"Aku benar-benar tak menduganya, Aiden. Kau melakukannya dengan baik." Jack tersenyum kepada pria di sampingnya. Setelah tadi ia dan Aiden membawa Lisa ke rumah sakit jiwa dan meminta fasilitas terbaik untuk perempuan itu, mereka kembali ke gedung perusahaan.
Aiden tersenyum, seakan ia telah melepaskan beban beratnya dan itu membuatnya lega. "Saya tidak akan bisa melakukannya tanpa Anda, Tuan."
"Kenapa jadi aku, Aiden? Itu semua kan karena tekadmu sendiri untuk menyelesaikan masalahmu." Jack bersedekap, memutar mata sambil tersenyum.
"Terima kasih banyak, Tuan." Aiden menunduk sopan.
"Sudahlah, kau seperti orang asing saja. Kau kan sudah aku anggap keluarga sendiri," balas Jack bergurau dengan sebelah tangan menepuk pundak Aiden cukup keras.
Aiden hanya bisa membalas Jack dengan senyuman lebar. "Baik, Tuan."
Aiden kemudian memutar posisi duduknya, membelakangi Jack. Ia tidak sekuat yang terlihat. Di dalam hatinya masih terselip kepahitan mas
"Fayline group?" tanya Aiden terbelalak. Ia lepaskan kedua tangan dari seseorang di depannya dan orang itu segera terhuyung tak sadarkan diri ke jalan.Jack mengusap cipratan darah di pipinya, ia sudah membuat empat lawannya sekarat sekarang. Yang terakhir Jack membuat kepalanya pecah dengan sebalok kayu yang ia hantamkan dengan keras dan berkali-kali.Jack menyisakan satu orang yang ia biarkan sadar. Ia berjongkok dan mendekati pria itu.Jack menatapi pria di depannya yang hanya bisa membalas tatapannya karena tangan dan kakinya sudah dipatahkan oleh Jack."Siapa yang menyuruhmu melakukan ini, huh?" Jack bertanya dengan mendesis tajam. Ia tak akan mengampuni siapa pun yang telah menyuruh lima orang di depannya itu untuk mencelakai Max. Kalau ia terlambat sedikit saja, mungkin nyawa Max yang jadi taruhannya. Jack tadi dengan sengaja mengunci Max yang sudah tak sadarkan diri di dalam mobil. Ia bergerak dengan cepat, sebelum orang-orang itu menyerangn
"Dad..." Fay merajuk dengan seseorang di telepon."Ada apa, Sayang?" balas pria dengan sebuah pertanyaan."Bolehkah aku memakai penthouse milik Daddy untuk semalam saja?" Fay menggigit bibir bawahnya, sangat berharap ayahnya akan memperbolehkan permintaannya ini."Untuk apa?""Untuk bersenang-senang dengan Jack. Lagi pula setelah ini aku dan dia akan resmi bertunangan. Boleh kan Daddy?" Fay semakin kalut ketika tak mendapatkan jawabannya dengan segera."Of course, Sayang. Kau boleh memakainya kapan saja.""Thanks, Dad. I love you so much." Fay tersenyum merekah."I love you too, Honey.""Lihat saja nanti Jack. Kau akan tergila-gila padaku," desis Fay mengulas senyum tipis setelah menutup sambungan teleponnya.***Paginya, Zeta masih tak mendapati kepulangan Jack di rumah. Ia mendesah kecewa sembari melangkah kembali ke kamarnya. Di tengah perjalanan ia bersimpangan dengan Lerry yang sudah s
"Dia tidak akan percaya jika hanya mendengarnya, Aiden." Jack bergeleng.Deringan ponsel Jack yang tergeletak di meja menghentikan pembicaraan di antara Jack dan Aiden.Jack bergerak mengambil ponselnya, ia mengernyit membaca nama sang penelepon. "Dia meneleponku, Aiden," tukas Jack memutar mata malas setelah menyempatkan diri melirik ke arah Aiden dengan senyuman miring.Aiden hanya menggerakkan kepalanya, mengiyakan. Ia kemudian tak bersuara, menutup mulut agar tak mengganggu pembicaraan Jack dan Fay di telepon."Kau, nanti malam tidak ada acara kan?""Kenapa kau bertanya seperti itu, huh?" balas Jack menyentak."Aku ingin kita makan malam bersama. Kau mau kan?" Suara Fay dari seberang telepon melembut."Aku sibuk.""Please, Jack. Ada yang perlu aku bicarakan denganmu. Ini penting. Aku mohon," desak Fay lebih lagi. Ia memohon dengan sangat agar Jack mau."Baiklah. Jam berapa dan di mana?" tukas Jack mendengus kes
Fay kemudian duduk di meja, ia lebarkan kedua kakinya untuk memperlihatkan kewanitaannya tepat di depan Jack. "Mari kita bermain sebentar, Jack," desah Fay sengaja menggoda."Kau jalang juga," balas Jack tersenyum miring. Dari dalam hati ia mendesis pelan, bahwa Jack akan membuat Fay membencinya. Dengan begitu Fay akan berhenti, dan membatalkan pertunangannya tanpa perlu Jack repot-repot menyinggung kedua orang tuanya."Kemarilah!" Jack menggeser pinggul Fay mendekat padanya.Fay menurut. Ia turunkan pinggulnya kepada Jack. Ia kini duduk di pangkuan Jack."Kau menginginkan ini?" tanya Jack mengernyit sembari menunjuk ke arah juniornya."Iya, Jack. Bebaskan dia," balas Fay mengangguk dengan menggigit bibir bawahnya tak kuasa menahan gairah yang kini mencuat."Bagaimana kalau dia nanti menggigitmu?" Jack tak kunjung membuka celananya, ia masih mengulur waktu dengan sangaja."Tidak apa-apa, Jack. Ahh..." Fay melepaskan desahan sensualnya
