Daisy menuruti permintaan Maria. Dia harus berpura-pura tidur dan berdiam di kamar. Daisy juga ingin mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya di rumah ini. Siapakah sosok paman sebenarnya dan siapakah dirinya. Lalu tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari lantai bawah. Daisy yakin itu suara Maria yang seperti sedang kesakitan. Hati nurani Daisy memberontak. Ingin sekali ia turun dan membantu wanita itu sebisanya. Kemudian samar-samar ia mendengar suara Hendra bicara. Pelan-pelan, Daisy menempelkan telinganya di pintu. Pria itu seperti sedang mengumpat dan membanting sesuatu. "Kalau sampai terbongkar, kau juga akan masuk penjara!" Pekiknya. Daisy tak tahan lagi, dia tak bisa menuruti keinginan Maria. Dia harus keluar kamar dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun langkahnya terhenti saat dia mendengar suara baru yang belum pernah ia dengar sebelumnya. "Tenang dulu, Pa! Kasihan mama," ujar suara itu. "Lagian, Zizi amnesia. Dia nggak ingat apa-apa. Itu sebuah keuntung
Baru semalam Daisy pergi meninggalkan rumahnya, namun mood Brandon langsung memburuk seketika. Dia kembali merasakan keheningan yang tidak ia suka. Dua tahun lamanya ia tinggal di sini, seorang diri, kecuali saat weekend atau saat Liam menjenguknya. Namun, dia tak pernah merasa setersiksa ini. "What did you do to me, Daisy?" Gumam Brandon, lebih kepada bicara pada diri sendiri. Dia meraup kasar mukanya dan berjalan ke halaman belakang rumah. Tak ada satu bulan dia bertemu gadis itu. Akan tetapi, rasanya seperti sudah bertahun-tahun mengenalnya. "Daisy," Brandon sudah sangat merindukan wajah cantik itu. Masih terasa jelas bibirnya yang bersentuhan dengan bibir Daisy, begitu hangat dan memabukkan. Keinginannya kini tak terbendung untuk kembali bertemu dengan gadis itu. Segera diraihnya ponselnya dan ia mulai menghubungi Liam. "Aku akan ke London sekarang," hanya itu saja pesannya namun sudah pasti akan membuat Liam terkejut bukan kepalang. Pasalnya, Brandon trauma dengan London. Dia
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Brandon dan Daisy bersamaan, sebelum akhirnya berpelukan. "Aku lari dari rumah. Aku ketakutan," isak Daisy yang semakin mengencangkan pelukannya. "It's okay. Ada aku di sini. Aku juga hendak membuat laporan," Brandon mengusap-usap punggung Daisy lembut. "Melaporkan apa?" Daisy mendongak menatap Brandon curiga. "Aku sendiri juga tidak tahu, tapi feelingku mengatakan ada yang salah dengan pamanmu," jawab Brandon. Daisy memundurkan badannya agar dapat bicara dengan nyaman sambil memandang wajah Brandon. "Kau tahu? Aku juga berpikiran seperti itu. Omku tampaknya mempunyai niat jahat." "Aku tadi juga singgah di alamat yang diberikan oleh pamanmu, Daisy. Seorang wanita yang agak mirip denganmu membuka pintunya. Wajahnya terlihat babak belur dan tampak sangat ketakutan," timpal Brandon antusias. "Tante Maria," Gumam Daisy pilu. "Apa kau mau membuat laporan bersamaku?" Brandon menggenggam tangan Daisy erat. "Tapi aku tidak memiliki bukti apapun,"
Wajah tampan itu tampak memenuhi layar ponselnya. Tak ada lagi senyum menawan seperti kemarin. Yang ada hanyalah wajah masam menahan cemburu. "Bisa jelaskan sesuatu nggak, Zi?" Ujarnya saat melihat Brandon melingkarkan bahunya pada Daisy. Daisy sama sekali tak memedulikan pertanyaan Raja, dia malah menunjukkan gedung kantor polisi yang terletak di belakangnya. "Raja, aku akan terus terang sekarang," Daisy menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku sama sekali tidak ingat masa laluku dan aku ingin kamu menjelaskan padaku tentang semuanya." "Is this some kind of joke?" Tanyanya dengan nada sinis. "Menurutmu? Kamu lihat sendiri, aku ada di depan kantor polisi sekarang," ucap Daisy, datar dan dingin. "Jadi kamu nggak ingat aku siapa?" Raja menyipitkan matanya seakan tak percaya. "Aku punya hasil scan MRI sebagai bukti." Raja terdiam, dia seakan berpikir, kemudian akhirnya berkata, "Aku akan ke London secepatnya." Sebelum Daisy mengakhiri panggilannya, Raja berseru m
