“Jadi, apa yang mau kamu ceritakan?” tanya Nabila—pengacara sekaligus sahabat Ayana.
Bukannya menjawab pertanyaan Nabila, Ayana malah duduk sambil menggigit ujung kuku jempolnya. Dia melamun saat baru saja sampai di kantor Nabila.
Nabila pun mengerutkan alis melihat Ayana yang malah melamun, bahkan sampai melambaikan tangan di depan sahabatnya itu, tapi tetap saja Ayana tidak tersadar dari lamunan.
“Ay!” Nabila memanggil dengan suara keras, bahkan sampai memukul meja.
Ayana berjengit karena terkejut, hingga menatap Nabila yang sudah memandangnya.
“Hah! Apa?” tanya Ayana yang baru kembali dari lamunan.
Nabila langsung mencebik mendengar pertanyaan Ayana.
“Kamu ke sini untuk cerita masalahmu, atau ke sini hanya untuk numpang melamun,” sindir Nabila sambil merapikan blazer.
Ayana tersenyum canggung, kemudian menggaruk pelipis menggunaka telunjuk.
“Entahlah, aku harus cerita apa. Sesampainya di sini aku malah bingung,” ucap Ayana yang duduk sambil menyandarkan punggung. Ekspresi wajah menunjukkan jika dia benar-benar memiliki banyak beban pikiran.
Nabila menghela napas kasar sambil menatap Ayana.
“Ceritakan soal pemuda itu. Siapa namanya?” tanya Nabila yang tidak ingat nama suami sahabatnya itu.
“Deon,” jawab Ayana.
“Ya. Deon. Ceritakan, bagaimana bisa kamu menikah dengannya. Lalu sekarang ingin membuat perjanjian kontrak pernikahan. Apa orang tuamu tahu?” tanya Nabila penasaran.
Ayana menghela napas kasar, bahkan kedua pundak terlihat naik saat dia menarik napas panjang.
“Mereka tidak tahu. Entahlah, aku juga sebenarnya bingung kenapa bisa berakhir seperti ini.” Ayana menyugar rambut ke belakang.
Nabila melipat kedua tangan di depan dada, memandang sahabatnya yang sedang frustasi.
“Biar aku yang mengambil kesimpulan jika kamu bingung menceritakannya. Kamu memergoki si brengsek itu selingkuh dengan sekretaris plastiknya itu, lalu karena tidak mau pernikahan dibatalkan, kamu menyewa pemuda itu untuk menikahimu. Lalu sekarang kamu mau buat surat perjanjian kontrak, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, begitu?”
Nabila mengambil kesimpulan sendiri sebab Ayana berbelit-belit dan terlalu banyak mengeluh, membuatnya tidak sabar.
“Tidak begitu,” tolak Ayana.
Nabila melongo mendengar balasan Ayana.
“Kalau tidak begitu, lalu bagaimana? Cerita dong, biar aku tidak salah paham juga,” ujar Nabila dengan sedikit paksaan.
Ayana menghela napas frustasi, kemudian menceritakan kesalahpahaman yang terjadi, hingga membuatnya berakhir menikah dengan Deon.
“Bagaimana bisa orang tuamu sampai menuduhmu seperti itu? Padahal jelas-jelas dari ceritamu saja sudah terlihat, kalau itu tidak sengaja. Lagian kalian juga tidak saling kenal,” ucap Nabila keheranan, setelah mendengar cerita Ayana.
“Ya, karena itu, Na. Aku merasa bersalah kepadanya, aku membuat surat perjanjian kontrak ini, untuk tetap bisa memberikan hak juga privasinya, memberi batasan agar dia pun tidak merasa tertekan selama tinggal bersamaku,” ujar Ayana menjelaskan.
Nabila menatap Ayana dengan rasa iba. Teman seangkatan mereka memang hampir semuanya sudah memiliki pasangan, bahkan sudah memiliki anak, hanya Ayana yang selalu gagal dalam menjalin hubungan.
“Dia mau menikah denganku karena kasihan melihatku yang malu jika pernikahan itu batal. Aku pun tidak bisa jika nantinya mengganggu kehidupan pribadinya. Aku dan dia juga sepakat akan berpisah sesuai dengan jangka waktu yang kami sepakati,” ujar Ayana menjelaskan ke sahabatnya itu.
