Siulan Dylan memecah keheningan sepanjang Dylan berjalan menuju Apartemen. Hari ini pekerjaannya tidak membuat Dylan sibuk sehingga Dylan bisa pulang lebih cepat. Hari yang jarang terjadi.
“Ah, tidak biasanya aku pulang ke rumah bersemangat seperti ini. Apa karena pekerjaan hari ini tidak banyak? atau karena kini ada seseorang yang menungguku di rumah?”
Dylan dibuat terkejut bukan main mendapati sosok Atlanta yang hilang kesadaran di depan pintu Apartemennya. Dylan langsung memangku Atlanta dan menepuk-nepuk pipinya berulang kali.
“Atlanta! Atlanta! Bangun! Atlanta sadarlah!”
“Ada apa dengan wajahnya? Kenapa pipinya sangat merah?”
Dylan segera menggendong Atlanta ala bridal style ke dalam ruangan. Dylan langsung membaringkan Atlanta di ranjang. Berniat mengganti hoodie Atlanta yang sudah di basahi oleh keringat, Dylan melepaskan hoodie tersebut dan mendapati banyak luka lebam di tubuh Atlanta.
“Luka seperti ini sudah sangat jelas menunjukkan adanya penganiayaan. Tapi siapa yang berani memukul wanita dingin sepertinya?”
Dylan segera menghubungi Dokter pribadinya untuk datang dan mengobati luka Atlanta. Rasa khawatir, cemas dan panik tengah menghantui Dylan saat ini.
***
Atlanta mengerjap-ngerjapkan matanya dan disambut harum bubur panas. Tubuhnya terasa sakit, bak telah di remukkan. Meski ini bukanlah kali pertama Atlanta mendapati luka seperti ini, tetap saja rasa sakitnya menyiksa Atlanta walau masih bisa ditahan.
Mendapati tubuhnya tak lagi berbalut hoodie, Atlanta menghela napas pelan menyadari bahwa Dylan sudah mengetahui tentang luka ini. Jadi, Atlanta perlu memikirkan alasan yang tepat.
“Kau sudah bangun?” suara bariton yang lembut itu seakan terdengar seperti kata ‘selamat datang kembali di realita’.
Atlanta tidak menjawab dan terus menatap Dylan yang berjalan ke arahnya dengan semangkuk bubur panas, segelas air putih dan segelas susu hangat. Bahkan ketika masih tinggal di panti asuhan saja Atlanta tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini saat sakit.
Dylan meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas, lalu membantu Atlanta duduk bersandar supaya lebih mudah untuk makan dan minum.
“Bagaimana? Masih sakit?”
Bibir Atlanta masih terkunci rapat, tapi tatapannya tak lepas dari gerak-gerik Dylan.
“Dokter sudah memberimu obat. Makanlah terlebih dahulu supaya bisa minum obat.”
Dylan membantu Atlanta minum air putih sebelum di suapi bubur oleh Dylan. Walau Atlanta mengunyah buburnya perlahan, Dylan tetap sabar menyuapi Atlanta hingga habis tak tersisa.
“Apa bibirmu masih sakit? Terlalu sulit untuk makan?”
Dylan meniup pelan luka di sudut bibir Atlanta. Belum mengeluarkan suara, Atlanta hanya menjawabnya dengan anggukan.
Melihat perlakuan hangat Dylan, Atlanta menjadi merasa bersalah saat mengingat kejadian Dylan melamarnya. Orang baik dan kompeten seperti Dylan tidak pantas untuk seorang penipu. Dylan terlalu baik untuk Atlanta.
“Dylan,” panggil Atlanta pelan.
“Iya? Ada apa? Kau membutuhkan apa atau ingin apa? Akan aku kabulkan,” sahut Dylan sigap.
Alih-alih bertanya ‘siapa pelakunya?’ atau ‘apa yang terjadi?’, Atlanta tersentuh dengan tindakan Dylan yang lebih dahulu mementingkan kebutuhan dan keinginan Atlanta.
“Apa ajakanmu Minggu lalu masih berlaku?” tanya Atlanta dengan susah payah. Rasa sakit di bibirnya tidak main-main.
“Ajakan? Memangnya aku mengajakmu pergi kemana?” Dylan terdiam sesaat, berusaha mengingat ‘ajakan’ yang Atlanta maksud.
“Ah, maksudmu lamaran?” koreksi Dylan.
Ahena menganggukkan kepalanya secara perlahan. Membenarkan.
“Tentu saja. Pertanyaan itu akan selalu berlaku sampai kau menerimanya,” balas Dylan mantap.