Zeta bangun lebih awal. Ia membantu merapikan dasi yang dipakai oleh Jack. Ia mengecup bibir Jack sebagai penyemangat di pagi ini sebelum pria itu pergi."Aku berangkat ya, Zeta." Jack memeluk Zeta erat, enggan untuk melepasnya."Kau mau begini terus, Jack? Nanti kau terlambat" celetuk Zeta menohok Jack, melonggarkan pelukan Jack atasnya.Jack terkekeh seraya melepaskan pelukannya dari tubuh Zeta. Ia mengusap kepala Zeta lembut. "Ya sudah, kau kembalilah tidur. Aku tahu kau bangun pagi agar bisa memberikan kecupan penyemangatmu itu kan?""Kau tahu saja, Jack." Zeta menunduk malu, ia lalu menguap dan meregangkan tubuhnya."Aku tidak akan pulang terlambat, jadi kau boleh menunggu kepulanganku. Tidak seru ketika aku pulang dan kau sudah tidur. " Jack sengaja menekuk sudut bibirnya ke bawah."Iya... Iya... Aku tidak akan tidur sebelum kau pulang," balas Zeta dengan penuh penekanan."Gitu dong." Jack menyambar bibir Zeta lagi sebelum
Max berdiri tepat di depan Jack, ia tak berhenti mengulas senyum lembut. "Kerja bagus, Jack. Baron group pulih dengan cepat.""Ah... Itu karena Daddy, Max." Jack mengedikkan bahu serentak."Daddy?" Max menaikkan sebelah alisnya. Dua tangan ia jejalkan ke dalam saku celana sembari menghembuskan napas ke udara pelan."Iya. Daddy yang membantu. Yah, meski ada syaratnya." Jack terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berkata lagi, kini ia berbisik pelan kepada Max, "Kau juga sedang mencari tahu tentang Fayline group? Mereka kan yang menyerangmu?"Max mengangguk mengiyakan. "Kau pasti terkejut dengan informasi yang sudah aku dapat ini," balasnya berbisik dengan kepala sedikit condong ke arah Jack.Jack mencebik, menyepelekan ucapan Max barusan. Namun, secara cepat wajahnya berubah terkejut mendengar bisikan Max selanjutnya."Sudah kuduga kau akan terkejut, Jack." Max menepuk pundak Jack dan terkekeh nyaring. Ia lalu melirik ke arah belakang Jack, di m
Jack terduduk lesu di kursinya. Masalah di perusahaan sudah selesai, namun ia tak merasa senang akan hal itu. Karena semua hanyalah pembodohan Edwin belaka. Ayahnya telah mempermainkan Jack.Jack mendesah beberapa kali, membuat Aiden yang duduk tak jauh darinya melirik ke arahnya."Ada apa, Tuan?" tanya Aiden penuh perhatian."Tidak apa-apa, Aiden. Hanya saja moodku hari ini jadi sangat jelek," jawab Jack yang kemudian mencoba melirik jam yang melingkar di tangannya."Sebentar lagi kita pulang," desah Jack melepaskan udara kasar dari hidungnya. "Kau mau mampir ke kafetaria dulu?"Aiden mengangguk, mengiyakan ajakan Jack tersebut. "Iya, Tuan. Lagi pula kita juga perlu memperbaiki suasana hati.""Coklat baik untuk memperbaiki suasana hati, Aiden," tukas Jack memutar bolpoin di tangan kanannya."Mungkin aku akan menyuruh orangku membelikan coklat dan membawanya ke sini," imbuh Jack menghentikan gerakan tangannya dan mel
"Zeta..." panggil Jack mendongak ke dalam kamar Zeta dengan membawa sekotak coklat di belakang tubuhnya."Jack, kau sudah pulang?" Zeta berjingkat turun dari kasur dan berlari menghampiri Jack."Aku membawakan coklat untukmu," seru Jack menjulurkan sebuah kotak ke depan Zeta."Wow... Thanks, Jack." Zeta menerima kotak tersebut. Ia lalu menyuruh Jack duduk di pinggir tempat tidurnya, sementara ia sendiri sibuk membuka kota dan segera terkesima dengan coklat yang berjejer rapi dalam berbagai bentuk."Suapi aku, Jack." Zeta mengerucutkan bibir dan berbicara manja.Jack mengulas senyum lalu beranjak. "Aku harus cuci tangan dulu."Zeta mengangguk. Ia menaruh kotak coklat ke pangkuannya, sembari menanti Jack yang masih mencuci tangannya di kamar mandi.Jack kini berada di depan wastafel. Menyalakan kran, menyapukan sabun, lalu mengguyur kedua tangannya dengan air. Ia berbalik kembali kepada Zeta."Sudah..." Jack menghampiri Zeta. Ia