“Sudah?” sindir Dirly dengan wajah memerah, kepalanya mendadak pusing karena menahan gairahnya sejak tadi, terlebih teriakan-teriakan Franda yang tengah ‘dihajar’ Arnold tadi begitu merdu dan makin membuat sesuatu di dalam Dirly meronta-ronta luar biasa.
“Sudah, mau lu pake? Tepar dia,” jawab Arnold santai kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa, wajahnya tampak lebih segar dengan rambut yang masih basah itu.
“Sorry, gue pilih cari yang lain lagi daripada pake bekas elu,” Dirly masih fokus pada layar televisi, tangannya masin menekan-nekan stick PS, meluapkan kekesalannya dengan terus menekan-nekan tombol stick di tangannya.
Arnold menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya tubuhnya enteng dan ringan seketika, pusingnya hilang. Meskipun rasa jengkel dan kesalnya pada sang papa masih ada. Dirly melirik sekilas ke arah sepupunya itu. Ada pertanyaan menggelitik yang ingin dia tanyakan.
“Lu udah berapa lama ngga
“Sepupu lu kenapa sih? Kok ngamuk mulu? Sampe pusing pala gue, Dir,” bisik Sisca ketika Dirly secara kebetulan masuk ke ruangan Arnold sambil membawa beberapa berkas yang diminta direktur utama itu.Dirly menghela nafas panjang, ia menatap Sisca dengan seksama.Nggak salah sih kalau Arnold sampai jatuh hati pada gadis satu ini. Matanya begitu jernih dengan bulu mata lentik. Kulitnya putih bersih, dengan hidung mancung dan bibir berisi yang hari ini tersapu lipstick warna merah tipis. Ah ... belum lagi body Sisca juga cukup lumayan. Memang selera Arnold tidak diragukan lagi.“Gue cerita tapi jangan di sini,” ia melirik kamar mandi ruangan itu yang masih tertutup, yang artinya Arnold masih di dalam sana.“Terus?” tanya Sica tidak mengerti.Pasalnya sudah hampir tiga minggu ini suasana hati bos itu amburadul. Nggak di rumah, nggak di kantor dia selalu marah-marah terus, ngamuk nggak jelas dan bungkam seribu bahasa. Jika ala
“Gini ... Dua hari lagi gue balik ke Jakarta, dua mingguan lah nanti di sana. Lu bantu Dirly urusin pekerjaan di sini, bantuin Jelita juga ya.” Sisca mengangkat wajahnya, menatap Arnold yang masih tampak gusar itu. Ah ... dia lupa, dua hari lagi sudah ganti bulan, kan? Dan diharuskan pulang ke Jakarta untuk menyambut dan membahas perihal perjodohannya dengan anak konglomerat lulusan luar negeri itu. “Ba-baik, Bos.” Jawab Sisca sambil tersenyum. “Baek-baek lu selama gue balik, awas kemakan gombalan Dirly, gue udah bilang, kan, kalau dia itu buaya kelas kakap,” desis Arnold kemudian pura-pura membuka laptop dan serius dengan benda di hadapannya itu, padahal Sisca tahu betul itu laptop baterainya habis, chargernya rusak, jadi apa yang Arnold perhatikan? “Iya paham, Bos.” Sisca kembali hanya mengalah, sia-sia juga banyak bicara ketika suasana hati bosnya itu tengah begitu buruk. Arnold tampak melirik sekilas, ia menatap Sisca yang nampak men
“Hati-hati lu, siapa tahu sampai sana disuruh langsung kawin!” seloroh Dirly ketika ia mengantar Arnold ke bandara pagi ini.Sontak Arnold menjitak kepala sepupunya itu. Kurang ajar bener sih? Ni anak kenapa makin lama makin ngelunjak? Arnold mendengus kesal. Kenapa juga hari gini masih ada aja praktek perjodohan? Sosial media banyak, Man! Bukan macam dulu yang mana alat komunikasi Cuma kentongan sama surat menyurat, jadi susah mau kenalan sama banyak orang dan harus dijodohin. Kalau sekarang? Download aja T*nder, dijamin jangan kan jodoh, teman kencan semalam pun bisa dengan mudah di dapatkan.“Awas lu macem-macem sama Sisca, gue punya banyak mata-mata di sini,” ancam Arnold pada Dirly.Masalahnya kunyuk satu ini lebih bahaya dan buaya daripada dirinya. Rekor paling kurang ajar orang satu ini pernah sehari ganti partner sex sampai tiga kali! Edan, kan? Arnold saja kalah. Bagaimana kemudian dia tidak khawatir pada Sisca-nya?Eh ...
