Tidak terasa sudah lebih dari 30 bab. Terima kasih sudah membaca sejauh ini. Menurut teman-teman, bagaimana ceritanya? Tolong tulis pendapat kalian di kolom review ya. Terima kasih.
Sepeninggal Chin Hwa, Nyonya Song bergegas mengeluarkan ponselnya. Dalam waktu singkat, dia pun sudah terlibat obrolan serius dengan suaminya. Melaporkan perkembangan Chin Hwa dengan wajah berseri-seri, seakan-akan dia baru saja memenangkan undian bernilai jutaan dolar.Suara dehaman spontan mengakhiri percakapan Nyonya Song dengan suaminya. Buru-buru dia memutus sambungan telepon. Mata almond-nya melebar ketika melihat seorang wanita cantik berjalan dengan sedikit gugup di sisi Chin Hwa.Nyonya Song menilik penampilan Qeiza. Tubuh langsing terbalut long dress berwarna hitam dan berlapis blazer panjang warna abu-abu itu tampak anggun dalam pandangan Nyonya Song. Sorot mata lembut yang memancar dari netra hazel Qeiza terasa menenangkan menurut Nyonya Song. Membuatnya betah berlama-lama memandanginya.Perlahan Nyonya Song bangkit dari sofa, lalu tiba-tiba tidak sabar untuk segera menyerbu ke arah Qeiza. Diseretnya tangan Qeiza untuk duduk di sofa.Qeiza memutar kepala ke belakang, meneng
Pikiran seperti magnet. Dia akan menarik peristiwa sesuai dengan apa yang kita pikirkan.***Chin Hwa merasa seakan gelegar halilintar baru saja meledak tepat menghantam gendang telinganya. Pertanyaan tak terduga Nyonya Song sesaat membius kesadarannya. Membuat matanya melotot bulat seperti sedang melihat hantu yang sangat menyeramkan.Pun tak berbeda dengan Qeiza. Gadis itu merasa jiwanya seakan lepas dari raga untuk sepersekian detik. Dia cuma bisa melongo dalam keterpanaan, menatap hampa pada Nyonya Song yang menanti jawaban Chin Hwa dengan raut muka menuntut.Menyadari pertanyaan spontannya bak lemparan bola api yang menerobos sebuah benteng pertahanan secara mendadak, Nyonya Song terkekeh.“Maaf. Aku tidak bermaksud mendesak kalian,” celotehnya kemudian. “Aku hanya sangat senang membayangkan akan segera punya cucu. A—”“Eomma!”Chin Hwa terpekik kaget, memotong pepesan kosong sang mama. Dia dapat merasakan daun telinganya memanas karena malu. Dia sungguh tak menyangka kalau mamany
Qeiza tidak enak hati membiarkan Nyonya Song memasak. Mungkin tak masalah bila Nyonya Song ingin menyajikan menu favorit anaknya. Akan tetapi, Nyonya Song juga harus memasak untuk dirinya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Di mana letak sopan santunnya sebagai seorang gadis muda?Nyonya Song balik badan dan kembali menggenggam hangat tangan Qeiza yang sudah berhasil menyusulnya.“Tidak apa-apa,” tukasnya. “Aku sedang bersemangat dan aku senang melakukan ini. Kau harus mencoba masakanku.”Chin Hwa juga sudah berdiri di samping Qeiza. “Sudahlah. Biarkan saja eomma melakukan apa yang diinginkannya. Eomma tidak pernah bisa dihentikan.”“Kalau begitu, biarkan aku membantu!”Qeiza tidak kehilangan akal untuk menyelamatkan harga dirinya. Bagi Qeiza, merupakan hal yang sangat memalukan bila seorang gadis memilih duduk santai dan bermalas-malasan sementara orang tua bermandi peluh menyiapkan segala kebutuhannya. Bukankah agama mengajarkan anak muda untuk menghormati dan melayani orang yang
Tak ada yang abadi. Semua bisa berubah seiring berjalannya waktu.***Setelah pertemuan Qeiza dengan kedua orang tua Chin Hwa, dia semakin jauh tersedot ke dalam labirin kebohongan dan semakin sulit untuk menemukan jalan keluar. Dia pikir melarikan diri ke apartemen bosnya itu akan menghentikan kekacauan pikirannya akibat ulah Ansel.Faktanya, melarikan diri tidak pernah benar-benar bisa menyelesaikan masalah. Sebaliknya, hal itu hanya seperti menumpuk debu di bawah karpet. Semakin lama kian menebal dan dapat menimbulkan penyakit. Begitulah yang dialami Qeiza kini.Berulang kali Qeiza menarik napas dalam dan membuangnya dengan kasar. Tubuhnya bersandar lesu pada punggung kursi. Pensil yang biasanya menari lincah di atas permukaan datar kertas desainnya, sedari tadi hanya sibuk mengentak tepi meja tanpa gairah.Qeiza menyesali kecerobohannya dalam mengambil keputusan. Kalau saja dia tidak melarikan diri ke apartemen Chin Hwa, dia tidak akan bertemu dengan Nyonya Song dan terjebak dalam
