Seprai bernoda darah saat di malam pertamanya, kini sudah memudar tidak terlihat lagi. Bahkan sekarang sudah kering setelah dicuci. Rissa memandangi seprai itu dengan pandangan nanar, entah kenapa melihat kain berwarna putih yang kini masih menggantung berjemur membuat hatinya terasa sakit.
Bayangan suaminya memenuhi kepalanya, mana mungkin Kang Alvin berbuat yang tidak senonoh di belakangnya. Bahkan di malam pertama mereka dia sudah lebih dulu menyakiti hatinya. Wanita itu menggeleng pelan berusaha menjauhkan pemikiran yang seharusnya tidak dipikirkan.
"Mana mungkin Kang Alvin sejahat itu." Dia menyeka air matanya yang membasahi permukaan wajahnya.
Dikarenakan tidak ada bukti yang meyakinkan hatinya jika Kang Alvin berselingkuh dengan pembantunya sendiri. Untuk saat ini dia mencoba untuk berpikir positif selama dirinya mencari bukti mengenai perselingkuhan mereka.
Mengingat perlakuan manis dari Kang Alvin membuatnya tidak mempercayai jika suaminya mengkhianati dirinya. Meski rasanya sangat sakit menerima faktanya, tapi kenyataannya dibenarkan jika suaminya ada main dengan asisten rumah tangganya.
"Nyonya ...," panggil Bi Ratih yang tiba-tiba datang memergoki Rissa.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Rissa ketus.
"Saya mau ambil jemuran, Nyonya." Janda muda itu menyambar seprai yang dibenci oleh Rissa.
"Buang seprai itu!" sergah Rissa dengan amarah. Kedua matanya menyilang penuh kebencian terhadap wanita di depannya.
Bi Ratih mengernyitkan dahinya tidak mengerti. "Kenapa, Nyonya? Seprainya masih bagus kok."
"Buang!" Rissa menatapnya dengan tatapan tidak suka. Perempuan itu pun melenggang meninggalkan Bi Ratih yang masih mematung di tempatnya.
***
"Apa Rissa sudah mulai curiga?" tanya Kang Alvin yang sedari tadi tidak fokus mengerjakan pekerjaannya. Meski kedua matanya menatap tajam ke arah layar monitor, tapi pemikirannya melanglang buana entah ke mana.
Kedua ekor matanya melirik ke arah benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dia meraihnya, berniat untuk menghubungi sang istri. Maklum pengantin baru sedang berada di fase manja-manjain pasangan.
Dia mencoba untuk mengetik sesuatu di layar canggih benda berbentuk pipih. Melihat arloji menunjukkan pukul tiga sore berarti istrinya sedang bersantai di rumah.
[Sayang, lagi apa?]
Tidak berselang lama kontak yang diberi nama 'istriku' sedang mengetik. Sudut bibir Kang Alvin tertarik ke atas membentuk senyuman manis.
[Masakin buat kamu]
Pria itu menelan salivanya dengan susah payah. Ternyata istrinya tidak akan menyerah belajar masak dari gurunya di youtube. Sudah mencoba masakannya sehari yang lalu ternyata dia memasukkan banyak sekali penyedap rasa membuat kepalanya terasa pening karena terlalu asin.
[Kenapa enggak sama Bi Ratih aja, Sayang?]
Perempuan di sebrang sana yang semula mengulum senyum, kini bibirnya mengerucut sebal atas ucapan suaminya yang menyebut kembali nama pembantunya. Sudah jelas dia cemburu, kenapa Kang Alvin tidak bisa melihat kecemburuannya?
[Kenapa? Mau dimasakin sama Bi Ratih terus? Kamu istrinya tuh aku atau dia?]
Kang Alvin menghela napasnya pelan, ternyata jemarinya salah mengetik. Seharusnya dia tidak berkata seperti itu, jika saja pria itu berpikir lebih dulu sebelum mengirimkan pesannya, mungkin tidak akan membuat istrinya mengajukan pertanyaan seperti itu.
[Bukannya gitu, Sayang. Aku kepingin kamu diam aja manjain diri sendiri.]
Istrinya kembali mengetik, sepertinya dia memasak sambil memainkan ponsel karena melihat tutorial dari guru onlinenya, youtobe.
