Arini melihat tingkah Tio sangat aneh. Dia seperti memastikan lokasi aman atau tidak. Apakah Tio mengonsumsi obat terlarang?
Arini tidak banyak bicara, dia hanya bisa memendam kecurigaannya. Mungkin saja Tio meminum obat tertentu dan tak ingin gadis itu ketahui. Arini tiba di tempat duduk terlebih dahulu. Dia menunggu Tio datang menghampirinya.
Wajah Tio memang sedikit pucat, Arini mengkhawatirkan kondisinya. Arini tidak pernah melihat wajah Tio sepucat itu dengan keringat di dahinya.
“Tio,” panggil Arini dengan lembut.
“Apa?” jawab lembut.
“Apa kamu baik-baik saja?” Arini menggenggam jemari Tio, mengusapnya dengan perlahan.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Kamu tidak usah mengkhawatirkan aku.” Tio membelai wajah Arini.
Arini menjadi merasa bersalah, dan kenapa dia bisa
Setelah beberapa hari, Tio akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit. Ayah Arini yang tahu kondisi Tio sakit, lekas mengajak istrinya untuk menjenguk Tio. Mereka membawakan beberapa makanan untuk Tio dan juga putrinya.Jasa Tio pada keluarga Arini benar-benar tidak terhitung. Apalagi saat mereka hendak menjenguk Tio, ternyata mereka melihat rumahnya sedang diperbaiki. Usut punya usut, Tio memperkerjakan tukang untuk memperbaiki rumah Arini.Bapak dan Ibu Arini seketika menangis saat bertemu dengan Tio. Sungguh, bagaimana mereka bisa membalas jasa Tio. Arini pun sama terharunya, Kebaikan Tio melebihi dari sekedar tetangga saja.“Nak Tio, terima kasih. Nak Tio membantu kami sampai membangun rumah pun kamu yang tangani. Bapak janji akan membayar seluruh biayanya walaupun dengan jalan mencicilnya,” ucap Ayah Arini.“Pak Joni tidak usah sungkan
“Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Tio sambil menggenggam jemari Arini. Dia berhenti menyandarkan kepalanya di bahu Arini. Tubuhnya dia tegakkan lalu menatap wajah gadis itu lebih dekat lagi.Hati siapa yang tidak berdebar, ketika ada sosok lelaki tampan yang disukainya menatap dengan tatapan meneduhkan. “Apa?” jawab Arini sambil memegang dadanya. Dia tidak bisa mengendalikan diri, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.Mata mereka saling berpandangan satu sama lain. Sesekali Arini menelan salivanya. Tangannya berkeringat dingin. Tentu saja hal ini pun dirasakan pula oleh Tio. Mereka berdua berpaju dengan detak jantungnya masing-masing.Bagi Tio, memandangi wajah Arini tidak membuatnya bosan. Untuk mengedipkan mata sekali saja pun rasanya sangat sulit. Dia mengagumi wajah ini dengan sangat. Arini, gadis pertama yang menjadi cinta pertama Tio. Tidak pernah
Pertanyaan yang seharusnya tidak pernah terlontarkan dari bibir Arini, kini sudah ke luar begitu saja. Tio bergeming. Apa yang dia ucapkan bisa saja merusak hubungannya saat ini dengan Arini.“Arin, kenapa kamu tanyakan hal seperti itu?” tanya Tio. Genggaman tangannya begitu erat.Arini merasakan kegugupan dari lelaki itu. Bagi Arini, sikap Tio kepada dirinya selalu membuatnya salah paham.“Tio, tolong jawab saja,” desak Arini.“Aku menyukaimu,” jawab Tio. Dia tidak mungkin membohongi perasaannya sendiri. Dia sangat menyukai gadis ini. Namun, apa daya dia tidak bisa mengutarakannya.“lalu?” Arini menginginkan jawaban yang lebih dari itu. Dia ingin tahu apa nasib hubungannya bagaimana.“Rin.” Tio membelai wajah Arini dengan lembut. Suhu tubuhnya lebih panas dari biasanya. T
