Sukses dibuat tak keruan karena genggam, tatap, juga senyum Kang Cihu, akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang. Tepatnya setelah aku sampai dengan selamat di tempat tujuan, lalu turun dan menginjakkan kaki di sana sambil menghirup udara segar di batas hari.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Itu artinya, sebentar lagi akan terdengar seruan azan dari beberapa masjid terdekat. Namun, yang membuatku terkesima sekarang adalah senja. Di mana aku dapat melihat panorama jingga dengan begitu jelas, tanpa satu pun awan yang menghalangi keindahannya.
“Sebut nama Allah saat mengagumi apa pun, Neng.”
Aku langsung mengerjap, begitu mendengar suara berat Kang Cihu. Dia benar. Buru-buru aku pun menyebut nama Allah, Tuhan Pemilik Dari Segala Keindahan dan Kenikmatan Di Dunia Ini.
“Pinter.”
“Udah dari lahir, Kang. Terkodrat.”
“Percaya,” timpalnya sembari ter
Sejak sore, awan di atas sana sudah menggulung-gulung, tampak tebal dan hitam. Namun, karena hawa yang tetap terasa panas di tengah-tengah kelebat angin, kupikir hujan tak kan turun secepat ini.Ternyata aku salah, karena kira-kira satu jam setelah azan isya berkumandang, hujan turun diiringi gelegar guntur dan kilauan kilat. Seolah saling menyahut, saling memamerkan kelebihan masing-masing dengan disertai kelebat angin. Menakutkan, sekaligus mengagumkan.Untungnya, barang-barangku sudah selesai dipindahkan ke dalam rumah. Ponsel yang tadi kubanting pun diselamatkan Kang Cihu, tanpa kutahu.Mobil-mobil yang disewa Pak Dodot pun sudah sedari tadi menghilang dari pandangan. Sopir-sopirnya itu SMP, setelah makan pulang. Pak Dodot apalagi. SMK, Setelah makan kabur.Malah, kata Bu Ana yang minta maaf karena tak bisa membantu beres-beres, Pak Dodot sudah pergi ke langit. Molor, gitu maksudnya. Sementara itu, yang lain justru terjebak
“Haha! Serius amat, sih? Aku cuma bercanda kali,” selorohnya di tengah-tengah ketegangan yang aku rasa. “Mpe tegang gitu mukanya.”“Heleh! Kek bisa liat wajahku aja kamu. Gelap, loh ini.”Aku tertawa kikuk seraya menarik diri, berjalan mundur perlahan untuk menjauhinya. Dia memang benar, keteganganku barusan udah kek ibu-ibu yang lagi nunggu waktu lahiran. Bikin deg-degan, bikin keringetan, dan tentunya bikin kentut tertahan.“Kamu kali yang tegang? Ih, atut ...!” lanjutku sambil bergidik. Pura-pura ngeri, padahal lagi ngeluarin kentut perlahan-lahan biar nggak sampai bunyi.“Eh, maksudnya apa?” Dia tergelak sambil melangkah maju, sepertinya sengaja mengikutiku.“Hayo, loh. Otaknya jangan ngeres!”Tanganku refleks menangkup mulut. Selain karena takut tiba-tiba tercium aroma kurang sedap, aku pun ingat bahwa otakku yang justru sudah terkontaminasi pikiran-pikiran aneh. Ta
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si
Tak mendapati Kang Cihu di rumah, aku harap bisa bertemu dia di tempat kerja. Namun, begitu sampai, aku tak menjumpai gerobaknya sama sekali. Ke mana dia? Aku mengernyit heran, setelah mendapati tempat yang biasa dipakai oleh Kang Cihu kosong. Melihat ke sisi kiri dan kanan jalan, gerobaknya pun nggak ada di sekitar sini.Duh ... apa aku ada salah bicara, ya, tadi malam? Tapi, kayaknya nggak, deh. Orang dia yang menggodaku terus-terusan.Dengan perasaan bingung aku melangkah menuju teras mini market, lalu membuka kuncinya cepat-cepat. Tak lama, setelah aku masuk dan baru saja hendak ke gudang, teman-temanku datang. Kho dan Tania pun tampak heran begitu melihat halaman depan yang kosong.“Kang Cihu ke mana?” tanya Kho begitu masuk, seraya sibuk memperbaiki kerudungnya yang kusut karena terpaan angin. Pun dengan Tania yang menyusup-nyusupkan pakaiannya ke balik celana jeans.“Gak tau. Semalam, dia juga nggak ada cerita soal ini sama gue.&r
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp