Share

JANDA - 04

Segala sesuatu yang dilakukan untuk pertama kalinya biasanya menimbulkan efek getar-getar syahdu di jantung, tangan berkeringat dan terasa dingin, bolak-balik kamar mandi dan menatap pantulan kaca paling tidak lima menit sekali memastikan penampilan rapi. Sejenis inilah gugup yang saat ini di alami oleh Boram. 

Wajar kalau dia gugup di hari pertamanya mengajar meskipun Boram bukanlah orang baru di dunia pendidikan. Di kampungnya dulu, dia seorang guru matematika untuk anak unyu-unyu berseragam putih merah tapi yang akan di hadapinya hari ini kan lain karena mereka sudah nggak ada unyu-unyunya sama sekali. Bisa menakutkan dan anarkis di saat bersamaan. 

Boram bolak balik mengecek arlojinya sejak satu jam yang lalu, memastikan buku-buku yang akan di bawanya tersusun rapi di atas meja. 

"Saya lihat dari tadi sepertinya Bu Boram gelisah. Cerita saja sama saya, siapa tahu saya bisa membantu."

Boram menoleh, melihat Pak Reihan yang mengampirinya. "Saya hanya sedikit gugup Pak. Tidak apa-apa kok," Boram tersenyum manis untuk Pak Reihan yang duduk di depannya. 

"Bukannya Bu Boram sudah biasa mengajar ya?"

"Untuk anak-anak SD Pak. Mereka masih bisa di atur dengan baik dan bisa bersikap manis. Saya belum pernah berpengalaman mengajar anak SMA."

Pak Reihan mengangguk, "Tenang saja Bu. Nggak semenakutkan itu kok. Anggap saja mereka masih anak SD tapi dalam tampilan wajah boros yang dewasa sebelum waktunya."

Boram tertawa, "Mana bisa begitu Pak." Boram memajukkan kepalanya sedikit dan berbisik, "Mereka tidak pernah membully guru sendiri kan Pak?"

Reihan tertawa, Boram nyengir seraya menyeka keringat di dahinya. 

"Jangan kebanyakan nonton sinetron Bu. Mereka di sini tidak seperti itu. Mengajar saja seperti biasanya. Saya yakin kalau gurunya secantik Ibu, kebanyakan dari mereka malah akan bersemangat belajar sekalian tebar pesona." Reihan tiba-tiba menumpukan satu lengannya di atas meja dan memajukan tubuhnya ke depan. Reflek Boram mundur dengan wajah yang mulai merona. Aroma maskulin lelaki itu semerbak dan menghipnotis. "Malah Ibu yang harus sabar-sabar kalau mereka sudah jahil dan suka goda-goda."

Boram tertawa sewajarnya tapi malah terkesan aneh, "Gitu ya Pak." 

Reihan memundurkan tubuhnya dan mengangguk bersamaan dengan bunyi suara bel yang menandakan jam istirahat sudah selesai. Boram harus segera masuk ke kelas setelah ini.

"Masuk ke kelas berapa Bu?"

Boram mengambil buku absennya di atas meja, "Kelas XII MIPA-2 Pak."

Pak Reihan berdiri dan mengangguk, "Ah kelasnya perusuh."

Boram jelas langsung ketar-ketir saat mendengar kata "perusuh". Reihan yang melihat ekspresi takut di wajah Boram reflek tertawa, "Nggak apa-apa kok Bu. Aman aja."

"Aman gimana Pak?" 

Boram berdiri, mengambil tumpukan buku yang akan di bawanya ke kelas dan memeluknya. 

"Gak apa-apa. Bagaimana kalau istirahat kedua nanti saya traktir makan bakso untuk merayakan hari pertama mengajar?"

"Loh, seharusnya kan saya yang traktir Pak. Kok malah jadi Pak Reihan?"

"Nggak apa-apa Bu. Sebagai ucapan selamat datang dari saya."

Boram mau tidak mau mengangguk setuju. Mubazir kalau diabaikan begitu saja tawaran Pak Seksi di hadapannya ini.

"Kalau begitu semangat mengajarnya ya Bu. Itu kelasnya Samudra. Aman aja kalau ada dia."