Daisy terpana. Tak disangka Brandon yang sederhana memiliki penthouse semewah ini. Matanya tak henti-henti memandang Menara Big Ben yang tampak jelas dari dinding kaca. "It's so beautiful," gumamnya."Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sini, sejak ..." Brandon tak meneruskan kalimatnya. Matanya ikut menerawang ke arah Big Ben."Sejak orang tuamu ..." Daisy juga tak sanggup melanjutkan kata-katanya.Brandon tersenyum tipis. "Rumah ini mengingatkanku pada pengkhianatan," ujarnya gamang."Camilla?""Yeah, kami sempat tinggal bersama selama dua tahun, sebelum dia berkhianat dan meninggalkan aku," sahut Brandon sambil mengalihkan pandangannya pada Daisy."Do you still love her?" Tanya Daisy hati-hati.Brandon menggeleng cepat, "I forgive her, tapi aku tidak akan melupakan apa yang dia lakukan padaku. Rasa cinta itu hilang seiring dengan pengkhianatan yang dia lakukan."Tanpa pikir panjang, Daisy mengusap rahang kokoh Brandon. Mata biru pria itu terlihat mengeluarkan setitik air ma
"Kenapa dia ingin membunuhku, Tante?" Gemetar nada suara Daisy menyembunyikan ketakutannya. Maria tak menjawab, dia malah terisak. "Tante minta maaf," ujarnya. "Tante tidak bisa memenuhi janji padamu untuk selalu menjaga dan melindungi kamu," tangisan itu terdengar makin kencang. "Tante?" Daisy makin kalut dan bingung. Maria tak lagi bersuara, kini suara detektif Chris lah yang terdengar. "Nona Zivanna, saya berharap anda bisa tenang. Kami akan berusaha secepat mungkin menangkap Tuan Hendra. Untuk sementara, harap anda tinggal di rumah, atau dimanapun anda bersembunyi. Hindari keramaian dan jangan keluar rumah jika tidak ada keperluan," ujarnya. Daisy tak mampu berbuat apapun selain mengangguk, lalu mematikan panggilannya. Dia menyerahkan kembali ponsel itu pada Brandon. "Jangan nyalakan ponselmu sebelum Hendra tertangkap. Aku takut dia menyadap atau melacak GPS pada ponselmu," saran Brandon. Daisy mengangguk lagi. "Can I get some rest? Aku lelah sekali," ujarnya sambil menguap
Brandon membaringkan tubuh Daisy di ranjangnya. Tatapannya tak lepas pada wajah cantik itu. Perlahan, Brandon mengusap pipi, leher dan bahu Daisy. Entah dimana akal sehat dan logikanya. Semuanya seakan berhenti berjalan saat matanya dimanjakan oleh kemolekan Daisy. Bahkan nuraninya yang berteriak sedari tadi bahwa gadis itu sudah bertunangan, tak mampu ia hiraukan.Brandon hanya ingin Daisy, seluruhnya. Sekali lagi, ia memandang lekat pada gadis itu untuk meminta persetujuan dan Daisy mengangguk. Daisy pun sudah tak memedulikan segalanya. Hanya satu yang dia rasakan, tergila-gila pada sosok pangeran penyelamatnya, pada pria tampan yang sudah menariknya dari gerbang kematian. Apapun akan dia berikan pada laki-laki itu.Lalu, Brandon melepas sweater over size Daisy, menyisakan pakaian dalam berenda hitam. Brandon terpana melihat bentuknya yang begitu indah, seperti belum pernah tersentuh oleh siapapun. "Kegilaan macam apa yang akan kita lakukan sebentar lagi, Brandon?" Tanya Daisy di se
Lift pribadi Brandon berbunyi kembali saat dia, Daisy dan Liam berbincang serius. "Jean!" Seru mereka serentak saat Jean keluar dari lift. "Aku terpaksa meminta ijin untuk pulang lebih awal. Aku bilang pada Mr. Parkin bahwa nyawa adikku sedang dalam bahaya," Jean meringis sambil berjalan mendekat ke arah Brandon. "That's bad, Jean!" Protes Brandon. "I'm not lying. Daisy sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Meskipun kami baru saja bertemu, but I feel the connection (aku merasakan ikatan)," Jean membelai dagu Daisy lembut, sementara Daisy hanya mampu tersipu. "Okay, back to business," potong Liam. "Jadi, kalian ingin aku mencarikan detektif swasta?" Lanjutnya. "Yes!" Sahut Brandon dan Daisy serempak. "Wait, wait! Ada apa ini?" Jean menimpali percakapan itu. "Listen, Jean! Kau tidak akan percaya ini," Brandon memegang bahu kakaknya. "Pria Indonesia yang kemarin kuceritakan padamu, yang mengaku sebagai paman Daisy, ternyata memiliki niat jahat pada Daisy," jelas Brandon. "Apa mak