[Aku kan kepengin jadi istri yang baik masakin suaminya sendiri.]
Pria itu menghembuskan napasnya pelan, dia tidak bisa mencegah keinginannya. Daripada terjadi perang dunia saat dia pulang nanti, lebih baik mencari aman saja.
[Iya boleh, Sayang. Masakin yang banyak ya, Sayang.]
Kali ini pesannya hanya dilihat saja, dia tidak membalasnya mungkin tengah sibuk menyiapkan masakan untuk nanti. Kang Alvin memutuskan untuk kembali memfokuskan dirinya menatap layar monitor di depannya, dia harus segera pulang karena pasti istrinya sudah menunggu di rumah.
***
Meski tidak begitu lihai memotong sayuran, tapi Rissa dapat menyelesaikan beberapa macam menu masakannya. Dia menghela napas lega karena bisa tepat waktu menyajikan makanan yang kini sudah tersaji di atas meja makan.
"Ini semuanya kamu yang bikin, Riss?" tanya Nina yang sedari tadi menggeleng pelan tidak mempercayai dengan perubahan putri tirinya yang bisa dibilang drastis.
Padahal setahunya Rissa tidak bisa memasak, kalau saja dia ke dapur pasti ada barang pecah karena anak tirinya juga tidak bisa membereskan alat perkakas. Kalau pun dia merapikannya, pasti saja selalu ada barang yang pecah.
"Iya dong, Mah. Ayo dicoba." Rissa mempersilakan ibu tirinya.
Meski awalnya enggan, tapi Nina akhirnya terduduk di sana. Lagipula tidak ada salahnya dia mencoba masakan buatan anak tirinya
"Ke mana Nissa? Dia belum pulang?" tanya Rissa, kepalanya celingukan mencari adik tirinya yang tidak kelihatan batang hidungnya.
"Kayaknya belum pulang deh."
Tidak lama suara Nissa terdengar mengucapkan salam. Bajunya masih mengenakan seragam putih abu, berarti benar dia memang baru pulang.
"Cepetan ganti baju, Dek. Nanti makan bareng di sini," ucap Rissa.
"Nissa makannya nanti aja, Kak."
Dia pun berlalu begitu saja meninggalkan mereka. Rissa dan Nina saling bertatapan secara bergantian. Tidak biasanya gadis itu menjauh dari perkumpulan keluarganya.
Tidak berselang lama Kang Alvin datang dengan wajah sumringah. Rissa cepat menyambutnya dengan menyalami punggung tangan suaminya.
Ekor matanya melirik Bi Ratih yang tengah menggendong Zidan dari jarak jauh. Anak berusia dua tahun itu terus mengoceh bahasa planet sangat menggemaskan.
Begitu Kang Alvin menyadari keberadaan anak laki-laki yang sangat menggemaskan. Dia cepat menghampiri Zidan, lalu meraihnya dari pangkuan Bi Ratih.
"Hallo Zidan, Sayang."
"Sepertinya aku harus segera promil," ucap Rissa lirih.