Keesokan harinya, Arini kembali menjenguk Tio. Orang tua Arini tidak melarangnya, mereka justru meminta Arini untuk terus merawat Tio sampai pulih. Hari ini Arini membawa kue buatan ibunya untuk Tio.Pada saat mengetuk pintu rumahnya, Cintami sedang berada di garasi hendak pergi ke klinik karena sudah berpakaian dinas. Arini menyapa Cintami dengan ramah seperti biasa. ALangkah terkejutnya dia saat melihat ada air mata di sudut mata wanita anggun itu.“Pagi Bu Cintami,” sapa Arini sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.“Arini, sudah berapa kali Mami bilang jangan panggil Ibu. Panggil Mami ya,” ucap Cintami sambil mengusap rambut Arini.“Oh iya, maaf Mi.” Arini menunduk malu. “Mami mau berangkat kerja?” tanyanya sedikit canggung.“Iya, Sayang.” Cintami menaruh tasnya di dalam mobil.&ldqu
“Kita diundang dalam perhelatan resmi festival tersebut dua minggu lagi,” jawab Tio sambil tersenyum puas.“Dua minggu? Paspor saja aku tidak punya,” keluh Arini bersedih.“Tenang saja, nanti aku yang meminta temanku untuk membuatkan paspor dan visa untukmu,” jawab Tio menenangkan hati.“Aaaah,” desah Arini sambil menundukkan kepalanya.“Kenapa?”“Lagi-lagi kamu yang bantu aku. Ah aku bisanya apa coba,” sedih Arini.Tio merangkul Arini dengan erat. Dia tidak suka Arini bersedih seperti ini. Dia mengangkat dagu Arini hingga mereka saling bertatapan, “Kenapa kamu bersedih? Aku kan membantumu ikhlas.”Arini mulai tersenyum simpul, tidak akan lagi bersedih di hadapan lelaki ini. Dia teringat telah membawa kue buatan ibunya lalu mengajak Tio untuk
Tangan Tio mulai menyentuh tengkuk Arini dan tangan satunya menarik pinggang gadis itu dengan erat. Sedangkan kedua tangan Arini berada tepat di dada bidang Tio. Tangan Arini merasa ada sesuatu yang aneh saat tangannya menyentuh dada Tio.Pada saat bibir mereka hamper beradu, ada asisten rumah mengetuk pintu kamar Tio. Seketika Tio dan Arini langsung duduk sambil merapikan pakaian mereka. Asisten tersebut ternyata membawakan makan siang untuk Tio dan Arini.Wajah keduanya sama-sma memerah. Sungguh sangat tidak terduga, mereka hampir saja melakukannya dan hamper ketahuan oleh orang lain. Setelah asisten itu pergi, Arini dan Tio mulai menyantap makanannya bersama. Arini dengan sepenuh hati menyuapi Tio makan.Tio memanfaatkan situasi dengan bersikap sangat manja. Terkadang dia bersandar di bahu Arini, sesekali dia memperlihatkan lesung pipinya. Rasanya seperti meleleh. Wanita mana yang tidak menyukai lelaki t
“Arrrggghh, kenapa aku bodoh seperti itu? Tuhan, mengapa aku ditakdirkan lemah seperti ini?” kesal Tio merusak barang-barang disekitarnya. Dia menarik rambutnya kuat, melemparkan barang-barang miliknya.Tio sangat kesal pada dirinya sendiri. Ada satu hal yang tidak bisa dia katakan pada Arini. Dia tidak mau Arini sedih lebih dari ini. Namun, hal ini mungkin akan membuat Arini dan dirinya semakin menjauh.Di tempat lain,Cintami kembali lagi ke rumahnya karena ada barang yang tertinggal. Di tengah perjalanan, sudut matanya menangkap seorang Wanita yang sedang duduk sambil memeluk kedua lututnya. Cintami akhirnya menoleh, mencari tahu siapa yang sedang duduk di sana.Ternyata gadis itu adalah Arini. Cintami menduga jika Arini seperti itu pasti sedang bertengkar dengan putranya. Sebagai seorang Wanita, dia harus membujuk Arini agar mau tetap bersama anaknya. Dia meminta s
“Tio, tanganmu kenapa?” Arini bergegas menghampiri Tio yang terlihat frustasi.“Arin, kenapa kamu ….” Tio tidak bisa meneruskan kata-katanya.Arini langsung merengkuh lelaki itu. Seberapa besar lelaki itu menolaknya atau bahkan mendorongnya pun dia akan terus merengkuh lelaki ini. Hanya dia yang selalu datang menyelamatkannya. Kini giliran dirinya yang mempertahankan perasaannya.“Jangan usir aku. Aku nggak bisa tanpamu,” pinta Arini lirih.Tio membelalakkan matanya. Angin apa yang membawa gadis ini kembali kepadanya. Arini tidak ingin membicarakan penyakit yang diderita Tio, dia akan tetap menjaga rahasia yang ibunya Tio katakana kepadanya.“Aku juga.” Tio membalas rengkuhan Arini.Sungguh, hal ini tidak terduga baginya. Pada awalnya dia berpikir ki