Eric benar-benar sudah kehilangan otak untuk berpikir karena pengaruh alkohol yang begitu banyak. Meski Mlathi telah terisak bahkan memohon, namun lelaki yang telah dikuasai dengan nafsu yang bergejolak tidak mengubris hal itu. Eric membuka kancing kemejanya dengan kasar lalu melepaskan dan melempar ke sembarang tempat. Hingga memperlihatkan otot-otot dada yang begitu menggiurkan, namun Mlathi tidak berpikir ke arah situ, yang terus ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah melewati malam ini.
Mlathi sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa lepas dari jeratan lelaki brengsek itu. Namun, tenaga Eric begitu besar hingga ia kewalahan untuk melawan. Sekarang hanya rintihan memohon belas kasih agar lelaki itu melepaskan dirinya.
"T-tuan tolong lepaskan saya, sadarlah Tuan! Anda sudah melewati batasnya!" teriak Mlathi saat Eric hendak mencumbui bibirnya lagi.
Namun, Eric tidak mengubris dan kembali melakukan aksinya, yang ada di otaknya s
Setelah beberapa jam Eric bermain dengan tubuh Mlathi, setelah merasa puas dan lelah. Eric dengan santainya melemparkan tubuhnya ke samping wanita yang terus terisak sembari menahan rasa sakit.Kini kedua mata Mlathi bengkak dan merah karena terus menangis tanpa henti. Dengan tubuh yang sangat lemah, ia berusaha menggapai selimut tebal di ujung kakinya kemudian menutupi seluruh tubuhnya yang kini tanpa sehelai benangpun. Wanita itu memiringkan tubuhnya dari lelaki yang telah merenggut kesuciannya dengan paksa.Tidak tahu lagi sudah ke berapa kali ia menetes air bening itu, hingga kini kedua matanya terasa sakit bahkan untuk memejamkannya saja. Mlathi terus terisak dengan perasaan yang hancur, entah nasib apa yang akan ia dapatkan setelah ini. Jika kedua orang tuanya tahu mengenai kejadian ini, maka hanya kutukan dan caci maki yang akan ia dapatkan dari mereka. Sungguh begitu miris takdir yang diberikan Tuhan padanya.Setelah beberapa menit mena
"Baiklah, jika tidak ada lagi pendapat. Rapat pagi ini kita tutup sampai di sini. Saya akan memberikan keputusan di pertemuan minggu depan!" Suara berat nan tegas itu langsung membuat semua orang yang ada di ruangan itu segera membereskan semua berkas dan menunduk hormat ketika bos besar mereka melangkah pergi yang kemudian disusul oleh asistennya."Woahh, tampan sekali! Mata tajamnya itu benar-benar membuat semua hati para wanita klepek-klepek!" seru seorang karyawan wanita sembari menatap punggung Eric dengan binar kekaguman."Kau benar, bahkan aku hampir tidak fokus saat menatap langsung wajahnya itu, hatiku terus berdetak dengan cepat. Andai dia milikku," sahut wanita lain di sebelahnya dengan helaan kasar."Mustahil! Lelaki berhati dingin seperti bos besar itu sangat sulit disentuh. Bahkan sekretarisnya yang memiliki lekuk tubuh aduhai saja tidak bisa mengalihkan tatapan datar si bos. Aku penasaran, wanita beruntung mana yang akan berhasil me
"Lalu, kemana dia?"Eric menautkan jemarinya di depan dada, tatapannya datar lurus ke depan. Berpikir apa sebenarnya yang diinginkan wanita OB itu."Apa perlu mencari informasi lengkap tentang wanita itu?" tanya Tony ketika melihat bosnya tampak berpikir. Eric menggeleng."Pergilah! Aku akan memanggilmu lagi jika aku membutuhkanmu!" ucap Eric yang lansung membuat Tony membungkuk kemudian pergi meninggalkan ruangan.Ketika pintu telah tertutup kembali, Eric kembali berusaha mengingat alasan apa yang membuat wanita itu tidak datang bekerja hari ini. Entah kenapa ia merasa ketidak hadiran wanita itu berhubungan dengannya.Tiba-tiba saja kedua maniknya menangkap gelang perak yang tergeletak di bawah meja. Karena penasaran, Eric langsung meraih gelang itu untuk melihatnya lebih jelas."Rasanya tidak asing," gumam Eric sembari berpikir.Pikirannya menelaah saat wanita OB itu memasuki ruangannya, saat itu