Qeiza mengamati ekspresi serius roman muka Chin Hwa. Lelaki itu sepertinya memang tidak main-main dengan niat hatinya. Kali ini tatapan Chin Hwa terlihat berbeda dari biasanya. Apa Chin Hwa benar-benar menyukainya? Hati Qeiza bertanya-tanya. Namun, dia tidak berani menarik kesimpulan. Salah-salah dia dianggap terlalu percaya diri dan memandang tinggi dirinya sendiri.“Akan kupikirkan.”Akhirnya Qeiza meminta waktu untuk mempertimbangan keinginan Chin Hwa. Mungkin tidak ada salahnya dia mencoba. Chin Hwa bukan lelaki dengan catatan hitam tentang hubungan dengan lawan jenis. Belum pernah dia mendengar Chin Hwa punya kekasih ketika kuliah dulu. Entah setelah mereka tak lagi bertemu.Setelah mengingat-ingat benda yang dipajang Chin Hwa di atas meja kerjanya, setahu Qeiza juga tidak satu pun terdapat foto Chin Hwa bersama seorang wanita.“Oke. Aku tunggu keputusanmu besok siang.”Chin Hwa merasa masih memiliki harapan untuk mewujudkan impiannya. Dia sungguh-sungguh telah jatuh hati pada Qei
Perasaan cinta mungkin memang tidak bisa hilang dalam sekejap mata, tetapi logika tak boleh kalah oleh rasa.***Qeiza masih mematung di tempat duduknya. Tak dipungkiri debar-debar halus membuat jantungnya bekerja memompa darah lebih cepat. Jari-jarinya bahkan mengalami tremor ringan. Untuk menyembunyikan semua itu dari penglihatan Ansel dan Chin Hwa, Qeiza bergegas bangkit dari singgasananya sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku blazer.Ansel menengadah tanpa mengubah posisi berlututnya. Bibirnya sedikit tertarik ke atas, membentuk senyuman tipis. Netra cokelat gelapnya, yang nyaris menyerupai hitam, menatap hangat pada Qeiza dan terang-terangan mengumbar harap di sana.Qeiza dapat merasakan kedua lututnya mulai goyah. Untuk pertama kalinya dia bisa menatap lekat wajah Ansel sedekat dan selama itu. Alis mata Ansel sangat lebat dan pekat. Menggambarkan ketegasan dan kekuatan. Wajahnya berbentuk oval dengan garis rahang yang sangat kokoh. Menampilkan aura yang sangat berkari
Mata Ansel membulat sempurna karena geram. Dia benar-benar merasa terhina. Baru kali ini ada gadis yang menganggap sentuhannya seperti najis. Kehadirannya sama sekali tidak dihargai, padahal sejatinya dia adalah tamu di perusahaan Chin Hwa. Tamu tak diundang. Mendadak Ansel merasa sangat kerdil.“Jadi, ke mana sekarang?” tanya Chin Hwa setelah meninggalkan pelataran parkir kantornya.Dia tidak mengerti mengapa Qeiza bersikap begitu antipati kepada Ansel. Bahkan, sejak pertama kali mereka bertemu. Ada rahasia apa di antara mereka?“Ke mana saja, yang penting bisa jauh dari Ansel,” jawab Qeiza. “Mood-ku selalu buruk setiap kali bertemu dengannya. Dia benar-benar menempatkanku dalam situasi sulit.”“Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian,” komentar Chin Hwa. “Tapi … apa itu tidak terlalu berlebihan?”“Maksud, Oppa? Aku telah bersikap terlalu kejam, begitu?”“Enggak juga sih.”“Tapi, kata-kata Oppa seolah-olah menganggapku seperti itu.”Chin Hwa terdiam sejenak. Dia tahu suasana
Tak ada yang benar-benar mampu menyembunyikan sebuah kebohongan.***“Sial! Aku kehilangan jejak!”Ansel mengumpat kesal dan membanting punggungnya ke sandaran kursi putarnya. Kedua tangan bersatu membentuk tinju penuh geram.Kalau saja tidak terjadi kecelakaan fatal di depan matanya, dia pasti sudah berhasil menyusul Qeiza. Untung saja rem mobilnya sangat pakem sehingga tidak terjadi kecelakaan beruntun.“Ck, ck, ck! Pagi-pagi menghilang dari kantor, pulang-pulang seperti jenderal kalah perang,” cemooh Xander, mengenyakkan pantat di atas sofa.Dari meja kerjanya, dia dapat melihat dengan sangat jelas ketika Ansel melintas di depan ruangannya dengan wajah merah padam. Makanya dia buru-buru membuntuti Ansel.“Ada apa?” tanyanya. “Buruanmu kabur lagi?”Ansel menatap tajam pada Xander. Netra gelapnya semakin kelam. Seberkas kilatan putih pada iris matanya seperti kilau samurai yang siap mencincang tubuh Xander.“Kau pikir itu lucu?!”“Astaga! Aku hanya bertanya,” ujar Xander. “Kau makin s