Boram terdiam ketika mendengar satu nama itu di sebut dan menatap punggung Pak Reihan yang berlalu keluar dari ruang guru. 

Yaaahh, ketemuu berandalan itu lagi. 

***

Kelas XII MIPA-2 benar-benar rusuh saat Boram berdiri di ambang pintu kelas. Matanya memindai keseluruhan ruangan yang nampak belum menyadari kehadirannya. Mereka sibuk mengejek satu temannya yang sudah merengut kesal di pojokan belakang. Tidak nampak sama sekali sosok Samudra di antara mereka.

Ke mana cowok itu? Apa dia KO adu kemachoan dengan musuh-musuhnya itu?

"Selamat siang semuanya." 

Boram berteriak lantang seraya memukulkan spidol di tangannya ke pintu sebanyak tiga kali membuat para siswanya langsung menoleh dan terbengong ria. Hentakan sepatu hak tinggi Boram menggema di lantai marmer seirama dengan langkahnya yang anggun dan pandangan yang menatap satu-persatu muridnya.

"Duduk kembali ke bangku kalian masing-masing. Jika dalam hitungan ketiga masih ada yang berdiri, saya akan kasih kuis dadakan bagi murid yang beruntung itu."

Sontak semuanya langsung sigap berlari ke bangku masing-masing bahkan sampai ada yang nyaris terbang karena dia berlari menaiki beberapa bangku kosong untuk sampai di tempat duduknya sendiri. Boram menghela napas melihatnya. Setelah semuanya duduk diam memperhatikan, senyuman Boram perlahan mengembang. Dia berdiri di tengah-tengah.

"Good. Kalian nggak suka pelajaran Matematika ya sampai takut sekali dapat kuis?" tanyanya.

"Saya bisa tambah sakit perut Bu kalau dapat kuis dadakan begitu," cowok yang rambutnya sedikit gondrong dan diikat sedikit bagian belakangnya seperti buntut itu menjawab dengan cengiran.

"Lagi males ah Bu. Saya lagi bahagia habis di tembak gebetan."

"HUUUUU...sok-sokan banget lo. Padahal kan lo yang nembak Arjuna sampai dia terpaksa nerima. Sok ngaku lagi!" 

Setelah sorakan itu semuanya kembali rusuh. Ada yang melempari kertas dan penghapus ke arah gadis cantik berambut pendek sebahu yang langsung meringis mendapat ejekan semua temannya. Boram berdecak dan mengetukkan spidolnya di meja depannya yang kosong dengan kuat.

"Kalian hentikan sekarang juga!!"  Teriakan Boram terabaikan. 

Setelah menghela napas, Boram berniat untuk kembali menarik perhatian saat pukulan keras di pintu mengagetkan semuanya, termasuk Boram.

"Samudra, njirr!!" pekik semua siswa yang ada di sana saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. 

Boram terdiam memperhatikan seksama penampilan cowok itu. Sama berantakannya seperti kemarin dan wajahnya nampak memar di beberapa tempat. Namun secara keseluruhan, dia masih tetap tampan.

Boram mengerjapkan matanya. Samudra melangkah masuk tanpa senyuman diiringi dengan kelasnya yang seketika hening. 

"Kalau kalian mau ribut di luar aja. Gue mau belajar!" 

Kata-katanya terdengar sarat akan ancaman. Semua temannya hanya tersenyum dan mengangguk tidak berani buka suara. Boram tidak bergerak di tempatnya melihat Samudra yang semakin mendekat ke arahnya dengan senyuman manis dan melangkah pelan di sampingnya lalu berdiri menjulang di hadapannya. Boram sampai harus menaikkan sedikit wajahnya.

"Hati-hati Bu, dia preman. Jangan tergoda," seloroh salah satu muridnya. 

Boram langsung mundur ke belakang.

Samudra duduk manis di meja paling depan sendirian, membuka tasnya dan mengambil beberapa buku paket dan buku tulisnya sendiri lalu kembali menatap Boram yang diam terkesima.