Seorang lelaki tampan berjalan dengan jijik melewati gang yang sempit, sesuai alamat yang di dapat oleh asistennya itu. Eric terpaksa turun dari mobilnya karena mobil tidak bisa masuk ke dalam. Dengan menghela napas berat dan kemudian menutupi hidungnya karena saat ia mulai memasuki gang itu, bau busuk mulai menyerbu indra penciumannya."Oh, Tuhan! Bagaimana bisa wanita itu bertahan hidup di tempat seperti ini," gerutunya saat Eric telah melewati gang sempit itu dan kini di depannya terdapat rumah kecil yang bercat putih kekuningan itu.Eric mengambil napas sebanyak-banyaknya karena tadi terus menahannya. "Kau tunggulah di sini, aku akan memanggilmu jika aku membutuhkanmu!" perintah Eric yang langsung di anggukkan oleh Tony.Eric melangkah lebar ke arah rumah bercat putih itu, sedikit berjalan hati-hati takut mengotori sepatu fantolennya. Setelah tepat di depan pintu berwarna kecoklatan dan tampak rapuh itu. Eric langsung mengetuknya dengan kedua jarinya. Menget
<span;>Restoran bintang tujuh, <span;>Lelaki dengan wajah datarnya, menyedekapkan kedua tangannya di depan dada sembari menatap lurus ke arah wanita yang kini tengah melahap makanan yang dua menit lalu dipesan. Lelaki dengan aura dingin itu sampai geleng-geleng kepala ketika melihat wanita di depannya itu yang makan menggunakan kedua tangan hingga belepotan kemana-mana. <span;>"Hey, tidak ada yang mau merebut makananmu! Makanmu sangat mirip seperti anjing kelaparan!" ketus Eric tidak tahan melihat tingkah laku Mlathi. Untung saja ia memesan ruang VVIP, jika tidak maka ia juga akan malu oleh wanita di depannya itu. <span;>Mlathi mendongak sembari mulutnya mengunyah daging ayam yang baru saja ia gigit, sekitarnya belopotan penuh dengan saus. Membuat Eric memandang jijik. <span;>"Hah, maaf. Aku sangat lapar. Sudah dua hari aku tidak makan." Mlathi berucap dalam keadaan mulut yang penuh hingga kalimatnya tidak
<span;>"Udah ngak usah banyak cincong, cepat tanda tangan itu. Dan biar semuanya cepat selesai!" Suara berat Eric menggema di gendang telinga Mlathi, membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. <span;>Mlathi kembali menatap map yang berisi kontrak di hadapannya. Menikah hanya dilakukan sekali seumur hidup, itu yang selalu wanita itu pegang sebagai prinsip hidupnya. Pandangan Mlathi tertunduk ke bawah dengan tangan yang mengelus perut datarnya, namun terdapat nyawa di dalamnya yang harus ia jaga. Mlathi mengigit bibir bawahnya untuk keputusan yang baginya begitu sulit. <span;>"Beri aku waktu untuk memikirkannya." Hanya kata itu yang akhirnya berhasil keluar dari bibir Mlathi. Membuat Eric yang mendengar sangat jelas menyatukan alisnya sekaligus terkejut. <span;>"What! Dari sekian banyaknya wanita di seluruh penjuru dunia yang rela mengantri ingin jadi istriku, dan kau malah butuh waktu untuk memikirkannya! Benar-benar gila!
<span;>Mlathi masuk ke dalam kontrakannya dengan lemas, menarik tubuhnya untuk merebahkan diri di kasur tipisnya. Ia memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Tangannya bergerak menyusuri perut datarnya lalu mengelusnya lembut, ia menghela napas berat sembari meratapi nasib yang baginya begitu sial. <span;>"Tidak sangka, jika aku hamil dan menikah dengan cara seperti ini," gumamnya sembari mengusap wajah kusamnya dengan kasar. <span;>"Nasib sial apalagi yang sedang menunggu di ujung sana." <span;>*** <span;>"Siapkan semua keperluan pernikahanku, dan ingat hanya beberapa orang penting saja dan jangan mengundang media!" tegas Eric sembari berjalan menyusuri koridor perusahaannya. Tony yang membututi hanya mengangguk mengerti. <span;>Eric masuk dan segera duduk di kursi kekuasaanya sedang Tony kembali keluar untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan tuan besarnya. Saat keluar, ia
<span;>Disaat sedang bingung di tempat, tiba-tiba seseorang menyapa dari arah belakang membuat Mlathi langsung berbalik dengan terkejut. Kemudian menghela napas lega ketika melihat wanita paruh baya yang mengenakan seragam pembantu yang sering ia lihat di gambar-gambar cerita dongeng istana. Wanita paruh baya itu tersenyum sembari sedikit membungkuk. <span;>"Maaf, Nyonya. Tuan Eric memerintahkan kepada saya untuk membawa Nyonya ke kamar. Mari ikut saya," ujarnya dengan lembut sembari mengambil alih tas dari genggaman tangan Mlathi. <span;>"Eh, tidak usah. Saya bisa sendiri." <span;>"Tidak apa-apa Nyonya, ini sudah menjadi bagian tugas kami." Mlathi terpaksa menyerah dan membiarkan wanita itu mengambil tasnya. Lalu mengikuti langkah wanita itu. <span;>Dalam perjalanan melewati anak tangga yang berwarna keemasan itu, Mlathi tiada henti-hentinya terus memandang takjub sekitarnya. Tanpa rasa malu, ia bahkan be