Selly tengah menyusui Gilbert ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Sudah dapat ia pastikan bahwa itu adalah Bi Ijah, siapa lagi memangnya? Anggara sudah berangkat kerja, dan Felicia sedng bersekolah. Mereka hanya tinggal bertiga di rumah, jadi sudah pasti yang mengetuk pintu itu adalah Bi Ijah.
"Nyah, ada tamu yang cariin tuh."
Selly mengerutkan keningnya. Tamu? Mencarinya? Ia kemudian perlahan-lahan melepaskan Gilbert yang sudah lelap tertidur itu, membetulkan bajunya dan melangkah turun dari ranjang guna menghampiri pintu. Ia menekan knop pintu dan menemukan asisten rumah tangganya itu sudah berdiri di depan pintunya.
"Siapa, Bi?" tanya Selly yang masih mencoba menebak siapa yang datang mengunjungi dirinya itu.
"Teman Nyonya katanya, namanya Dante sama Yosi."
Mendengar itu, senyum Selly merekah sempurna, ternyata kutu kumpret itu yang datang. Ah ... dia pikir siapa!
"Suruh naik saja, sama minta tolong buatkan minum ya, Bi." guman Selly
"Ya ... dulu gue kepaksa nikah sama dia!" Dante dan Yosi diam menyimak, mereka mengeluarkan isian plastik yang mereka bawa tadi. Ada sate kenyil, bakso bakar, salad buah, kebab dan beberapa jajanan yang dulu selalu mereka beli ketika kumpul bersama, ya ... sebelum kemudian Selly mendadak menikah dengan dokter bedah itu. "Gue bahkan bikin perjanjian sama dia kalau dia harus cerein gue ketika nanti Gilbert berumur dua tahun dan sudah lepas ASI." "APA?!" Dante dan Yosi kompak berteriak sambil melotot, perjanjian macam apa itu? Selly minta diceraikan? Kenapa malah pilih jadi janda sih? Suaminya itu kurang apa? Ganteng iya, kaya iya juga, jangan lupa dia sudah dokter spesialis! Selly hanya tersenyum sambil mengangguk pelan, kemudian meraih satu dari tiga plastik berisi sate kenyil itu. Memakan jajanan kesukaannya semenjak ia pre-klinik dulu. "Lu gila, Sel? Terus nasib anak elu gimana?" tanya Dante tidak mengerti. "Kan dulu, sekarang sudah b
"Masih sering terasa sakit?" Tanya Anggara yang tiba-tiba muncul dari pintu kamar mandi.Selly yang tengah memperhatikan bekas luka operasinya itu sontak terkejut dan menutup perutnya kembali. Anggara tersenyum, melangkah mendekati sang isteri kemudian memeluk Selly dari belakang, mengecup lembut puncak kepalanya dan tersenyum menatap bayangan mereka di cermin. Terlihat Selly tersenyum sambil memejamkan mata, seolah menikmati pelukan Anggara yang begitu hangat menjalar memenuhi kalbunya itu."Sudah siap balik koas besok pagi?" Bisik Anggara yang belum mau melepaskan diri."Sudah, berangkat sama-sama ya, atau aku perlu bawa mobil sendiri?" Selly menengadahkan kepalanya, menatap Anggara yang nampak begitu tenang memeluknya itu."Sama-sama lah, masa iya aku tega nyuruh isteriku berangkat sendiri? Nggak mungkin dong!" Anggara melepaskan pelukan mereka, menatap manik mata sang isteri yang begitu menggemaskan di matanya itu.Selly hanya terse
Anggara mematikan mesin mobilnya, melepas seat belt dan menatap sang isteri lekat-lekat. Hari ini Selly kembali aktif koas lagi. Ia sudah rapi dengan setelan scrub warna hijau dan snelli lengan pendeknya. Rambutnya diikat rapi, kini ia tidak hanya membawa tas berisi laptop dan beberapa buku wajibnya saja, melainkan juga ada cooler bag, pompa ASI dan perlengkapan lain yang begitu banyak pritilannya itu.“Kalau nanti ada suara-suara nggak enak, jangan dihiraukan ya, Sayang.”Selly tersenyum, ia mengangguk pelan. Tentu kembali koas itu artinya harus siap tebal kuping mendengar segala macam kejulidan para perawat dan sesama koas. Belum lagi ia koas di stase kebidanan, bukan? Dimana para bidan senior dan perawatnya kadang suka julid dan semena-mena pada koas perempuan good looking. Dan jangan lupa, Selly selain masuk kategori koas good looking, suaminya juga ganteng maksimal, pasti nanti akan banyak kejulidan yang akan Selly terima.“Kalau sek