Gadis dengan rambut cokelat tanah itu tengah berbaring sambil menikmati pijatan dari terapis spa yang khusus ia panggil ke rumah demi menyempurnakan penampilannya yang hendak dipertemukan dengan putra sulung klan Argadana itu.Ya ... kepulangannya ke Indonesia kali ini sedikit spesial karena ia dijadwalkan hendak bertemu dengan sesosok pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah calon suaminya di masa depan. Scarletta sama sekali tidak menolak perjodohan ini karena disamping Sosok Arnold Argadana itu laksana Dewa Hermes, yang pesonannya sudah terkenal luar biasa, ketampanan sosok itu sudah tersiar sampai mana-mana, jangan lupakan bahwa dia adalah anak sulung dan perwaris dari Argadana Group.Ia tengah menikmati pijatan-pijatan itu ketika kemudian pintu kamarnya terbuka, nampak Maia, sang mama masuk ke dalam kamar dan melangkah mendekati sang puteri yang tengah menikmati pijatan terapis.“Ta, nanti malam siap?” tanya Maia sambil mengelus punggun
Sepeninggal Dirly, Sisca tertegun di sofa yang ada di ruangan sang big boss. Ia memikirkan obrolan yang tadi terjadi antara dia dan sepupu dari Arnold itu. Apakah kemudian memutuskan Rizal dan jujur perihal perasaan yang dia punya untuk Arnold adalah hal yang tepat dan baik?Namun jika mengingat bahwa apa yang dikatakan Dirly perihal ia yang begitu kejam menjadikan Rizal hanya sebagai tameng dan alasan untuk menolak dan membohongi perasaan yang ia punya untuk Arnold, rasanya benar bahwa Sisca harus melakukan hal itu.Tapi apakah Sisca sanggup?Ahh ... sungguh semua ini begitu rumit. Sisca melirik jam dinding, sudah pukul empat, satu jam lagi ia harus sudah pulang. Sudah waktunya pulang, bukan? Dan karena bos soplak itu sedang keluar kota, jadi Sisca bisa langsung tidur setelah ini, tanpa pusing harus mengurusi segala macam keperluan orang itu di rumah.Ia hendak bangkit ketika ponselnya berdering, ah ... panjang umur sekali sih anak ini? Baru saja dibahas
Arnold kini sudah berada di dalam sebuah kamar hotel bintang lima itu, tubuhnya sudah polos tanpa busana, tengah bergumul sambil menautkan bibir dengan sosok itu. Kulit mereka saling bersentuhan, bergesekan dan menyatu, menghidupkan gelayar aneh dalam diri Arnold.Dia memang menolak menikah dengan wanita ini, namun jika sekedar menikmati tubuh wanita ini, tidak ada salahnya, bukan?Mereka terus beradu, saling menautkan bibir dan mejelajahi inci tiap inci tubuh mulus nan harum di bawah kungkungan tubuhnya itu. Sungguh menggiurkan memang, hanya saja, Arnold tidak mencintai wanita dalam dekapannya ini. Ia hanya mencintai Sisca, bukan siapapun.“Please, let start now, Babe!”Sumpah! Suara Scarletta benar-benar sexy! Arnold pastikan bahwa di Amerika sana dia sudah terbiasa mengumbar tubuh dengan teman-teman kuliahnya. Namun Arnold tidak peduli, bukankah dia juga sama? Dia juga sama sudah banyak mencicipi wanita dalam sepanjang hidupnya. Jadi apa sa
“Main lu hebat,” puji Scarletta sambil mengeringkan rambutnya, tidak sia-sia dia memanggil terapis sampai ke rumah, Arnold langsung mengajaknya main ternyata, dan tubuhnya ternyata tidak memalukan malam ini.“Biasa saja,” Arnold kembali memakai baju-bajunya, kemudian duduk di tepi ranjang yang nampak begitu berantakan efek pergumulan mereka itu.Scarletta dengan manja bergelayut di leher Arnold, menciumi pipi Arnold dengan begitu genit. Arnold hanya terdiam dan tersenyum simpul, tangannya terulur mengelus kepala Scarletta yang nampak begitu menikmati apa yang sudah mereka lakukan tadi.“Pulang sekarang? Gue masih harus handle beberapa pekerjaan,” Arnold sudah dapat apa yang dia mau, tentu lah dia lebih memilih segera menyingkir dari sisi gadis ini daripada terus menerus bersamanya.“Handle pekerjaan atau handle cewek lain?” tanya Scarletta sarkas.Arnold hanya tertawa keras-keras, ia kembali mengelus
"Sis ...."Sisca menoleh, ia tidak jadi melepaskan seat belt-nya, menoleh dan menatap Rizal dengan seksama."Ya?""Kabari aku ya, kapan aku bisa ketemu papa."Sisca tertegun, ia tersenyum begitu manis dan mengangguk pelan, ia hendak melepas seat belt-nya ketika Rizal mendekatkan wajahnya, membuat Sisca terkejut dan tercengang di tempatnya duduk."Boleh cium lagi?"Sisca tersenyum, ia tidak mengangguk, tidak menjawab, malah maju dan meraih bibir Rizal lebih dulu, satu tangannya diletakkan di bahu Rizal, satu lagi di belakang kepalanya, menekan kepala Rizal agar ia makin mudah memagut bibir itu dengan begitu lembut.Cukup lama bibir mereka berpagut, hingga kemudian Sisca melepaskan pagutan bibir mereka. Dielusnya bibir memerah Rizal dengan jemarinya, menatap mata itu dalam-dalam.Wajah mereka belum menjauh, ujung hidung mereka masih bersentuhan, Rizal hendak kembali meraih bibir Sisca ketika kemudian ponsel Sisca berdering.