanya dan hal pertama yang ditangkap Alan dari sorot mata itu adalah ketakutan. Hanya sekian detik sebelum kembali normal, tapi dia bisa melihatnya. "Ngapain di sini?" Gita sudah kembali dengan nada ketusnya. "Kamu tadi mimpi buruk. Saya cu
Alan dan Gita berjalan berdampingan memasuki gedung kantor pusat Bramantara grup. Kedatangan direktur IT dan asisten pribadinya tidak luput dari bisik-bisik para karyawan. Lebih tepatnya, Gita yang menjadi gosip.Semua orang di kantor, bahkan mungkin seluruh cabang dan anak perusahaan Bramantara grup sudah tahu perihal Gita. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa gosip yang beredar. Ada yang bilang Gita gagal nikah karena mempelai pria kabur dengan perempuan lain. Ada yang bilang Gita memutus sepihak hubungannya dengan Tony dan menikah dengan selingkuhannya. Ada juga yang bilang Tony kabur karena tidak tahan lagi dengan pacarnya dan Gita memilih menikah dengan entah siapa. Yeah. Semua terdengar menjelekkan Gita. Bahkan baru dihari pertama kerja setelah cuti hampir seminggu, gosip itu sangat kencang berhembus. Untungnya Gita sudah terlihat baik-baik saja. Kemarin sepulang dari Roma, Gita dan Alan memang bisa mengelak dengan dalih capek. Wajar, karena kedua orang ini baru tiba di rumah
"Apa Ibu Gita yakin mau makan siang di sini?"Alan menatap nanar ke gedung yang akan mobilnya masuki. Lebih tepatnya mobil atasannya yang dikemudikan Alan. Selama jam kerja, biasanya dia yang membawa mobil Gita. Lalu seperti yang sudah diduga, Gita menagih traktiran makan siang. Seperti yang Alan juga khawatirkan, perempuan itu meminta ditraktir di restoran bintang lima. Pastinya itu cukup membuat dompet Alan menagis. Gaji Alan memang lumayan, tapi tanggungannya juga banyak. Ditambah lagi sekarang dia sudah beristri, pastinya sebagian gajinya akan pergi ke rekening Gita. Ya, Alan sangat tahu perbedaan pendapatannya dengan Gita. Gaji sang istri sebagai direktur saja lima atau enam kali lipat gajinya, belum royalti dari program yang dibuat gadis itu. Itu pun belum termasuk pemasukan dari saham. Kalau diukur dengan ketinggian, mungkin bedanya sudah setinggi gunung himalaya. Walau jelas Gita jauh lebih berada dan kaya dari dirinya, Alan tetap akan memberi nafkah pada istrinya. Sekalip
"Apa itu artinya kau akan menafkahi lahir dan batin?"Sontak saja Alan langsung tersedak jus jeruk yang dipesannya. Gita sama sekali tidak berusaha melakukan sesuatu sementara sang suami terbatuk heboh akibat ulahnya. Dia hanya menatap lelaki itu, menanti sebuah jawaban."Bukannya kita sudah sepakat soal itu?" Alan menjawab dengan pertanyaan yang lain. "Yang mana?"Alan menggeram rendah mendengar sebuah pertanyaan lain yang dilontarkan Gita. “Soal perjanjian yang kita tanda tangani di atas materai,” lanjutnya lebih kalem."Memangnya apa yang tertulis di sana?" Gita kini benar-benar hobi mengerjai suaminya, membuat lelaki itu menghela napas panjang. "Ada pasal soal skinship di sana. Kita hanya akan mesra di depan umum." Alan ingin menambahkan 'bukan di atas ranjang', tapi dia terlalu malu untuk melakukannya. "Memangnya aku bertanya soal skinship?" Gita bertanya dengan ekspresi bingung. "Apa?" Alan juga jadi ikut bingung. "Bukannya arah pertanyaanmu.... Ah, sudahlah." Alan memilih
Protes yang diajukan Gill sontak membuat seisi meja tertawa. Bahkan pelayan yang berdiri agak jauh pun ikut menahan tawa, sementara Alan yang canggung bertukar piring dengan Gita yang terlihat biasa saja. "Makanya cari pacar," Gita mengejek adiknya itu. Setelah adegan PDA yang tidak disengaja itu, suasana makan jadi lebih menyenangkan. Kegalauan hati Fika kini sudah sirna. Bisa dilihat keluarga kaya ini sangat baik. Terutama ketika mendengar Julie juga dari keluarga biasa saja, bahkan yatim piatu. Kegalauan satu pergi, kegalauan lain datang. Bagaimana kalau Gita meremehkan pendapatan Alan yang tidak lebih banyak darinya. Tapi hal itu juga segera diusir pergi oleh pasangan pengantin baru itu.Dua orang itu terlihat sangat mesra. Gita dan Alan saling melayani di meja makan. Duduk berdampingan dengan rapat di ruang keluarga. Setelah dilihat lagi, mereka berdua juga terlihat sangat serasi. Sudah hampir jam sepuluh
Alan mengetuk-ngetuk pinggiran laptopnya dengan jari. Matanya masih menatap ponsel yang barusan dia gunakan untuk menelepon. Pandangannya bergantian menatap pintu ruangan Gita dan ponsel. "Pak Alan." Suara genit Jelita terdengar menyebalkan di telinga Alan. Belakangan ini banyak karyawan wanita dengan suara seperti itu, membuatnya kesal setengah mati. "Ada apa?" tanya lelaki yang dipanggil sedatar mungkin. "Ada yang harus ditanda tangani Bu Gita, tapi saya takut masuk." Jelita tersenyum ramah pada lelaki di sebelahnya."Berikan saja padaku. Kebetulan saya mau menyampaikan hal penting."Jelita memberikan map dengan senang hati pada Alan. Saat lelaki itu mengambilnya, Jelita sengaja memajukan jemarinya agar bisa bersentuhan sedikit dengan tangan Alan. Alan tidak terlalu merasakan sentuhan itu, karena memang sangat halus. Dirinya segera beranjak dan mengetuk pintu ruangan Gita. Melihat tak ada reaksi dari lelaki itu, sang sekretaris berdecih kesal. "Bu Gita ada yang mau ditandatang