Kurasakan nyeri di perut saat pertama kali bangun. Saat melihat ke sekeliling, semuanya putih. Kuraba perut, tapi sudah tak ada lagi perut buncitku.Allah, bagaimana dengan anakku? "Alhamdulillah ya Allah, kamu sudah bangun?" Suara Mas Haris terdengar dari arah pintu. Aku tersenyum, lalu berusaha duduk namun tak bisa. "Bayi kita gimana, Mas?" tanyaku. "Alhamdulillah, sudah baik-baik saja. Tapi sekarang ada di ruangan bayi. Meski lahir di kurang bulan, tapi nampaknya dia sehat, Rum. Terima kasih, ya," ucap Mas Haris sambil menitikkan air mata. "Alhamdulillah, ya Allah. Mas, aku sudah takut anak kita akan tak selamat. Terima kasih sudah cepat datang, ya?" "Sama-sama, Rum. Mas memang sudah feeling kalau kamu sedang tidak baik-baik saja. Suaramu terdengar gemetar pas angkat telepon dari aku. Ternyata benar, kan? Kamu bahkan sedang disiksa oleh Wulan. Aku tak menyangka jika wanita itu begitu tega. Maafkan aku, Rum," ucap Mas Haris. "Nggak papa, Mas. Ini semua salahku yang tak menany
Ternyata, itu adalah polisi yang menelepon Mas Haris. Mereka menemukan dua orang terkapar di dekat sungai, lalu menemukan nomor Mas Haris di daftar panggilan cepat pada ponsel Mas Haris. "Sekarang dia di mana?" "Di rumah sakit Bunda. Mas boleh ke sana?" tanyanya. "Tentu boleh. Kenapa tidak?" "Kamu nggak cemburu?" "Mas, seseorang lagi butuh bantuanmu, sekarang bukan saatnya ngomongin itu," ucapku sedikit kesal. "Terima kasih, bidadariku. Kamu baik banget." Aku mengangguk, seraya tersenyum. Mau cemburu? Itu bukan hal terpenting sekarang. Lagi pula, aku juga penasaran kenapa Rumi bisa terkapar di dekat sungai? Apakah mereka hanyut, lalu terseret ombak? Tapi, masa ponselnya masih bisa dipakai?Lalu, siapa satu orang lagi? Kenapa bisa bareng Rumi? Ingatanku melayang ke beberapa minggu yang lalu saat Kalisa mengatakan bahwa ia melihat Rumi bersama Kinos. Apakah itu mereka? Polisi tak bilang menemukan jasad, itu tandanya, Rumi masih hidup, kan? Bunda masuk ke kamar yang memang terbuk
"G*la!" "Iya, kan?" Aku hanya menggelengkan kepala. Kenapa mereka bisa begitu? Apa semasa hidup dengan mereka, Rumi juga terlalu banyak bertingkah seperti akhir-akhir ini? Atau, mereka tak mau merawat Rumi lagi karena kini ia cacat? Apa mereka menilai itu sebagai aib? Astaghfirullah! Padahal jika dilihat wajahnya, Rumi begitu cantik. Ada yang menyadari? Rumi belakangan menimbulkan banyak masalah. Kecelakaan, ketahuan melet Mas Haris, mengancamku, bahkan menyumpahi janinku. Mengingat itu, aku melihat ke arah Renda. Bayi cantik terlihat sempurna secara fisik. Alhamdulillah, ya Allah. Semoga kamu akan menjadi anak yang berbakti, ya, Nak. Tak lama kemudian, datang keluarga Mas Haris, minus Lina karena ia sedang berkuliah. "Jadi bagaimana Rumi?" tanya Ibu. "Ya begitu. Sekarang ada di rumah sakit. Kata Polisi, kemungkinan ribut sama yang satu lagi. Akhirnya malah jatuh semua darj jembatan. Beruntung, ada jalan setapak sehingga mereka jatuhnya ke sana." "Tapi tak apa-apa, kan?" tanya
"Dih, biasa aja kali, nggak usah sewot!" ucapku.--Pagi hari. Aku menjemur Arenda di depan rumah. Alhamdulillah, sudah sepuluh hari usianya. Badannya pun sudah lebih berisi daripada pertama lahir. Sekarang, lebih terlihat gemoy.Bunda datang sambil membawa buah. Beliau memang paling tahu kalau aku sangat suka buah. "Nadia ke mana, Bu?" tanyaku. "Ke rumah temennya. Lusa udah berangkat lagi ke Jogja." "Kasihan ya dia, Bu. Bolak-balik terus," ucapku. "Ya gimana lagi, Rum? Akhir-akhir ini dia juga ga banyak mata kuliah, katanya." "Bu, nanti kalau sudah enam bulan, nggak papa ya kalau Arum pindah ke rumah sana?" tanyaku. "Loh, ya nggak papa. Memangnya siapa yang mau melarang? Lagi pula jaraknya dekat, nggak harus sampai naik bis, kan?" tanya Bunda sambil terkekeh, dan otomatis nular ke aku. "Semoga saja ini akhir dari semuanya, ya, Bu. Setelah ini semoga Rumi sadar dan tidak aneh-aneh lagi. Arum juga mau tanya sama Kinos, kenapa dia bisa sama Arum? Apa yang sedang dia lakukan? Ken
