"Duduk saja dekatku." Rey memegang tangan Nay dan mencoba bangun. Reflek Nay membantu mengangkat bahu Rey. "Kau tidak tahu rasanya menunggu, Nay.""Jangan ajari aku rasanya. Malam saat kau operasi, sendiri di tengah malam, aku menunggu di depan pintu itu Rey. Waktu seakan tidak berjalan. Lama kau tidak keluar. Tiap sebentar aku melirik jam di tanganku hanya untuk menenangkan perasaanku sendiri." Suara Nay bergetar. "Nay ...." Rey mendekap tubuh Nay. Ia membiarkan Nay menangis di bahunya. "Menangislah, Sayang." Mata Rey pun mulai berembun, saling berpelukan, melepaskan semua kerinduan. Di sudut ruangan berdiri Gantari dan Wira. Nay tahu mereka sengaja mendengarkan pembicaraan pribadinya dengan Rey. "Kau harus terbiasa, Gan! Belajarlah padaku," kata Wira yang sengaja diperdengarkan pada Nayara. Nay tahu, mereka sedang cemburu. ***Nay memeriksa gulungan kertas yang didapatnya dari ruang bawah tanah Mahesa. Mengusap pelan dengan kain lembut pada kertas tersebut. Berdebu dan sedikit
"Ajian kawastrawam hanya dimiliki oleh trah keluarga Mardika. Keturunannya semua bisa menguasai ajian tersebut bila mereka mempelajarinya. Di luar trah mereka walaupun belajar tidak akan bisa menguasai. Ada keistimewaan dari trah ini. Satu mata mereka berwarna kehijauan. Biasanya di mata sebelah kanan. Ketika menyaru warna mata ini tidak kelihatan. Kecuali mereka yang masih memiliki keturunan keluarga Mardika. Itupun tidak bisa langsung terlihat. Ada satu mantra untuk membukanya. Sayangnya itu tidak tertulis di sini.""Buntu lagi kan?" Nay beranjak dari duduknya. Meraih cangkir untuk membuat kopi. "Aku harus minum kopi dulu, supaya gak butek."Wira dan Gantari terlihat sedang berdiskusi. Mencoba menarik benang merah dari semua kejadian. Menerka kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi memang ini tidak mudah. Nay selesai membuat secangkir kopi. Dia kembali duduk di lantai tempatnya tadi. Menaruh cangkirnya di dekat lembaran kertas di atas meja laptopnya. Memperhatikan Gantari dan
Nay membuka aliran energi di punggungnya dan menyatukan dengan energi di tangannya. Sebuah bola energi terbentuk mengambang di atas telapak tangan Nay di depan tubuhnya. Bola energi itu perlahan melayang mendekati dinding energi penyegel pintu. Energi dinding tersebut terlihat bergelombang. Tertarik menuju bola energi Nay. Tarikannya sangat kuat membuat lantai bergetar. Krakkk! Dinding energi itu retak. Kepingan-kepingan energinya terserap habis ke bola energi Nay. Tangan Nay cepat menarik bola energi kembali ke tangannya. "Jangan sentuh apapun, biar aku yang membuka." Gantari memperingatkan Nay. Dengan energinya Gantari menarik pintu di lantai kamar itu. "Kau di sini saja, Wira. Berjagalah di mulut pintu ini."Nay masuk menuruni tangga ke bawah membelakangi ruangan. Begitu sampai Nay membalik tubuhnya. Ia kaget. Tubuh Palguna tergeletak di lantai dengan posisi tertelungkup tanpa kepala. Buru-buru Nay mendekat ke lemari buku mantra. Merasakan energi segelnya masih ada. Rasendriya be
"Waktu kematiannya diperkirakan sekitar setengah tujuh malam. Tiga puluh menit sebelum aku melihatmu keluar dari rumah itu.""Jadi?" Nay bersedekap, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Aku akan menanyakan beberapa hal padamu. Kau beruntung CCTV di sekitar lokasi sedang dalam perbaikan. Jadi tidak ada bukti kau datang ke rumah itu. Hanya saja kita sempat bertemu bukan?" tanya Dion nyaris tak berkedip. "Iya. Aku ke rumah itu untuk mengerjakan tugas dari atasan saja. Setelah selesai lalu pulang." "Aku sempat menelepon Pak Guna malam itu dan dia mengangkatnya. Di awal meneleponku dia bilang ada orang masuk ke rumah itu hendak membunuhnya. Tapi setelah aku sampai di rumahnya, alasan menyuruhku datang jadi berbeda. Sepertinya yang mengangkat telepon kedua adalah orang berbeda. Artinya ada orang lain di rumah itu selain Pak Guna. Aku sedang menyelidikinya. Di mana kau saat telepon di rumah itu berbunyi?" tanya Dion lagi. "Pak Dion, pekerjaanku adalah mensurvei rumah atau gedun