"Oke, Kita sudah kehilangan banyak waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk melatih soal. Sebelumnya perkenalkan saya selaku guru pengganti Ibu Sisca selama beliau cuti melahirkan. Panggil saja Bu Boram. Kalian mengerti?" 

"Mengerti Bu." Mereka serempak berseru bersamaan.

"Kalau panggil sayang boleh nggak?" Samudra yang duduk dalam posisi siap belajar dengan kedua lengan terlipat di atas meja nyeletuk. Semua temannya terkekeh.

Boram berusaha menahan kesabaran, "Untuk kamu nanti akan khusus saya kasih kuis."

Samudra mendengus dan membuka buku paketnya. Boram kembali menatap seluruh muridnya yang sejak Samudra masuk begitu tenang dan damai meskipun ada yang nampak bosan, berbisik-bisik dan mencoret-coret sesuatu di bukunya. Baginya itu sudah lebih dari cukup dari pada harus berteriak-teriak menyuruh mereka diam.

"Buka buku kalian. Ada bab yang sedang menunggu kalian di sana. Saya tidak akan mengulang pelajaran yang di ajarkan Ibu Sisca. Kita akan melanjutkan bab selanjutnya."

"YAAAHHHH," suara mereka menggema. 

Boram tersenyum. Mereka mulai memperhatikan dan Boram jadi memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dia mengajar seperti biasanya dan aktif mengajak para muridnya menjawab berbagai soal di papan tulis. Sebenarnya semua muridnya pintar hanya saja mereka terlalu banyak gaya, omong dan tidak bisa diam. 

Dari semua hal itu tidak ada yang membuat Boram terkesima selain dari sosok cowok yang duduk di barisan paling depan memakai kacamata belajarnya dan diam memeperhatikan semua rumus dan bahasan soal yang dijabarkan. Benar-benar memperhatikan. Sesekali kerutan samar di dahi cowok itu muncul, mengacak rambutnya ketika dia kesulitan memecahkan satu soal dan mengetukkan jarinya mencoba untuk memahami soalnya.

Samudra benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Berbanding terbalik dengan kesan bengal, berandalan karena penampilannya yang lebih banyak bekas pukulan akibat berkelahi dan baju yang mencuat keluar tidak rapi. 

Lima soal di papan tulis dan semua muridnya tenang mengerjakan. Boram berkeliling mencoba melirik setiap anak yang mencoba mencari rumusnya. Boram melihat tampang-tampang lucu dan bosan mereka saat tidak menemukan jawaban yang sesuai.

"Matematika itu ilmu pasti. Kalian hanya tinggal mempelajari rumus yang tersedia dan belajar memahaminya dengan mengganti angka-angkanya saja. Lebih mudah dibandingkan memecahkan kode perempuan yang kadang tidak jelas. Meskipun yang dibutuhkan hanya kepekaan."

"Ibu mah gampang bilang begitu. Kami kan memang di lahirkan untuk tidak selalu peka apalagi dengan kode-kode para perempuan. Sama aja kayak matematika bikin pusing."

Boram terkekeh mendengarnya, berhenti di belakang Samudra yang tertunduk menghadap ke bukunya. Iseng Boram mengintip ingin melihat bagaimana cowok itu memecahkan soal yang ada di papan tulis. Namun apa yang dilihatnya di sana adalah sesuatu yang lain.

Samudra memang mencoba memecahkan soal itu tapi dengan cara yang berbeda. Boram mengerutkan dahinya mencoba untuk menebak tapi dia akhirnya menyerah. 

"Kenapa caranya seperti ini?" Boram menunjuk sederet angka yang ditulis Samudra di buku tulisnya. 

Cowok itu mengangkat kepalanya dengan senyuman samar di wajahnya dan tatapan sendu, "Seperti inilah saya mengerjakannya Bu. Sejak awal saya sama sekali tidak paham."

Boram sempurna terdiam. Ada yang tidak beres tentang cowok ini.

"Kalau begitu khusus untuk kamu, menghadap ke saya setelah pulang sekolah."

Samudra langsung menundukkan wajahnya dan Boram dihinggapi rasa penasaran tentang sosok Samudra.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status