Anggara mengeram begitu sosok itu keluar dari ruang praktek-nya. Kenapa harus dia dinas di sini? Kenapa dari sekian banyak pulau, jutaan rumah sakit yang tersebar di negara ini, harus rumah sakit ini tempat dia dinas?Samar-samar ingatan Anggara kembali pada masa-masa di mana dia masih menjalani pre-klinik di salah satu universitas negeri di Jakarta sana. Karena semua masalah yang terjadi antara dia dan perempuan yang tadi datang menemuinya, dimulai saat ia dan Nadya Anggranesia masih berjuang bergitu keras untuk bisa memperoleh gelar sarjana kedokteran mereka.Saat itu ..."Hai, kita sekelompok, jadi boleh gabung, kan?"Anggara mendongak, tampak manik hazel itu begitu lembut dan ramah menatapnya, membuat Anggara tersenyum dan mengangguk pelan. Ia bergegas menyingkirkan tas yang ia taruh di atas meja. Sudah ada tiga orang yang duduk berkumpul di depan Anggara, salah satunya gadis cantik berkulit kuning dengan mata hazel itu.Tak lama mereka sudah b
‘Cinta terkadang sangat sulit diungkapkan, dan ketika kita sudah mempunyai keberanian untuk mengatakannya, kadang kala waktu dan takdir tidak pernah memihak pada kita.’***Nadya bergegas turun dari mobilnya ketika ia sudah beres parkir di halaman parkir gedung rumah sakit tempat dia menjalani kepaniteraan klinik itu. Senyumnya mengembang sempurna, kemarin ia libur seharian. Dan seharian pula ia tidak bisa berjumpa dan bersama sosok yang selama ini selalu menghuni hatinya.Ia melangkah dengan begitu santai dan ringan menyusuri lorong rumah sakit, hingga kemudian ia menangkap sosok yang sejak tadi berada dalam pikirannya tengah melangkah bersama dengan seorang gadis yang memakai snelli lengan pendek yang sama dengan dirinya. Tampak mereka tertawa bersama-sama, membuat sebuah gelayar tidak suka menjalar di relung hati Nadya.Siapa dia?Nadya terus memperhatikan mereka, hingga kemudian gadis itu melangkah ke laboratrium forensik, sementara
Nadya melangkah hendak ke kantin, ia sontak menghentikan langkahnya ketika melihat sepasang sejoli itu duduk di salah satu meja yang ada di kantin. Nadya menatap nanar pemandangan itu dengan hati pedih, mereka tampak tengah menikmati makan siang sambil sesekali tertawa bersama-sama, tidak peduli dengan lalu lalang orang-orang yang ada di sekitar mereka, termasuk dengan sakit dan pedihnya hati Nadya, mereka sama sekali tidak peduli, seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua.Nadya menghela nafas panjang, agaknya lebih baik ia pergi ke mini market guna memberi sandwich atau onigiri siap makan yang biasanya tersedia di kasir minimarket, daripada dia makan hati, lebih baik makan yang lain, bukan?Nadya melangkah pergi dari sana, berusaha menyembunyikan semua duka dan sakit yang ia rasakan. Matanya memanas. Pada akhirnya tiba juga saat di mana ia harus rela kehilangan sosok itu dari sisinya. Kehilangan tanpa pernah punya kesempatan untuk menyatakan perasaannya, perasa
“Apapun itu, selama kamu bahagia, aku juga akan bahagia. Sebuah prinsip cinta sejati yang sejatinya hanya melukai dan menghancurkan diri sendiri.”***Anggara hendak turun dari mobil ketika kemudian Toyota Yaris berwarna merah itu berhenti tidak jauh dari mobilnya. Anggara tahu betul mobil siapa itu, dulu sekali dia bahkan beberapa kali memegang kemudi mobil itu, membawa mobil dan sang pemilik ke tujuan yang hendak di tuju. Ya ... sudah beberapa tahun berlalu, tetapi semua seperti masih sama. Begitu juga dengan wanita pemilik mobil itu, dia masih sama.Wajahnya masih berkalang duka, Anggara ingat betul terakhir kali melihat sosok itu tersenyum begitu lepas dan tertawa riang adalah ketika dulu ia diminta tolong mengantarkan sosok itu membeli stetoskop baru, sebagai ganti stetoskopnya yang hilang di IGD.Kemudian, dia dan wanita itu sedikit berjarak semenjak kehadiran Diana dalam hidup Anggara. Anggara mencintai Diana,
Anggara menatap sang isteri dengan wajah cemas, menantikan apa tanggapan Selly setelah ia menceritakan semua yang terjadi di masa lalu antara dirinya dan dokter spesialis anestesi baru di rumah sakit mereka itu. Apakah Selly kemudian akan marah? Atau bagaimana tanggapan sang isteri perihal cerita masa lalu Anggara itu?“Seperti itu?” tanya Selly yang nampak meraih gelas tehnya, matanya kemudian menatap Anggara lekat-lekat.Anggara menghela nafas panjang, mengangguk perlahan dan meraih tangan sang isteri.“Kalau begitu, apa maksud kalimatnya yang mengatakan kamu menjilat ludahmu sendiri, Ko?” netra Selly beradu mentap sang suami yang sejak tadi tidak lepas pandangan dari wajahnya.Anggara menghela nafas panjang, ia menundukkan kepala, mencoba kembali pada masa di mana ia sedang diuji dengan begitu luar biasa oleh Tuhan, saat itu ....“Ko ... sakit ....,” rintih Diana yang sejak tadi tidak melepaskan tangan A