Nay memperhatikan setiap tempat yang dilalui mereka. Teryata dunia bawah tidak jauh berbeda dengan dunia atas. Hanya di sini suasananya lebih redup seperti senja. Dari kejauhan terlihat sebuah rumah besar, sangat mirip dengan rumah selaso jatuh kembar yang atap rumahnya terdapat silangan pada ujung atap dan kaki atap. Ada hiasan pada ujung atap yang biasa disebut sulo bayung dan kaki atap disebut sayok layangan. Konon sulo bayung memiliki arti yang mendalam tentang hubungan manusia dan penciptanya. Benar-benar seperti sedang berada di tanah Melayu. Jauh dari bayangan Nay bahwa istana raja akan ada di atas bukit seperti istana raja-raja Eropa. Agnimaya menurunkan Nay di depan istana raja Affandra. Menaiki tangga yang jumlahnya cukup banyak. Begitu sampai di teras depan beberapa makhluk serupa Agnimaya berambut api membuka pintu menuju selasar depan istana tersebut. Nay terkesima melihat ruangan di depannya. Terlihat kecil dari luar tetapi sangat luas di dalam. "Raja ingin menemuimu
Bibir Nay bergetar. Ada penyesalan menggores batinnya. "Maafkan aku, Ayah.""Aku mendapat cerita ini dari makhluk Astramaya yang tidak suka pada Rasendriya. Dia merasa penghuni Astramaya seperti diperbudak dan dimanfaatkan oleh Rasendriya. Tidak semua penghuni di sana menyukainya. Namun, mereka tidak punya daya untuk memberontak. Petinggi Astramaya masih bersekutu dengannya. Rasendriya berjanji untuk membantu mereka merebut kekuasaan dunia bawah.""Aku sudah mengerti sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang menggangu pikiranku sudah mulai terjawab. Aku akan mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Jangan sampai Rasendriya membunuh lagi. Tidak hanya di dunia bawah, di atas pun dia membuat gaduh.""Bila ada yang ingin kau tahu, katakan saja. Aku akan membantu, Nay.""Terima kasih, Tuan Raja.""Agnimaya akan mengantarmu. Selalu waspada dan jaga diri baik-baik. Kami mengandalkanmu, Nay."Nay membungkuk, memberikan salam dan penghormatan pada Raja Affandra. Pertemuan singkat yang mengungkap banyak
Nyi Asrita kembali memunggungi Nay. Tampaknya dia pun sedang mempersiapkan sesuatu. "Aku tidak mau merepotkanmu, Nay." Lagi-lagi Nyi Asrita beralasan. "Alasanmu saja!" Nay mulai tak bisa menahan dirinya. "Akhirnya kita bertemu Rasendriya!" Nay menghantam tubuh Nyi Asrita dengan energi penuh."Hanya itu Nayara?" Tubuh Nyi Asrita tidak terdorong sedikit pun. "Mau mencoba lagi?" Dia menantang Nay. "Sombongnya kau!" Sekali lagi Nay menghujamkan serangan, dia tetap bergeming.Wira dan Gantari hanya bersiaga di belakang Nay. Belum ada perintah dari Nay untuk mereka bertindak. "Sekarang giliranku boleh?" Rasendriya bertanya dengan nada mengejek."Coba saja kalau bisa!" Nay mengaktifkan energi selubung dirinya. Dia sudah membuka energi untuk menyerap kekuatan lawan. Terlihat Rasendriya menarik tusuk konde dari kepala Nyi Asrita yang rambutnya digelung ukel. Nay tahu kekuatan dari tusuk konde itu tidak bisa dianggap enteng. Senjata pamungkas Nyi Asrita adalah benda tersebut. Nay dengan
Rencananya malam ini Nay ingin menginap di panti saja. Namun, kamar-kamar di panti sudah terisi penuh oleh anak-anak yang terus bertambah setiap bulannya. Ruang tambahan di samping panti juga belum selesai dikerjakan. Bahkan beberapa di antara mereka harus tidur dengan kasur lipat yang dibentangkan di lantai. “Nay, pulang saja ya, Bu. Kalau ada apa-apa langsung telepon. Nay akan terus aktifkan HP. Nay pamit ya, Bu.” Nay mencium tangan Bu Mien dan mencium kedua pipinya. “Hati-hati di jalan, Nay,” pesan bu Mien. “Iya, Bu," sahut Nay tersenyum.Nay meninggalkan panti hampir jam sepuluh malam. Dengan motor hitam kesayangan yang selalu setia menemani. Kali ini ia memilih untuk lewat jalan kecil di perkampungan warga. Sudah sering Nay melewati tempat itu. Beberapa orang yang tinggal di situ juga mengenalnya. Apalagi yang sering kumpul main gaple di warung kopi dekat komplek. Rem motor Nay berdecit. Dia menginjaknya terlalu kuat. Seorang anak kecil tiba-tiba muncul dan membentangkan tang