Juna mendudukkan pantatnya di sofa, melihat udara yang mencekam membuatnya kian bertanya-tanya. "Kenapa ini? Kok pada serius?"
"Lo mengganggu sidak besar Keluarga Taharja, Juna." Karen membalas sengit, yang diangguki mantap oleh Tirta.
Papa tersenyum kecut pada Juna yang masih bingung. "Udah, udah, nggak papa. Gimana kalau sekarang kita lanjut aja? Itung-itung Juna bisa jadi saksi bisu."
"Begitukah?" Karen melonjak semangat. Tak sabar melihat hukuman seberat apa yang akan menimpa Tirta, melupakan bahwa sebenarnya tindakannya lebih bejat daripada Sang keponakan.
"Diam kau pembunuh." Tirta berdiri, mengambil lagi lembaran yang ditulis oleh Karen.
Mendengar Tirta menyebut Om-nya sebagai pembunuh, Juna semakin dibuat penasaran tentang apa yang terjadi di rumah ini. Pemuda itu mengerutkan dahi sambil memasang telinga lebar-lebar.
Suatu hari, Rendra pernah dibuat bingung setengah mati. Duduk tak kuasa, makan tak dapat tertelan, rasa-rasanya bernapas saja sudah merupakan dosa. Hari itu adalah hari di mana Tiffany melahirkan. Rendra dan Tiffany adalah kakek-neneknya Juna kalau perlu diingatkan.Saat itu, Rendra bahkan merecoki setiap suster yang lalu-lalang di depan ruang bersalin. Hanya untuk sekadar menanyakan, apakah buah hatinya sudah lahir atau belum, kemudian kira-kira berapa lama lagi. Sampai-sampai semua orang muak. Kendati demikian, para suster sama sekali tak keberatan sebab disuguhkan wajah tampan seorang Narendra Gautama.Pada akhirnya, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu sambil dilalap keresahan. Dan seperti kata pepatah, tak ada penantian yang sia-sia. Pukul sembilan malam kurang beberapa menit, anaknya telah lahir.Lelaki itu memandang Tiffany penuh perhatian dan cinta. Berterima kasih paling banyak dan serius karena t
Kalau ditanya hal apa yang paling menyenangkan di dunia ini versinya, jawaban Tara adalah; tidur, makan, permen dan Juna. Dulu waktu SMA dia tak separah ini, namun sepertinya virus dari sahabat jauhnya—Fina—berhasil menulari Tara. Setiap orang-orang rumah mencemooh kebiasaan tidurnya, jawaban Tara sungguh mampu membungkam mulut siapa saja."Tidur adalah hal yang paling penting untuk kehidupan manusia. Manusia butuh tidur yang lama buat memulihkan, meremajakan, dan memulihkan otot juga memperbaiki jaringan. Yang paling penting! Tidur juga dapat membantu mensintesis hormon, Papa."Hanya dengan begitu saja, Taharja akan segera keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur lagi. Lelaki itu tak mau Tara membahas hal itu jauh lebih panjang seperti yang biasa terjadi pada Tirta maupun Karen.Seperti waktu itu ...."Tara bangun!" Tirta menarik-narik selimut tebal yang membungkus tubuh
"Berita utama, hari ini, tepatnya 21 Oktober 2004 telah terjadi kecelakaan beruntun di Ibukota. Total, enam belas orang meninggal dunia dan perkiraan kerugian mencapai 2,3 miliar. Kami akan menghubungkan ...."Seorang gadis kecil dengan gaun renda-renda berwarna merah muda dan jepitan stroberi kecil di rambut hanya bisa menata siaran berita di televisi. Sementara kedua orang tuanya sibuk berdebat yang sama sekali tak ia mengerti."Kak Tirta, aku mau ini." Tara kecil menunjuk hidangan yang dipesan oleh orang tua mereka, namun didiamkan begitu saja.Tirta mengangguk, sebab adiknya terlalu kecil untuk bisa menggapai makanan itu. Wajah bocah kurus kerontang itu jelas-jelas lesu, tapi Tara tak bisa mengartikan hal itu."Tirta sama Tara ikut aku." Mama berkata, sontak Tirta menatap Sang Mama nanar. Begitupun Taharja, tak habis pikir."Kamu kan udah hamil l
