"Jadi bagaimana?" tanya Arnold yang tampak berharap-harap cemas pada jawaban yang hendak keluar dari mulut Sisca.
Sejak mereka tiba di restoran ini, fokus mereka hanya pada obrolan. Mereka bahkan baru memesan minuman dan french fries guna menemani obrolan penting mereka. Sejak tadi pula, Arnold sudah menceritakan panjang lebar mengenai pembicaraan Arnold dengan kedua orang tuanya. Dan kini dia menunggu jawaban keluar dari mulut Sisca.
"Kamu yakin?" kini Sisca balik bertanya, melupakan pertanyaan apa yang tadi Arnold tujukan kepadanya, matanya menatap lurus ke dalam mata Arnold, ia tahu laki-laki itu tidak sedang bercanda, tidak ada pula sorot kebohongan yang terpancar di sana.
"Tentulah, Sis. Sejak awal kan aku sudah bilang bahwa aku serius dan sudah teramat sangat yakin. Kalau tidak untuk apa aku sampai melakukan hal-."
"Stop, jangan bahas dan bawa-bawa hal gila itu lagi, Ar! Sumpah kau membuatku merinding!" potong Sisca yang enggan membahas dan me
Sisca mengerjapkan matanya ketika ponsel miliknya berdering. Ia dengan susah payah menyingkirkan lengan kokoh yang memeluk pinggangnya. Meraih ponsel yang tergeletak bersisihan dengan ponsel milik Arnold di nakas samping ranjang. Sisca dengan susah payah membuka matanya, terbelalak kaget melihat nama siapa yang muncul di layar ponselnya. "Papa?" hampir Sisca memekik, ia lantas bangun, duduk di tepi ranjang dan bersiap mengangkat panggilan itu. "Hallo, iya gimana, Pa?" Sisca berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup kencang, ada apa sampai-sampai sang papa meneleponnya sepagi ini? "Papa di rumah kamu, kok sepi? Kamu kemana?" tanya suara itu yang sukses membuat Sisca melotot tajam. Jadi papanya ada di sini? "Papa udah di dalam nih, motor kamu di rumah, terus ini ada mobil punya siapa, Sis?" Sisca makin panik, ia tidak tahu harus menjawab apa dulu. Ia segera bangkit mengintip dari gorden kamar yang dia buka sed
"Jadi gimana?" Sisca yang sudah memakai baju itu menatap Arnold yang tadi bilang dia punya ide untuk mengeluarkan Sisca dari sini, sebuah ide yang agaknya tidak terlalu gila. Arnold sendiri sudah rapi dengan setelan jasnya. Dia harus berangkat kerja walaupun sebenarnya ini sudah cukup terlambat. "Pakai masker, masuk ke mobil kalau aku udah kasih kode. Aku juga bakalan pakai masker. Moga aja beliau di dalam, nggak keluar dulu." Arnold menyodorkan masker medis itu pada Sisca, membuat Sisca langsung meraih dan memakai masker itu. "Terus?" Sisca kembali menantikan instruksi, apa lagi ide dari laki-laki ini? "Antar aku ke kantor, kamu bawa mobil buat belanja baju, pergi ke salon atau apalah, beres kan?" Sisca mengangguk, untuk kali ini dia akui ide Arnold memang top dan sedikit waras. Tanpa banyak berkata lagi, Arnold melangkah keluar, memperhatikan sekeliling lantas membuka pintu mobil. Ia memberi kode Sisca yang menanti di
"Catok curly aja deh, Mbak." akhirnya setelah berbelanja di salah satu mall dengan memakai piyama, Sisca berakhir di salon dan spa ini.Sengaja ambil paket body scrub dan massage hanya untuk sekalian menumpang mandi. Sungguh ini ironis sekali. Kini dia duduk, bersiap perawatan selanjutnya yaitu mengeringkan rambut yang sekalian saja dia creambath.Kapster salon itu mengangguk pelan, segera meraih hairdryer dan mulai mengeringkan rambut Sisca yang basah. Sisca fokus pada layar ponsel, membalas beberapa pesan di grup pegawai coffee miliknya. Agaknya dia tidak akan kesana hari ini. Ada sang papa.Bukan apa-apa, hanya saja selama hampir setahun berbisnis dari modal yang Arnold gelontorkan, dia sama sekali belum memberitahu keluarganya perihal pekerjaan yang kini Sisca lakoni. Entah mengapa rasanya Sisca belum siap keluarganya tahu bahwa kini dia bukan lagi pegawai staff dari pabrik tekstil terkenal itu. Terlebih kalau sampai kedua orang tuanya tahu
"Papa!" teriak Sisca begitu ia turun dari mobil, nampak laki-laki paruh baya itu menatapnya dengan tatapan heran."Sejak kapan kamu bisa nyetir mobil, Sis?"Mata Sisca membulat, ah iya! Dia bahkan belum cerita ke sang papa kalau dia sudah mahir dan lancar menyetir mobil! Sisca baru sadar bahwa semenjak kenal dan dekat dengan Arnold, banyak sekali hal yang Sisca sembunyikan dari sang papa."Baru-baru aja sih, Pa. Arnold yang ngajarin." Sisca buru-buru mendekat, mencium tangan sang papa dengan penuh hormat.Burhan tersenyum, menerima hormat dari anak gadisnya itu dan mengelus lembut kepala Sisca yang siang ini nampak begitu cantik dengan hem warna peach dan rok span hitam."Nggak sama Arnold?"Sisca hampir melonjak kaget, ah ... bukan suatu hal yang aneh bukan kalau ayahnya menanyakan Arnold? Dulu dia mengaku teman satu kantor Sisca."Oh, dia ada tugas ikut meeting sama bos, Pa." Sisca melepas sepatunya, sepatu yang ta
