Nissa menangis sesegukan karena kekasihnya menolak permintaannya. Kedua kakinya melangkah entah ke arah mana dia harus pergi. Lalu, untuk apa Delon menjanjikan padanya jika dia akan terus bersama apapun yang terjadi padanya, tapi sekarang? Gadis itu menyusuri jalan aspal jika merasa lelah dia istirahat hanya sejenak saja. Sesekali melihat jajanan Nissa akan menyempatkan untuk singgah dan membelinya. Namanya orang hamil selalu saja ingin ini itu, begitu juga dengannya yang sedang berada di fase ngidam. Akan tetapi, setiap makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya dia kembali memuntahkannya karena terasa mual. "Ribet banget sih jadi orang hamil." Gadis itu menggerutu saat keluar dari WC umum. Dia memuntahkan kembali makanan yang semula masuk ke lambungnya, tapi ternyata penolakan tetap menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini. Merasa kakinya lelah dia terduduk di sebuah Pos Ronda sekedar beristirahat sejenak setelah berjalan jauh. Keberadaannya di sana sangat mudah dijangkau oleh orang
"Kamu harus nikahkan Nissa, Kang," ucap Rissa. Nina yang sedari tadi tengah mengaduk secangkir teh melirik ke arah Rissa. Wanita itu memandangi Nissa yang menyembunyikan tangisannya dengan menundukkan pandangan. "Kenapa harus aku, Sayang?" tanya Kang Alvin menatap istrinya dengan lekat. "Karena kamu yang telah berbuat kan, Kang?" tanya Nissa, kedua matanya mulai berkaca-kaca dia berusaha untuk menahan pertahanannya agar tidak runtuh. "Untuk apa aku melakukan hal seperti itu pada Nissa? Dia sudah aku anggap sebagai adikku sendiri," jawab Kang Alvin, sesekali pria itu melirik ke arah Nissa yang terus menundukkan kepalanya seolah tidak berani memandangi kakak iparnya. "Nissa. Tolong kamu jelasin semuanya."Isak tangisnya tiada henti, Nissa terlalu lemah untuk menjelaskan semuanya. Pada akhirnya pertahanannya runtuh seketika begitu mengingat kejadian di hari itu yang merenggut kehormatannya. Delon, kekasihnya ternyata bukan lelaki baik-baik yang menjaganya, tapi dia malah mengambil ke
"Ada apa kamu meminta saya ke sini, Delon?" tanya Keyla, kedua matanya menatap tajam ke arah pria yang terduduk santai dengan menyilangkan sebelah kakinya. Secangkir coffe late tersaji di depannya, asapnya masih mengepul sepertinya barista baru saja menyuguhkan. Begitu Keyla mengambil posisi duduk di depannya, Delon menyambar cangkir itu sambil menyesapnya perlahan. "Saya hanya ingin berbincang saja, tidak lebih," jawabnya. "Lagipula kakak sepupu saya sedang bersenang-senang dengan istrinya kan?"Wanita itu terlihat sangat geram begitu Delon menekankan di akhir ucapannya. Dia memang tidak mempermasalahkan hal itu, tapi kenapa rasanya semakin sakit mengingat jika Kang Alvin mencintai perempuan lain. "Tolong jangan mencoba memancing emosi saya." Tanpa disadari tangannya mengepal dengan sangat kuat, sepertinya dia sangat kesal pada Delon hingga tersalurkan pada kepalan tangan yang kapan saja siap melayang ke udara. "Eits kenapa?" tanyanya, menaikkan alisnya sebelah. "Saya juga istri
"Kang? Kamu menyembunyikannya dari aku?" tanya Rissa terisak. Kang Alvin terdiam sangat lama, dia membungkam mulutnya sambil sesekali melirik ke arah adik iparnya yang kini menundukkan pandangannya. "Ya." "Kang, kenapa? Kenapa kamu menyembunyikannya?" Rissa menyeka air matanya yang meluncur dengan bebas begitu saja. "Nissa adik ipar kamu, masa kamu membiarkannya begitu saja bahkan sampai menutupi hal sebesar ini." Nissa yang sedari tadi terdiam kini menatap ke arah kakaknya yang memijat pelipisnya karena terasa pening. Di sisi lain, kakak iparnya terus memukuli kepalanya yang terasa berat sekali setelah banyak permasalahan yang sulit untuk dia pecahkan. "Apa ada suatu alasan yang membuat kamu membungkam masalah ini? Lalu, kenapa kamu Nissa tidak membicarakan apapun pada kakak?" tanya Rissa, melirik ke arahnya yang terus menunduk seolah tidak berani menatap ke arah kakaknya. "Bukan gitu, Sayang. Aku hanya tidak ingin acara kita hancur." "Tapi, apa yang terjadi, Kang? Acara kita