“Kalau begitu, lamarlah aku sekali lagi,” pinta Atlanta dengan suara parau.
Dylan terperangah, tidak menyangka jika Atlanta akan memberinya kesempatan kedua untuk melmar. “Benarkah?”
Atlanta menjawabnya dengan anggukan pelan.
“Tunggu sebentar.”
Mendapatkan kesempatan emas, Dylan melesat pergi keluar kamar untuk mengambil kotak cincin yang telah ia siapkan. Dylan mengatur napas sebelum masuk ke kamar Atlanta.
Sesampainya di hadapan Atlanta, Dylan berlutut kemudian membuka kotak cincin di hadapan Atlanta yang masih duduk lemas di atas kasur.
“Aku akan mencintaimu sepenuh hati, melindungimu sepenuh kekuatan dan memprioritaskanmu semampuku. Aku akan berusaha menjadi orang yang paling bisa kau andalkan. Nyx Atlanta, maukah kau menikah denganku?”
Kali ini Atlanta menyambutnya dengan senyuman walau bibirnya masih terasa sulit untuk di gerakan. Atlanta merasa jika dirinya saat ini seperti orang yang berada di ujung maut. Mendapat lamaran ketika dalam kondisi terlemah.
Mendapatkan perlakuan lembut Dylan selama beberapa Minggu terakhir membuat hati Atlanta lemah. Atlanta sadar, bahwa yang ia butuhkan selama ini adalah seseorang yang selalu di sampingnya, bukan uang yang selama ini selalu Atlanta kejar.
“Ya. Aku mau. Aku mau menikah denganmu,” jawab Atlanta mantap.
Sebab inilah yang selama ini Atlanta inginkan, memulai kehidupan baru.
***
Pagi ini Atlanta duduk di pinggir ranjang dengan Dylan yang sedang fokus mengobati luka lebam Atlanta mulai dari kepala hingga kaki. Ini adalah pertama kalinya seseorang mengobati luka Atlanta. Biasanya Atlanta harus bersusah payah mengobati lukanya sendiri.
Sepertinya dalam pernikahan ini akan banyak kejadian ‘pertama kali’ dalam hidup Atlanta.
“Boleh aku tanya kenapa kau bisa mendapati luka seperti ini?” tanya Dylan hati-hati. Suaranya berhasil memecah keheningan diantara mereka.
“Oh ini.” Atlanta terdiam sesaat. “Kau tahu bukan ada banyak orang jahat yang tiba-tiba suka menyerang pejalan kaki tanpa sebab? Mungkin aku sedang sial,” dalihnya.
Atlanta beruntung karena posisinya tengah memunggungi Dylan saat menjawab. Jadi, Dylan tidak bisa melihat bagaimana raut wajah Atlanta sekarang.
Dylan menghela napas. “Lain kali akan menemanimu setiap keluar malam jika aku sedang tidak bertugas.”
Atlanta tersenyum miring dan menganggukkan kepala supaya Dylan bisa berhenti untuk khawatir.
“Apa ini pertama kalinya kau mendapatkan perlakuan seperti ini?” tanya Dylan curiga karena mendapati bekas luka lainnya di pundak Atlanta.
“Iya, pertama kali,” dusta Atlanta. Padahal dirinya sudah berkali-kali di siksa saat gagal menjalankan misi yang sebenarnya bukan salah Atlanta sepenuhnya.
Dylan tersenyum dan menutup kembali punggung Atlanta yang sudah di obati. “Sudah selesai. Apa kau perlu ke Dokter? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.”
“Tidak perlu, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah merawatku.” Atlanta memberikan seulas senyuman tulus.
“Oh iya, aku mengundang rekan kerjaku kemari untuk memperkenalkanmu karena kita akan segera menikah. Bagaimana?”
“Kenapa kau selalu terburu-buru?” Atlanta terkekeh. “Aku tidak akan melarang tamumu untuk datang, lagipula ini rumahmu.”
“Rumah ini telah menjadi rumahmu juga. Aku berjanji akan membeli rumah yang jauh lebih besar saat kita memiliki anak nanti,” balas Dylan seraya mengacak-acakkan rambut Atlanta.
“Beristirahatlah, aku akan memanggilmu saat tamu sudah tiba,” pesan Dylan sebelum meninggalkan Atlanta sendirian di kamar.
Setelah pintu tertutup, Atlanta menghela napas.
“Anak? Akankah pernikahan kita bisa bertahan dalam kebohongan sampai hari itu?”