Nabila mengangguk-angguk mendengar ucapan Ayana. Hingga akhirnya dia membuka file di laptop, lantas mengetik surat perjanjian yang dibutuhkan Ayana.
“Aku kira kamu benar-benar menemukan pria baik yang tidak memanfaatkanmu setelah mengakhiri hubungan dengan Rey brengsek itu. Tapi ternyata semua hanya sandiwara,” ucap Nabila penuh kecewa. Dia pun kasihan dengan Ayana yang selalu tersakiti.
“Ya, mau bagaimana lagi,” balas Ayana pasrah.
Nabila masih memainkan jari di atas keyboard, lantas melirik Ayana yang terlihat pasrah.
“Jadi isi perjanjiannya sesuai dengan yang kamu kirim ke aku semalam?” tanya Nabila memastikan.
“Ya,” jawab Ayana, “Na, tolong rahasiakan masalah ini dari siapapun,” pinta Ayana kemudian.
Nabila menatap Ayana, hingga kemudian menganggukkan kepala.
“Tenang saja, kamu tahu betul bagaimana aku, Ay. Apa aku tega menyebar rahasiamu, bukankah sejak kuliah, aku selalu menyimpan rapat rahasiamu, termasuk ….” Nabila menjeda ucapannya, lantas melirik Ayana sambil melipat rapat bibirnya.
Ayana langsung menatap ke Nabila mendengar ucapan sahabatnya itu.
“Jangan mengingatkanku tentang itu sekarang, Na.” Ekspresi wajah Ayana berubah ketika mendengar kalimat terpotong yang dilontarkan Nabila.
“Iya, maaf. Aku tidak sengaja.”
Nabila berhenti bicara, lantas memilih segera melanjutkan pekerjaannya.
Ayana menggigit bibir bawah, mendengar ucapan Nabila membuatnya mengingat kejadian lampau, kejadian yang membuat nasibnya seperti sekarang, kejadian yang ditutup rapat dan hanya Nabila juga keluarganya yang tahu.
**
Deon pergi ke kampus meski sedikit terlambat. Dia buru-buru masuk ruang perkuliahan sesaat sebelum dosen masuk.
“Untuk kelasnya belum dimulai,” ucap seorang gadis yang duduk di sebelah Deon. “Kenapa kamu terlambat?” tanya gadis bernama Hyuna, gadis yang tadi menghubungi Deon.
Deon menoleh Hyuna sambil tersenyum, lantas menjawab, “Aku membersihkan kamarku.”
Hyuna mengangguk-angguk, tidak bertanya lebih lanjut soal kamar yang dibersihkan. Dia menatap Deon yang sedang mengeluarkan buku dari tas.
“Oh ya, bagaimana pekerjaan kemarin? Bayarannya lumayan, kan?” tanya Hyuna.
Hotel itu milik keluarga Hyuna, Deon kerja paruh waktu sebagai pelayan di acara pernikahan itu atas rekomendasi Hyuna.
Deon langsung menatap Hyuna dengan ekspresi panik. Tentunya dia belum memberitahu gadis itu soal status pelayan yang berubah jadi pengantin.
“Tadi pagi aku dengar dari Papa kalau pengantin prianya diganti karena ketahuan selingkuh, apa itu benar?” Hyuna terus memberondong pertanyaan ke Deon.
Deon semakin panik dan bingung menjawab, padahal dia bermaksud menyembunyikan masalah itu sambil menunggu waktu yang tepat.
“Itu ….” Deon bingung menjawab pertanyaan Hyuna.
“Apa?” Hyuna penasaran karena Deon tidak kunjung menjawab. “De, kenapa ekspresi wajahmu seperti itu?”
