Malam harinya seperti biasa, Jagat mengantarkan Jasmine pulang ke rumahnya. Sampai saat ini pun Jasmine masih belum memberikan ijin Jagat untuk menemui orangtuanya, apalagi jika sampai mengatakan tentang kehamilannya. Dan kali ini Jagat harus kembali menuruti keinginan kekasihnya.
“Loh Jasmine, kamu udah pulang? Tapi Mama kok nggak dengar ada suara mobil kamu? Kamu juga nggak klakson minta dibukakan pintu gerbang.” Mardina menghampiri Jasmine yang tampak lemas.
“Iya, Ma. Mobil aku di bengkel, akupulang sama teman.”
“Di bengkel?!” seru Benjamin. Ia yang sedari tadi duduk di ruang tengah seraya mendengarkan percakapan anak dan istrinya langsung ikut angkat bicara.
“Tadi aku nabrak orang,” ucap Jasmine.
“Apa?! Tapi kamu nggak pa-pa kan?!” Mardina meneliti tubuh Jasmine.
Benjamin langsung berjalan menghampiri Jasmine. “Gimana ceritanya? Kamu nggak ada luka kan?! Udah periksa ke ru
Jasmine keluar dari kamar setelah ia merasa bosan. Saat membuka pintu, dirinya disambut oleh senyum lembut Jagat.“Hai, Sayang.”“Aku mau pulang aja. Aku bosen ada di sini, aku juga nggak nyaman.” Jasmine berdiri di samping Jagat seraya menatap kekasihnya itu dengan memelas.“Kita nanti akan pulang bersama. Kita makan siang dulu.”“Aku lagi males makan.” “Nggak bisa gitu dong, Sayang. Kamu kan lagi hamil jadi kamu harus makan tepat waktu.” Jagat meletakan bolpoinnya lalu menarik Jasmine agar duduk di pangkuannya.“Jagat, gimana kalau ada orang yang lihat?!” seru Jasmine.“Nggak akan ada yang lihat.” Jaga
Setelah mengetahu jika sekarang ini dirinya sedang mengandung, kini Jasmine harus memutar otaknya agar ia bisa membicarakan kehamilannya ini dengan keluarganya.Sepulang dari kantor Jagat ia mencoba untuk menemui kakak satu-satunya yang ia miliki. Barangkali saja kakaknya itu bisa memberikannya solusi.Jasmine menaiki taksi menuju apartemen Rosaline. Ia hanya akan bisa bicara jika ia mengunjungi kakaknya itu ke apartemen tempat tinggal kakaknya.Jasmine melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam lima tapi kakaknya itu juga belum pulang ke apartemen. Padahal ia sudah menunggu kepulangan Rosaline sejak setengah jam yang lalu.“Sabar aja, Jasmine. Bentar lagi Kak Rose pasti pulang kok,” gumam Jamsine untuk dirinya sendiri.Jasmine terus menundukan kepalanya menunggu kepulangan Rosaline.“Jasmine?!”Jasmine menolehkan kepalanya. Ia tersenyum lega saat akhirnya Rosaline datang.“Kak
“Jasmine!”Jasmine menghentikanlangkah kakinya saat ia mendegar ada seseorang yang memanggil namanya.“Jasmine. Ah maksud saya Bu Jasmine, dari tadi saya memanggil Anda.” Ucap Leo saat ia sudah berdiri di hadapan Jasmine. Merasa banyak mata yang melihat ke arahnya dan Jasmine membuat ia tersadar jika ia harus memanggil nama Jasmine dengan semestinya.Jasmine mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Seperti biasanya, ia paling tak suka ada orang yang nantinya akan menggunjingkan dirinya, apalagi menggunjingkannya karena terlihat dekat dengan Leo, sang pemilik yayasan.“Ada apa, Pak Leo?”“Saya ingin bicara sebentar dengan Anda,” ucap Leo.“Selamat pagi, Pak.” Beberapa guru dan murid silih berganti melewati Leo seraya menyapa. Dan tentu saja Leo membalas salam mere
Seperti biasanya, pagi ini Jagat kembali menunggu Jasmine di dalam mobil yang sudah terparkir di depan pagar rumah Jasmine. Tak lama kemudian ia melihat Jasmine yang baru saja keluar dari pintu gerbang rumah.“Selamat pagi, Sayang.” Sapa Jagat setelah Jasmine memasuki mobilnya. Mobil pun mulai melaju membelah jalanan kota. “Wajah kamu kelihatan pucat, kamu baik-baik aja?”“Keadaan aku nggak baik, Jagat. Tadi pagi aku mual dan muntah, pagi kemarin juga. Aku rasa aku udah mulai ngalamin gejala perempuan hamil deh.”“Apa aja yang kamu rasain? Kamu lagi ada pengen makan sesuatu?” tanya Jagat.“Enggak lagi pengen makan sesuatu. Aku lagi cemas, aku takut kalau kehamilanku ketahuan sama Mama dan Papa,” lirih Jasmine.“Maka itu sebelum Mama dan Papa kamu tahu dengan sendirinya secepatnya kita harus jujur sama mereka. Jangan sampai kita membuat mereka menjadi semakin kecewa dengan kediaman ki