Zunaira dan Orion tersenyum kaku ketika Dylan membukakan pintu untuk mereka. Mereka berdua kompak tersenyum seperti orang bodoh. Satu detik kemudian Zunaira dan Orion kompak berdecih sinis karena Dylan yang muncul, bukan Atlanta. “Aku kira Kakak cantik yang membukakan pintu,” rungut Orion. Setelah Dylan memastikan jika Atlanta belum menyadari tamu mereka telah datang, Dylan menarik Zunaira dan Orion keluar dan menutup pintu dari luar. “Ada apa?” tanya Orion. “Apa sesuatu terjadi?” tambah Zunaira. “Apakah dalam tiga hari ini ada kasus penyerangan di sekitar sini? Radius lima kilo meter.” “Dalam tiga hari ini hanya ada kasus perampokan mini market dan tabrak lari. Tidak ada kasus penyerangan secara fisik,” jawab Zunaira. “Ada apa memangnya?” tanya Orion penasaran. “Atlanta mendapatkan banyak luka lebam tiga hari yang lalu. Jelas-jelas itu luka semacam penyerangan atau penganiayaan. Dia bilang orang asing yang meluLaynya t
“Aku memperingatimu untuk segera membatalkan pernikahan kalian jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi diantara kalian.” Dylan terkekeh. Tidak menganggap peringatan yang Zunaira berikan dengan serius. “Kau cemburu karena aku menikah lebih dahulu dari pada kau?” “Aku serius Dylan!” suara Zunaira naik satu oktaf, merasa kesal karena Dylan tidak mempercayainya. Ting! Begitu pintu lift terbuka, Dylan memegang kedua bahu Zunaira kemudian mendorongnya pelan supaya segera masuk lift. “Aku akan masuk kerja besok. Jangan lupa siapkan apa yang telah aku pinta,” pesan Dylan. “Tapi Dylan, kau harus mempercayaiku. Atlanta bukanlah—” “Sampai jumpa!” Dylan melambaikan tangan setelah menekan tombol pintu lift. Hal yang terakhir Dylan lihat adalah raut wajah kesal Zunaira sebelum pintu lift tertutup dengan sempurna. Dylan menghela napas. Tidak ingin menganggap serius apa yang dikatakan oleh rekan k
Ketika hendak keluar dari Bandara, Atlanta tidak sengaja melihat Dylan dan Zunaira yang sedang berjalan bersama penuh wibawa menggunakan seragam. “Ternyata Dylan adalah pilot sungguhan. Aku juga tidak menyangka jika Zunaira telah menjadi pramugari.” Atlanta tersenyum. “Itu bagus. Setidaknya mereka bukan pembohong sepertiku.” *** Kim Hani adalah seorang ilmuwan sekaligus mata-mata Hilton. Annie meminta bantuan agen Interpol untuk menyelamatkannya dan membantu Kim Hani untuk mendapatan kesempatan hidup baru. Tentu saja agen Interpol menyetujuinya karena Kim Hani akan menjadi jalan mereka untuk menangkap petinggi Hilton. Selagi menunggu tim investigasi menyelidiki kasus kematian Kim Hani, Orion masih duduk lemas karena gagal untuk melindungi informan mereka. Sementara Dylan menarik Zunaira ke tempat sepi untuk berbincang dua mata. “Dari mana kau tahu jika Kim Hani di bunuh?” Dylan mengulangi pertanyaan yang sama. ‘Dimanapun tunanganmu
“Leona, jangan menikah.” “Tenanglah, aku tidak akan berhenti bekerja hanya karena sudah menikah,” balas Atlanta dengan tenang. Tidak terpengaruh sedikitpun dengan larangan yang diberikan. “Kau boleh menikah dengan seseorang yang berlatar sama denganmu, memiliki pekerjaan yang bisa mengertimu. Tapi jangan menikah dengan orang asing.” Atlanta tersenyum miring. “Sejak kapan petinggi Hilton ikut mengatur urusan pribadiku? Ini nomor Boss, kenapa kau bisa menggunakannya Valeria?” “Boss marah besar ketika dia tahu jika kau akan menikah, Leona. Aku di utus olehnya untuk melarangmu. Omong-omong jangan menyalahkan tentang petinggi, kau juga bagian dari petinggi Hilton.” “Leona sudah mati lima tahun yang lalu. Aku menikah sebagai Atlanta, jadi katakan pada Boss untuk tenang saja. Kau akan tahu ada beberapa keuntungan yang bisa kau dapatkan jika memiliki seseorang di sampingmu.” “Berhentilah bicara omong kosong. Uru
Atlanta tidak bisa menahan rasa harunya saat mendengar janji suci yang Dylan janjikan kepadanya dan janjinya kepada Tuhan. Kini giliran Atlanta yang mengucapkan janji suci pernikahan mereka.“I Nyx Atlanta, take you Dylan Jordan to be my husband. I promise to loving and honor you. Ftom this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health. All the day of my life until death do us apart.”“Do you Dylan Jordan take Atlanta to be your wife?”“Yes, I do,” jawab Dylan mantap.Sang pendeta kini beralih kepada Atlanta. “Do you Nyx Atlanta take Dylan Jordan to be your husband?”“Yes, I do.” Dalam hidup Atlanta, ini adalah pertama kalinya Atlanta memutuskan sesuatu tanpa ada keraguan.“Sekarang kalian adalah pasangan menikah. Silahkan melakukan ciuman pernikahan,” ujar sang pendeta mempersilahkan.