“De, kenapa kamu diam?” Hyuna menatap Deon curiga, merasa aneh karena pemuda itu terlihat panik dan gugup. “Tidak ada,” kilah Deon, “hanya terkejut saja kamu sudah tahu soal masalah di pesta pernikahan kemarin,” ucap Deon mengelak. Dia belum siap memberitahu gadis itu jika yang menggantikan pengantin pria di pesta kemarin adalah dirinya. Hyuna menatap curiga ke Deon, ingin kembali bicara, tapi karena dosen mereka sudah masuk terlebih dahulu, membuat Hyuna memilih menundanya karena harus fokus belajar. Dua jam berlalu, akhirnya sesi kelas siang itu selesai. Dosen mengakhiri kelas setelah memberikan tugas untuk mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Deon merapikan buku, lantas memasukkan ke tas. “De, kamu belum menceritakan yang terjadi di hotel kemarin,” kata Hyuna. “Mau menceritakan apa, Hyuna? Tidak ada yang bisa diceritakan, selain pekerjaan melayani tamu,” balas Deon. Deon menoleh Hyuna, memandang gadis yang sejak tadi menatapnya. “Aku penasaran soal pengantin yang menyewa ballr
Ayana berdiri di sana, mendengarkan setiap kalimat biasa tapi entah kenapa sangat menyakitkan baginya. Kedua tangan mengepal erat, bahkan kuku-kuku jarinya sampai terlihat begitu pucat. “Pokoknya kamu rahasiakan soal ini, jangan sampai orang lain tahu, kalau kami membayar kalian agar adikmu menikah dengan putriku. Jika sampai masalah ini bocor, aku pastikan kamu menanggung semua akibat yang terjadi.” Firman bicara dengan nada penekanan agar Satria tidak membocorkan masalah itu, atau mau ditaruh mana mukanya. “Anda tenang saja, saya akan menutup rapat mulut saya. Lagi pula, sekarang saya juga keluarga Anda, kan? Mana mungkin menjatuhkan keluarga sendiri,” ucap Satria dengan senyum miring di wajah. Firman terpaksa melakukan ini semua jika bukan karena gengsi yang begitu besar. Bukan salahnya jika terkesan menawarkan anak sendiri, sebab Ayana yang sudah berulang kali gagal menikah dan kejadian kemarin adalah yang terfatal. “Sudah, ambil uangmu dan pergilah!” perintah Firman kemudian.
Deon bekerja di sebuah kafe. Dia akan kerja paruh waktu di tempat lain jika memang mendapat tawaran, seperti saat menjadi pelayan di hotel kemarin.Masih tidak ada yang tahu soal statusnya yang sudah menikah. Jika memang ada yang tahu, dia tidak akan mengelak dari statusnya, hanya akan menutupi jika pernikahan itu hanya sebuah kontrak.“Selamat siang, silakan mau pesan apa?” Deon menyambut pengunjung yang hendak memesan.Seperti biasa, pengunjung kafe itu kebanyakan para gadis yang memang datang untuk melihat wajah tampan pemuda itu. Manis, ramah, juga baik hati, gadis mana yang tidak akan menyukai pemuda itu.“Chocolatte ice, tapi gulanya sedikit,” jawab seorang gadis berpakaian SMA.“Oke.” Deon memainkan jari di atas layar tablet untuk mencetak struk pesanan gadis itu.“Kakak, kamu masih tidak mau memberiku nomor ponselmu?” tanya gadis berseragam SMA itu penuh harap.Deon mengalihkan pandangan dari tablet ke gadis tadi, kemudian tersenyum manis membuat para gadis di kafe itu terpuka
Deon dan Ayana sama-sama menatap ke sumber suara. Melihat seorang gadis berdiri dengan tatapan tidak senang ke Ayana dan Deon.“Hyuna.” Deon menyebut nama gadis itu.Ayana terkejut mendengar nama yang disebut, hingga tatapan langsung beralih ke Deon.“Jadi gadis itu kekasihnya,” gumam Ayana dalam hati.Deon berdiri untuk menghampiri Hyuna, tentu saja hal itu semakin membuat Ayana yakin jika Hyuna memang kekasih Deon.Ayana menoleh ke arah Hyuna, hingga menyadari jik gadis itu terus menatap tidak senang ke arahnya.“Kamu mau minum?” tanya Deon saat sudah berdiri berhadapan dengan Hyuna.Hyuna mengalihkan pandangan dari Ayana ke Deon, masih terlihat jelas ekspresi kesal tercetak di wajah.“Aku ingin bicara denganmu,” ucap Hyuna kesal.Deon mengerutkan alis mendengar ucapan Hyuna, tapi kemudian memilih menganggukkan kepala untuk bicara dengan sahabatnya itu.Ayana sendiri duduk dengan tenang, lantas mengambil cangkir di meja dan menyesap kopi buatan Deon.Hyuna mengajak Deon bicara di lu