"Bisa pijitin bahu Kakang enggak, Neng?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang tengah mengoleskan krim malam. Dia terduduk di depan cermin sehingga pantulan paras ayunya terlibat dengan jelas. Rissa tidak memedulikan ucapan suaminya, dia terlalu kesal dengan sikap Kang Alvin pada anak si janda. Jika bisa berteriak sepertinya wanita itu akan bertanya, sebenarnya hubungan kalian apa? Namun, Rissa belum memiliki keberanian untuk menanyakannya. Lebih baik dia merayap perlahan demi mencari bukti-bukti mengenai suaminya. Apakah darah itu bukti perselingkuhannya, atau memang noda nyamuk yang tewas saat terbang. "Neng ... disuruh suami kok enggak nurut?" tanya Kang Alvin, dia mulai beringsut dari petidurannya menghampiri istrinya yang masih terduduk di kursi depan cermin. Wanita itu terus mengoleskan krim malam pada wajahnya, padahal sudah dua kali putaran dia selesai memakainya. Mungkin Rissa melimpahkan kekesalannya pada skincare yang seharusnya cukup untuk sebula
"Kamu harus makan yang banyak, Kang." Rissa terus menambahkan makanan di piring suaminya. Makanan yang tersaji di atas meja masih masakan buatannya. Entah sudah berapa hari Bi Ratih tidak memasak, karena Rissa yang mencegahnya. Dia mengatakan bisa mengolah makanan apa pun tanpa bantuan dari siapa pun, apalagi pembantunya. Kang Alvin mulai mencicipi makanannya, tapi dia cepat minum air putih yang juga sudah disediakan. "Ini kamu yang masak lagi ya, Sayang?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang terus menatap suaminya dengan lekat. Rissa menganggukkan kepalanya pelan. "Iya. Kenapa memang, Kang?""Masakan kamu ada ciri khasnya." Kang Alvin menyunggingkan bibirnya berusaha untuk tetap tersenyum meski sebenarnya dia sudah tidak tahan lagi dengan masakan istrinya yang bisa dibilang berciri khas garam semua. "Iya dong beda sama yang lain. Kamu harus makan yang banyak kalau suka." Rissa kembali menambahkan nasi serta lauk pauknya di piring Kang Alvin. Nina baru keluar dari kamarnya, dia ikut
"Kang ...," panggil Rissa pelan. "Iya, kenapa, Sayang?" Kang Alvin memang menjawabnya, tapi dia tidak mengindahkan pandangannya ke arah sang istri. Kedua matanya masih terfokus pada layar monitor, pria itu tengah mengerjakan pekerjaan kantornya. Istrinya meletakkan secangkir kopi masih mengepul yang kini disimpan di atas nakas. Dia pula membuat teh hangat teruntuk dirinya, tidak lupa menyuguhkan cemilan ringan beberapa macam di hadapan suaminya. "Aku cuman mau tanya aja sih. Pengin tahu gitu. Boleh?" Alisnya terangkat sebelah mencoba untuk memastikan suaminya. Kali ini Kang Alvin menutup laptopnya, dia mengubah posisinya yang samua mengarah ke depan layar monitor kini menghadap istrinya. "Boleh. Kenapa, Sayang? Tanya apa?" tanya Kang Alvin, dia mengelus lembut kepala sang istri yang tertutupi dengan hijab. Betapa beruntungnya Alvin mendapatkan istri sebaik Rissa, meski kekurangannya tidak bisa memasak dan mempunyai kadar kecemburuan di atas rata-rata. "Pertama kali ketemu sama
"Kalian harus segera mempunyai anak, Rissa." Pandangan Nina tidak terlepas mengarah pada album foto yang kini sudah mulai usang. Gambar yang tercetak jelas di sana kenangan bersama almarhum suaminya yang sudah beberapa tahun ini meninggalkannya. Meski pun begitu, Nina tidak menghilangkan statusnya sebagai ibu dari Rissa. Dia menganggap wanita itu sudah seperti anak kandungnya, karena dari kecil dia menjaganya dengan sepenuh hati. Maka, tidak aneh lagi jika ada seorang ibu tiri yang menyayangi anak dari istri pertama suaminya. "Iya, Mah. Hari ini aku mau coba bicara sama Kang Alvin.""Nah iya. Alvin suka sama anak kecil, kalau kalian punya anak kan jadinya dia enggak terus dekat sama anak orang lain." Nina membalik lembar album yang lain, di sana ada gambar seorang anak perempuan yang tengah merangkak. Terlihat dari wajahnya tampak sumringah, mungkin karena dibuat senang oleh ayahnya yang berada di balik kamera. Sudut bibir Rissa tertarik ke atas membentuk senyuman, dia tahu siapa o