"Aku berdo'a yang terbaik untuk kalian, Mas. Semoga kali ini, pernikahan kalian langgeng. Sakinah mawaddah warahmah," ucapku tulus. Kini di hatiku sudah tak ada lagi iri ataupun marah dan bahkan benci pada Arum. Aku sekarang sadar, bahwa jodohku bukan lah Mas Haris. Aku hanya terlalu memaksakan takdir kami. Toh pada akhirnya, takdir tak dapat diubah. Aku akan tetap tersingkir daei hatinya. "Aamiin, terima kasih untuk do'anya. Jangan alihkan pertanyaan. Jadi bagaimana? Kenapa kamu dan Kinos bisa bersama?" tanya Mas Haris, nampak tak sabaran. "Ya karena kami memang sedang bersama, Mas," jawabku. "Iya, tapi kenapa bisa?""Dari sejak aku keluar dari rumah sakit, Mas Kinos langsung membawaku ke sebuah rumah. Aku pikir, mungkin dia sedang mencoba untuk menebus kesalahannya. Hari demi hari, aku merasa ada yang lain. Ternyata, aku jatuh cinta padanya, Mas. Lucu, ya? Padahal aku benci karena dia telah merenggut masa depanku, merenggut kebahagiaanku, tapi dengan mudahnya aku luluh pada per
Aku mengangguk. Kupikir, sekarang tak ada tempat yang paling bagus selain yang disarankan oleh Ibu. Masuk panti, adalah pilihan pertama. Namun hari ini, Mas Haris datang lagi dengan membawa pilihan ke dua, yaitu pesantren. Aku memang ingin lebih membenahi diri. Sudah sekian lama aku berdosa, aku bahkan sudah jarang melaksanakan salat wajib. Ya Allah, betapa berdosanya hamba. "Mana yang kamu pilih?" tanya Mas Haris. ---Seminggu kemudian. Mas Haris dan keluarga mengantarkanku ke panti, minus Arum tentunya. Wanita yang baru saja melahirkan secara caesar itu tak diperbolehkan untuk berjalan jauh lebih dulu oleh bundanya. "Maafkan Ibu ya, Rum? Ibu melakukan ini bukan karena nggak sayang sama kamu. Kamu anak yang baik, rajin, hanya saja caramu salah. Andai tak ada ilmu hitam di antara kalian, sudah pasti Ibu juga bahagia memiliki menantu sepertimu," ucap Ibu yang membuatku terharu. "Bu, Ibu lupa sama menantu Ibu yang di rumah?" tanya Mas Haris, yang membuatku terkekeh. "Aku tak akan
Aku pun masuk ke kamar, setelah mendekat, ternyata bukan ponselku yang berdering, melainkan ponsel milik Mas Haris. Aku termenung saat melihat nama si pemanggil di layar ponsel itu. Wulan? Mau apa dia menelepon Mas Haris? Teringat lagi kejadian sebelum aku melahirkan. Mas Haris malah melepaskan Wulan begitu saja karena tak tega pada Tantenya. Aku sempat protes, tapi setelah melihat langsung Tante Marini saat ke sini, aku jadi terenyuh. Anaknya hanya wulan saja, beliau sudah tua, dan bahkan sudah duduk di kursi roda untuk menjalani aktivitasnya. Namun, saat akan kuangkat teleponnya, malah keburu dimatikan. Aku jadi penasaran, kenapa di menelepon Mas Haris? Haruskah kubuka ponselnya? Tapi, apa Mas Haris takkan marah?"Kenapa, Rum?" Aku tersentak saat mendengar suara Mas Haris yang memasuki kamar. "Nggak papa, Mas. Mau ambil baju. Gerah, mau mandi dulu." "Oh, kirain Mas kamu kenapa-napa? Ya sudah, sana mandi. Biar nanti Mas belikan makan. Mau makan apa?" "Pengen yang seger-seger, Ma
Sebulan kemudian. Acara empat puluh hari kelahiran Renda diselenggarakan di rumah Bunda, serta aqiqahnya. Mas Haris sudah membeli kambing dengan ukuran besar serta sehat. Bapak-bapak sudah mulai membantu mengurus kambing, sementara ibu-ibu membantu memasak. Lina, Hana, dan juga Gina pun ikut datang bersama kedua mertuaku. Aku hanya bisa membantu sesekali saat Renda digendong oleh Om, Tante, Bunda, ataupun Ibu. "Rum, Renda nangis nih!" ucap Gina saat aku tengah memotong wortel untuk acar. "Oh, iya, sebentar aku cuci tangan dulu."Setelah cuci tangan, aku pun mengambil Renda dan menyusuinya di kamar. Kebetulan ini hari minggu, sehingga Mas Haris bisa ikut membantu yang lain. Di kamar setelah menyusui Renda, ngantuk tiba-tiba menyerang, hingga akhirnya aku pun ikut tertidur dan tak sadar ada yang masuk ke dalam kamar. Ada suara pintu tertutup, namun aku tak sanggup untuk membuka mata. Apakah tadi Mas Haris yang masuk lalu keluar lagi? Ah, terserah lah! Entah berapa lama aku tertidu