"Sebenarnya Kang Alvin mau ketemu siapa sih?" ucap Rissa sambil menggerutu. Dia mengikuti suaminya dengan taxi karena tidak akan memungkinkan baginya mengendarai mobil sendiri di saat jalanan tengah macet seperti ini. Dia memang belum leluasa menyetir kendaraan beroda empat itu karena terlalu nyaman mengendarai sepeda motor. "Siapa Lea?" tanyanya pelan. Suaranya terdengar lirih nyaris tidak terdengar. "Pak ... tolong dipercepat ya kejar mobil itu." Rissa kembali memerintahkan sopir yang mengendarai taxinya. Kedua matanya tidak terlepas mengikuti mobil berwarna hitam milik suaminya. Dia takut jika kehilangan jejaknya hal itu membuat berwanti-wanti untuk terus mengikuti laju kendaraan beroda empat di depannya. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit Kang Alvin menghentikan mobilnya di depan rumah seseorang. Entah rumah siapa, yang jelas suaminya tergesa keluar dari mobil tersebut. Rissa terus menilik langkah suaminya yang ternyata sudah berada di depan rumah itu. Dia melihat jika
Delon mengekeh beberapa kali begitu dia tahu jika Rissa mendatangi rumah Keyla hingga memergoki suaminya tengah berada di dalam. Merasa puas dengan rencananya yang ternyata berjalan mulus, semuanya berkat dia sendiri karena sudah bergerak cepat menjadi seorang sopir taxi. Sehingga dia bisa mengantarkannya sampai di kediaman Keyla. Setelah dirasa permasalahan tersebut akan semakin membesar yang dimulai dari noda bercak darah, ternyata milik Nissa yang sudah melakukan hubungan intim dengan seseorang. Delon kembali menancap pedal gas meninggalkan tempat tersebut. Kang Alvin merasa dilema karena dia tidak bisa meninggalkan Lea yang dalam keadaan sakit, tapi mana mungkin dia membiarkan istrinya pergi begitu saja. Sudah menjadi keharusan untuknya mencari sang istri yang entah ke mana. Ingin pergi mencari sang istri, tangannya digenggam dengan sangat kuat oleh Keyla yang merupakan istri pertamanya. Wanita itu seolah mencegahnya untuk pergi mencari Rissa, mencoba meyakinkannya jika wanita
Rissa menghamparkan sajadah mencoba untuk bersimpuh di atasnya sembari menengadahkan tangan mencoba untuk mencurahkan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Memang tidak mudah menjalani semuanya, tapi dia mencoba untuk menghadapinya dengan sabar. "Rasanya sangat sakit, Ya Rabb. Melihat dengan kedua mataku sendiri suamiku bermesraan dengan wanita lain. Apakah aku pantas mencemburui hal itu?" tanyanya, menutup mulutnya dengan tangan kanannya untuk menyamarkan suara isak tangisnya yang tidak saja mereda. Jika kembali dipikirkan dia memang bukan wanita sempurna yang bisa memberikan keturunan kepada suaminya. Rissa seharusnya memahami apa yang diinginkan seorang lelaki jika bukan anak yang diharapkannya dalam menjalin bahtera rumah tangga. Sehingga sangat memungkinkan untuknya jika dia mencari kenyamanan pada wanita lain. Alasan yang sangat logis dikarenakan keinginannya mempunyai keturunan. Di masjid yang berdominasi warna emas, dekat cafe coffee yang sebelumnya disinggahi. Hatinya m
"Rissa di mana, Mah?" tanya Kang Alvin pada ibu mertuanya yang tengah terduduk di meja makan. Tampaknya wanita itu tengah menikmati teh hangat di malam hari. Biasanya Nina melakukan seperti itu bergadang ditemani dengan suguhan yang menghangatkan tubuh ada suatu masalah dalam hidupnya yang menjadi beban pikirannya. Dia menoleh mendapati Kang Alvin yang berdiri di depannya. Stelan pakaiannya masih mengenakan kemeja dan jas seperti yang dilihatnya tadi pagi. Beberapa saat kemudian Nina memutuskan kontak matanya kembali mengarah pada cangkir teh yang masih terisi. "Dia tidak pulang." "Tidak pulang? Lalu, Rissa ke mana?" tanya pria itu sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Permasalahan yang terjadi dalam hidupnya semakin rumit saja. Padahal dia ingin cepat terbebas dari berbagai masalah yang telah menjeranya. Dari kejauhan Bi Ratih memandangi mereka yang tampaknya merasa cemas dengan permasalahan yang terjadi dalam lingkup keluarga majikannya. Zidan terus berceloteh karena anak beru