Nissa memuntahkan segala makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya, Nina sangat khawatir saat melihat putrinya bolak-balik ke kamar mandi bahkan dengan wajah yang begitu pucat pasi. "Kamu kenapa sih, Sayang?" tanya Nina mengelus puncak kepala gadis itu dengan lembut. Jawabannya hanya dengan gelengan pelan. Seingat ibunya Nissa memang memiliki penyakit lambung, dia selalu saja kambuh setiap kali telat makan. Mungkin saja kali ini juga seperti itu karena akhir-akhir ini putrinya tidak nafsu makan, dia seringkali mengakhirkannya. "Kamu enggak enak badan ya?" tanya ibunya, sambil mengurut punggung putrinya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu mendudukkan dirinya di sofa sambil memijat pelipisnya yang terasa pening. Bulir bening yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini luruh begitu saja membasahi permukaannya. "Kamu pusing, Sayang?" tanya Nina, dia cepat membawa minyak kayu putih lalu dibalurkan pada leher putrinya. "Mau muntah lagi?" Nina begitu telaten mempertanyakan k
"Aku hamil?" Nissa mengulang pertanyaan itu dengan nada ragu. Tangannya gemetar memegang benda test kehamilan yang menunjukkan dua garis merah. Kehidupannya seolah berjungkir balik meniadakan masa depan. Perjuangannya masih panjang, dia belum mencapai keinginannya. Namun, apa yang terjadi sekarang? Dia tengah berbadan dua saat dirinya masih terduduk di bangku SMA. Apa yang akan terjadi jika saja Nina dan Rissa mengetahui perihal kehamilannya? Mereka pasti akan kecewa karena Nissa satu-satunya harapan keluarga. Gadis itu terus memukuli perutnya yang masih rata, dalam rahimnya kini terdapat darah dagingnya yang menggumpal akan tumbuh berkembang menjadi seorang malaikat kecil. Kebanyakan pasangan menunggu kehadiran bayi mungil dalam bahtera rumah tangganya seperti halnya Rissa dan Kang Alvin yang begitu menginginkan keturunan. Akan tetapi, berbeda lagi dengan Nissa yang masih anak sekolah. Bahkan dia belum mempunyai suami. Hal itu yang membuat kepalanya nyaris membludak. "Apa yang
"Apa kamu akan bertahan denganku meski percobaan itu tetap tidak ada hasilnya?" tanya Rissa membuat Kang Alvin terdiam. Suasana di dalam kamarnya menjadi hening karena pertanyaan Rissa yang membuat Kang Alvin bungkam seribu bahasa. Pria itu mendudukkan dirinya di samping dipan, mencoba menenangkan dirinya. Dia menarik lengan istrinya, memintanya untuk duduk di sampingnya. Rissa menurut terduduk di sampingnya, Kang Alvin mengusap lembut punggung tangannya. Dia pula menyandarkan kepala sang istri ke bahunya, membiarkan wanita itu untuk menumpahkan segala sedih dan resah dalam dirinya. "Kita tanggung semua permasalahan itu bersama ya, Sayang." Kang Alvin menenangkan istrinya, dia mengusap lembut puncak kepala Rissa yang tertutupi dengan pashmina berwarna toska. "Kamu akan tetap bertahan, Kang?" tanya Rissa lagi, dia mencoba meyakinkan suaminya barangkali Kang Alvin hanya sekedar menghiburnya saja. "Aku akan tetap bertahan bersamamu, Sayang."Kepalanya mengangguk pelan, Kang Alvin si
"Bukan benda apa-apa kok, Kak." Nissa menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman seolah tidak ada masalah. Padahal Rissa merasa adanya kejanggalan pada adik tirinya itu. "Kamu enggak menyembunyikan sesuatu pada kakak kan?" tanya Rissa, kedua alisnya saling bersinggungan seolah tidak mempercayai apa yang sudah Nissa katakan. "Iya kan, Bi? Bukan benda apa-apa?" tanyanya. Ekor matanya melirik Bi Ratih penuh dengan ancaman. Janda beranak satu itu menundukkan kepalanya dalam, dia seolah tidak berani menatap adik dari majikannya. "Saya permisi dulu." Bi Ratih membawa nampan berisi mangkuk dan gelas kotor itu keluar kamar. Sepertinya dia tidak ingin ikut campur dengan perseteruan antara adik-kakak itu. Senyuman Nissa tidak pudar dari bingkai paras ayunya. Dia seolah mengatakan lewat gerakan bibirnya pada Rissa bahwa dia tidak menyembunyikan apa pun. Akan tetapi, pandangan kakaknya sangat jeli turun ke arah tangan sang adik yang disembunyikan ke belakang punggung. Entah apa benda yang dis