Deon pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ayana memberi kunci apartemen agar pemuda itu bisa masuk sewaktu-waktu, sedangkan wanita itu sendiri masuk menggunakan sidik jari. Dia belum menambahkan sidik jari Deon. Saat baru saja masuk, lampu apartemen semuanya padam, hanya lampu depan pintu yang menyala otomatis ketika ada orang lewat dan akan mati saat tidak ada orang. Pemuda itu berjalan ke kamar, hingga melihat ke bawah celah pintu lampu kamar Ayana masih menyala. Dia memilih mengabaikan dan masuk ke kamarnya. Deon terkejut saat melihat kamar sudah terisi ranjang, sofa, lemari, bahkan meja belajar. “Dia benar-benar membelikan semua yang diperlukan,” gumam Deon. Deon memilih masuk dan melihat perabotan yang ada di kamar. Ranjang berukuran sedang, sofa empuk, lemari pintu tiga, juga meja belajar yang tampak nyaman untuk digunakan tempat belajar. Deon membuang napas kasar, lantas duduk di kursi belajarnya. Menggoyangkan ke kanan dan kiri menikmati nyamannya kursi
Ayana menatap tidak senang ke arah pintu. Sekretaris Ayana langsung menunduk dan memilih undur diri dari ruangan itu karena tidak mau jadi penonton di sana.Ayana memalingkan wajah ingin mengabaikan orang yang masuk ke ruangannya tanpa permisi.Rey datang ke perusahaan karena tahu jika Ayana tidak mungkin pergi bulan madu. Dia mendekat ke arah meja Ayana untuk mengajak bicara wanita itu.“Mau apa lagi kamu?” tanya Ayana kini menatap Rey dengan ekspresi wajah datar.“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan, Ay. Kamu memilih membatalkan pernikahan denganku, lantas menikah dengan pria lain? Jangan-jangan kamu memang sudah bersama pria itu lama, sehingga saat pernikahan kita batal, kamu dengan mudah bisa mendapatkan penggantiku.” Rey bicara dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja.Satu sudut bibir Ayana tertarik ke atas mendengar ucapan Rey. Tentu saja dia tidak akan takut atau menyesal bahkan tersentuh Rey mendatanginya.“Kamu masih tidak bercermin, Rey. Semua yang terjad
Deon benar-benar murka. Dia pasrah menikahi Ayana agar keluarganya tidak mendapat masalah, tapi ternyata keputusannya malah dimanfaatkan oleh sang kakak.“Kembalikan semua uang itu!” perintah Deon sambil menengadahkan tangan.Mita bingung dan panik menatap Deon yang marah, sedangkan Satria terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.“Uang sudah dikasih, untuk apa dikembalikan. Lagi pula orang tuanya yang menawari, bukan aku yang minta,” balas Satria yang tidak mau mengembalikan uang pemberian orang tua Ayana.Deon begitu geram mendengar ucapan Satria. Dia mendekat cepat dengan telapak tangan mengepal, bersiap memukul sang kakak yang selalu saja serakah.“De, sudah. Jangan bertengkar dengan kakakmu,” ucap Mita menahan tangan Deon.Telapak tangan Deon masih terkepal erat. Tatapannya penuh rasa malu dan kecewa ke sang kakak yang tidak pernah berubah jika sudah menyangkut soal uang.“Sepertinya menikah adalah pilihan terbaik untukku. Meski kami tidak saling mencintai, tapi setidaknya pern
Deon masuk kamar Ayana, melihat interior kamar yang sangat di luar prediksi. Dia mengira Ayana akan mendesain kamarnya dengan nuansa soft, cat kamar berwarna merah muda atau peace yang sesuai dengan kepribadian Ayana yang feminim. Namun dugaannya salah, kamar Ayana begitu elegan, cat kamar biru gelap, ranjang berukuran besar dengan sprei motif kotak berwarna gelap.“Duduklah di sana,” kata Ayana sambil menunjuk ranjang.Deon terkejut hingga menatap Ayana yang berjalan ke arah pintu lain di kamar itu. Kenapa Ayana mengajaknya masuk kamar dan sekarang menyuruh duduk di ranjang wanita itu.Deon masih berdiri mematung karena bingung harus bagaimana, hingga Ayana keluar dari pintu yang tadi dimasuki, membuat Deon terkejut dan menatap wanita itu.Ayana dan Deon saling tatap. Ayana pun bingung kenapa Deon masih berdiri.Deon melirik ke tangan Ayana, melihat hairdryer di tangan wanita itu.“Kenapa kamu masih berdiri?” tanya Ayana yang berjalan menuju ranjang melewati Deon berdiri.Deon menaha