Satu hari yang menyedihkan berhasil terlewatkan begitu saja, tak ada doa-doa apa lagi sambutan arwah seperti yang orang-orang pada umumnya lakukan.Lalu pagi kembali berjalan seperti biasa, semua orang kembali ke rumah Keluarga Taharja.Pagi-pagi buta, suara mobil seseorang terparkir di halaman rumah. Papa yakin, itu adalah Renjuna. Lelaki paruh baya itu kembali meneruskan acara memasak dan membiarkan siapa saja menyambut Juna.Namun, tak lama suara kendaraan roda dua yang juga sangat dikenali oleh Papa terdengar berhenti di halaman. Dan itu sudah jelas seorang Jeno.Kadangkala Papa merasa, anaknya sangat beruntung memiliki kekasih juga sahabat seperti Juna dan Jeno. Tak perlulah lelaki khawatir, sebab jelas kalau Juna maupun Jeno sangat menyayangi Tara.Namun, pada lubuk hatinya yang terdalam, Papa tetap saja khawatir. Sebab dari tatapan mata saja Papa su
Semua orang memasuki rumah ketika Papa akhirnya mengomel panjang— sepanjang jembatan Suramadu dan akhirnya berkacak pinggang seperti memarahi sekumpulan bocah berumur 5 tahun.Juna ragu memasuki rumah sebab jelas bajunya basah kuyup dari atas sampai bawah, pemuda itu berdiam di daun pintu, sangsi.Tak lama, Papa yang melihat itu pun segera berucap, "Juna masuk ke kamar mandi aja, Papa ambilkan handuk sama baju ganti punya Abang Tirta."Juna mau tidak mau mengangguk pasrah. Namun tak lama, suara lantang Tirta terdengar. "Kenapa baju aku sih, Pa?!""Emang kenapa sih?" Papa mengerutkan dahi, bertanya. "Ya nggak bisa dong! Bajunya Om Karen kek! Pokoknya jangan punya aku, nggak sudi.""Eh! Emangnya siapa yang sudi pake baju elo?" Juna menyergah tak kalah lantang."Bagus kalo gak mau." Tirta bersendekap dada.&
Dulu, waktu Tara kecil, dia ingat pernah masuk rumah sakit gara-gara terlalu banyak makan kertas dan berakhir muntah-muntah. Waktu itu dia masih kelas satu SD. Tara tak pernah lupa betapa menyeramkan bayangannya tentang rumah sakit dan dokter waktu itu, rasanya semuanya menakutkan karena orang-orang terlihat besar dan tinggi tapi tidak ramah ataupun cantik seperti Papa dan Mama. Tapi ada satu dokter yang sangat tampan dan baik, akhirnya dia mau dirawat oleh dokter itu.Tara tidak benci rumah sakit, cuma muak saja. Sejak kecelakaan besar itu, dia dirawat selama beberapa bulan di rumah sakit karena tulang retak. Beberapa tahun setelah itu, dia juga harus rajin cek ke rumah sakit perkara kesehatan mentalnya yang lemah. Kemudian lama dia tak pernah kemari lagi sejak mulai memasuki kuliah.Namun sore ini, dia kembali membuka mata dan menyapa udara rumah sakit yang pengap dan berbau obat-obatan pekat. Seingatnya hal terakhir yang dilak
"Hari ini kamu kesini, kan?" Juna memandang ujung-ujung kakinya yang menggantung di udara saat ia duduk di sisi ranjang. Di luar, hujan rintik-rintik mulai membasahi pekarangan, turun di celah-celah jendela dengan tak beraturan."Hujan, males, ah." Tara berujar di seberang sana, disusul sebuah hela malas yang terdengar menyakitkan di telinga Juna."Ya udah, aku yang kesana.""Kamu nggak capek? Beneran nggak ada capek-capeknya ya. Liburan tuh istirahat aja di rumah, aku juga capek lho kuliah. Banyak tugas, mana bentar lagi skripsian.""Aku nggak capek. Justru yang bikin capek tuh kangen sama kamu." jawab pemuda itu sembari beranjak dari kasur, memandang keluar dengan tubuh terbalut bathrobe abu— jelas memperlihatkan bahwa lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan bukti nyata rambut yang basah."Tapi kamu tiap hari anterin aku, jemput a
Mobil Juna berhenti di halaman rumah minimalis miliknya, Tara praktis melipat dahi saat melihat ada mobil lain yang tak ia ketahui pemiliknya (jelas bukan punya Juna) terparkir di garasi pemuda itu."Siapa yang dateng? Temen kamu?" Tara bertanya sembari menoleh ke samping, hanya untuk mendapatkan Juna yang tengah membuka sabuk pengaman."Eyang." jawab pemuda itu dengan santainya."Apa?!" Tara memekik tertahan. "Bisa-bisanya kamu nggak bilang dari tadi!"Dengan wajah tanpa dosa Juna mengedikkan bahu tak peduli. "Emangnya penting?""Ya penting lah, Juna! Masa aku ketemu nenek kamu kayak gini?" Tara merasa minder karena hanya memakai kaos polos putih dan celana jeans pendek di atas lutut dan bahkan sama sekali tak memakai make up."Apanya yang kayak gini? Kamu cantik kok." Juna meyakinkan.Bukannya tersipu