"Kamu tahu, yang akan aku lakukan adalah keluar dari rumah dan tetap menikahimu apapun yang terjadi, Sis."Sisca tertegun, ia membeku mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Arnold itu. Kembali obrolan terhenti. Suasana menjadi sunyi dan tidak terdengar lagi perbincangan apapun meskipun sambungan telepon masih terhubung.Sisca diam di tempatnya duduk, tidak mencoba bersuara atau apapun. Otak dan hatinya tengah berdebat hebat. Yang mana otaknya menolak percaya dengan segala macam kalimat yang baru saja keluar dari mulut Arnold, sementara hatinya tersipu malu dan sangat bahagia mendengar apa yang keluar dari mulutnya tadi.Tunggu?Bahagia? Benarkah Sisca bahagia jika hubungannya harus berlanjut tanpa adanya restu dari orang tua Arnold? Bahwa Arnold harus membangkang dari perintah orang tuanya dan menjelma menjadi anak durhaka hanya demi menikahi dirinya?Tapi bukankah itu tandanya Arnold sangat teramat serius dengan niatnya menikahi Sisca? Tap
"Papa temukan ini di bawah kasurmu, ini milikmu?"Wajah Sisca sontak memucat, rasanya jantung Sisca seperti hendak melompat dari tempatnya. Tidak hanya Sisca, Arnold pun sama pucatnya. Membuat Burhan tersenyum getir lalu meletakkan benda itu di atas meja."Papa hendak mengganti spreimu tadi, Sis. Dan benda itu jatuh ketika Papa menarik spreinya. Benar itu punya kamu? Atau kamu bisa jelaskan ke Papamu ini?"Mata Sisca memerah, air matanya siap meledak. Dia tidak menyangka bahwa papanya akan menemukan itu, bahwa Burhan akan tahu rahasia besar yang Sisca simpan darinya. Benar bukan firasat Sisca tadi?"Sis, mendadak bisu?" Burhan mendesak, membuat air mata Sisca menitik dengan ketakutan yang mencengkram hatinya.Sisca terisak, menundukkan kepala dalam-dalam dan sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya guna menatap sang papa. Belum pernah dalam sejarah Sisca mengecewakan sang papa dan agaknya, kali ini Sisca berhasil melakukannya.
"APA?"Terlihat sekali bahwa Burhan terkejut setengah mati. Mulutnya setengah terbuka dengan mata melotot. Sisca dan Arnold saling pandang, bukan suatu hal yang aneh kalau sampai Burhan terkejut mendengar fakta yang baru saja Arnold ungkapkan mengenai siapa dirinya sebenarnya.Siapa yang tidak kenal dengan Gunawan Argadana? Namanya sering bertengger dalam daftar sepuluh pengusaha kaya Indonesia. Tentu itu bukan nama yang asing terlebih Gunawan sering turun tangan memberi sponsorship di berbagai kegiatan sosial."Ka-kamu anak Gunawan Argadana?"Arnold tersenyum kikuk dan menganggukkan kepalanya, bukan suatu kesalahan, kan, kalau dia membuka jati diri yang sebenarnya pada calon mertuanya ini?"Iya, Pa. Itu papa Arnold. Papa kenal?"Burhan meraih gelasnya, meneguk teh hangat itu hingga tinggal separuh lantas kembali meletakkan gelas itu. Ia lalu menoleh pada Sisca yang masih diam di tempatnya duduk."Sis, pulang sekarang aja gimana
Burhan melangkah turun dari taxi yang dia sewa untuk membawanya pulang dari restoran tadi. Setelah beres membayar ongkos, Burhan merogoh saku celana, mengambil kunci cadangan rumah yang dulu dia hadiahkan untuk sang anak gadis. Burhan tidak menyangka, rumah ini yang lantas mempertemukan Sisca dengan laki-laki itu. Rumah ini yang lantas membuat anak gadisnya tergoda melakukan perbuatan dosa itu sebelum mereka berjanji sehidup semati di depan altar. Ah ... Burhan sudah kecolongan rupanya, dia terlalu abai pada anak gadis semata wayangnya! "Astaga Tuhan, kenapa bisa seperti ini?" desis Burhan seraya memutar kunci pintu. Pintu terbuka lebar, nampak rumah sepi. Burhan melepas sepatunya, melangkah masuk dan bergegas menuju kamar tamu yang selalu dia gunakan tidur ketika mengunjungi Sisca. Burhan duduk di tepi ranjang, menghela nafas panjang dan tampak berpikir keras. Hatinya berkecamuk luar biasa. Hendak meminta Sisca mengakhiri hubu