“Kau mirip dengan gadis bernama Leona. Hanya saja kau versi dewasanya saat ini.” Tubuh Atlanta membeku. ‘Apakah Samuel salah satu yang tertinggal di masa laluku? Tapi bagaimana bisa dia mengenaliku? Siapakah Samuel sebenarnuya?’ “Leona?” Atlanta berusaha tetap tenang. “Siapa dia? Mantan kekasihmu?” Mendengar kata ‘mantan kekasih’ Samuel terkekeh. “Bukan. Lebih tepatnya dia—” “ATLANTA!” teriakkan Orion memotong pembicaraan Samuel. Orion masuk terburu-buru dengan sekantung obat di tangannya. “Orion sialan,” rutuk Atlanta pelan, sangat pelan. “Bagaimana sakit perutmu? Aku sudah membawakan obatnya.” Orion mengeluarkan obat sakit perut satu persatu. “Kau pergi terlalu lama hingga sakit perutku sudah membaik,” balas Atlanta sinis. Orion menyodorkan sebutir obat kepada Atlanta. “Maafkan aku. Tetap saja kau harus minum obat supaya sembuh dengan baik. Minumlah.” Samuel berdiri, bersiap hendak pergi. “Bolehkah ak
Atlanta dan Dylan sebagai pengantin baru harus membuang jauh-jauh rencana bulan madu mereka. Padahal tiket pesawat menuju Maldives sebagai destinasi liburan mereka. Sayangnya, mereka harus menunda rencana mereka. Koper yang sudah mereka siapkan harus kembali di bongkar karena mereka tidak tahu penundaan hal ini akan sampai kapan. Sejujurnya Atlanta merasa kecewa karena Dylan harus membatalkan penerbangan mereka hari ini. Terlebih lagi secara mendadak. “Kita sudah membatalkan penerbangan? Kalau gitu aku akan kembali membongkar koper dan mengganti baju.” Pagi ini Atlanta sudah siap menggunakan paLayan berpergian. Selama hidupnya Atlanta tidak pernah pergi ke luar negeri karena terlalu sibuk bersembunyi menggunakan identitas aslinya. Jadi wajar saja jika Atlanta merasa bersemangat untuk berpergian bersama Dylan. “Sayang, maafkan aku. Ini adalah keadaan darurat, tidak ada yang bisa menggantikannya selain aku. Aku harus—” “Aku mengerti,” potong Atl
Sudah hari ke tujuh Dylan pergi bekerja. Selama itu pula Dylan hanya mengirimnya pesan singkat sesekali. Tidak ada telpon. Dikarenakan Atlanta masih berada di masa tidak aktif bekerja, rasa bosan telah membunuh Atlanta selama satu minggu ini. Mendengar suara ketukan pintu, Atlanta segera mematikan komputernya dan pergi membukakan pintu untuk tamu yang datang tanpa di undang. “Samuel? Ada apa datang kemari?” Atlanta sedikit terkejut mendapati saudara iparnya lah yang datang. “Boleh aku masuk?” Samuel meminta izin. Meskipun Atlanta sedikit kebingungan, tapi Atlanta tetap membiarkan Samuel masuk dan duduk manis di ruang tamu. “Mau minum apa?” tawar Atlanta. Samuel bergumam kemudian bertanya, “minuman jenis apa yang Kakakku miliki di rumahnya?” Atlanta berdecak pelan dan duduk manis di sofa. “Aku menyesal telah menawarimu. Ini rumah Kakakmu, ambil minummu sendiri jika haus.” “Hari ini aku datang sebagai tamumu, bukan