Jagat menyukai sikap Jasmine yang semakin manja kepadanya. Itu adalah merupakan sebuah keberuntungan untuknya. Sebelum ini ia akan dengan sekuat tenaga dan harus memutar otaknya lebih keras hanya untuk membuat Jasmine dekat dan merasa tergantung padanya agar dirinya bisa tetap diandalkan Jasmine akapanpun dan di manapun kekasihnya itu berada.Seharian ini Jasmine terus bergelayut manja di pangkuan Jagat. Meskipun Jagat merasa susah untuk bergerak, namun ia tetap tak mempermasalahkannya. Justru dirinya merasa sangat senang. Bahkan saat Joana atau Adrian masuk ke ruangnnya pun Jasmine juga tak ingin turun dari pangkuannya.Pintu ruagan Jagat kembali terbuka dan Jasmine masih tetap berada di pangkuan Jagat tanpa memperdulikan siapa yang datang.“Mama?” sapa Jagat.Mendengar ucapan Jagat membuat Jasmine membelalakan matanya. Ia menoleh ke arah pintu dan ternyata benar, ia mendapati Monica sedang berdiri di ambang pintu. Sontak saja ia turun dari p
Jagat mengkhawatirkan keadaan Jasmine. Sejak dua hari yang lalu ia tak bisa menghubungi Jasmine karena ponsel Jasmine yang tak aktif. Ini bukan pengalam pertama baginya dalam menghadapi wanita hamil yang memiliki perasaan yang lebih sensitif dari biasanya. Namun pengalamannya dulu ternyata tak ia gunakan sebaik mungkin. Ia malah membuat Jasmine marah dan kecewa padanya gara-gara kalimat yang ia tuduhkan pada Jasmine.Tak tahan lagi, Jagat memutuskan untuk datang ke rumah Jasmine. Sampai di luar pintu gerbang, ia melihat jika pintunya terkunci sehingga ia tak bisa masuk. Sekali lagi ia mencoba menghubungi ponsel Jasmine dan ternyata kali ini telponnya tersambung.“Halo, Sayang. Akhirnya kamu angkat juga telpon dari aku.” Jagat tersenyum lega setelah bisa berbicara dengan kekasih pujaan hatinya itu. “Aku khawatir sama kamu, makanya sekarang ini aku mau ke rumah kamu, mau lihat kondisi kamu tapi ternyata pintu gerbangnya di kunci,” sambung Jagat.
Jagat berlari mencari keberadaan Jasmine ketika ia sampai di rumah sakit. Dengan langkah gontai ia berjalan menghampiri Jasmine yang terbaring lemah di atas ranjang. Ia menyesal karena ia tak ada di saat-saat terburuk wanitanya, padahal wanita ini sedang mengandung darah dagingnya.Jagat sedikit membungkuk sikunya bertumpu pada ranjang agar tangannya bisa membelai rambut Jasmine. Air matanya menetes merasakan kepedihan hatinya karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk kekasihnya.Jasmine perlahan membuka matanya saat ia merasa tidurnya sedikit terusik. Keningnya mengkerut saat ia melihat wajah Jagat yang hanya berjarak beberapa cm dari wajahnya.“Kamu?! Ngapain kamu di sini?!” Sentak Jasmine seraya menarik kepalanya menjauh dari Jagat.“Kamu udah bangun? Maaf ya aku udah ganggu istirahat kamu,” lirih Jagat. Senyuman hangatnya menyapa Jasmine yang menatapnya sinis.“Kamu tahu dari mana aku ada di sini?” Jasmine me
“Mama ... Papa.” Jagat mendekat menyapa Monica dan Barmal yang baru saja memasuki ruang inap Jasmine.Monica dan Barmal melihat ke arah ranjang di mana calon menantunya sedang beristirahat di sana.“Jagat, gimana keadaannya Jasmine?” tanya Monica.“Ya begini ini, Ma. Nggak ada makanan yang bertahan lama di perut, apa yang dia makan selalu dimuntahin makanya sampai dia lemes dan harus dirawat di sini,” sahut Jagat.“Ini Jasmine tidur ya?” tanya Barmal.“Iya, Pa. Katanya semenjak hamil dia bawaannya ngantuk terus.”“Mungkin itu bawaan bayi. Kasihan dia,” timpal Monica.Jasmine perlahan mulai membuka matanya saat sayup-sayup ia mendengar percakapan beberapa orang di sekitarnya. Keningnya mengerut melihat Monica dan Barmal yang berdiri di sisi ranjangnya. Melihat orangtua Jagat ada di hadapannya, tentu saja membuat Jasmine bangkit dari berbaringnya karena ia pikir tak