REYSHAKA
"Nak ini boleh?"
"Tak boleh!"
"Nak itu boleh?"
"Tak boleh!"
Shanum langsung berhenti dan menatapku dengan ekspresi yang penuh dengan kejengahan.
"Tujuan kamu ngajak aku kesini apa sih Mas? Pamer doang?"
Tingkah lucunya persis dengan Eca yang sedang ngambek karena nggak diperbolehkan membeli sesuatu yang dia suka.
Aku tak pernah punya alasan untuk tidak tertawa kalau sedang bersama Shanum. Seperti hari ini, aku sedang berada di sebuah Mall, kita sudah seharian muter-muter
SHANUMTidak begitu jelas dalam ingatan semalam aku tidur jam berapa. Seingatku, setelah papa dan beberapa keluarga sampai di sini, aku menyambut mereka dengan penuh haru.Janjiku untuk tidak menangis lagi terpaksa aku langgar karena saat Mbak Kinan—sepupu iparnya Mas Rey—langsung memelukku erat sambil membisikan sebait doa juga pembangkit semangat.Selain Mbak Kinan dan Bang Alfa, ada beberapa keluarga yang ikut kesini dengan papa. Kak Dito, Om Arkan, Bang Ilyas dan adiknya—Azkia— serta ada satu lagi yang aku belum kenal. Beliau memperkenalkan diri sebagai Om Angga, kata papa, beliau ini adalah suami dari kakaknya mama.Kehadiran mereka di sini menambah lagi kekuatanku, seti
SHANUMUntukbidadariku,Aku tak inginKau menangis bersedihSudahi air mata darimuSemua keinginan akan aku lakukanSekuat semampuku sayangKarnabagiku kaukehormatankuHanya satu pintakuUntukmu dan hidupmuBaik-baik sayangAda aku untukmuMalam ini aku baru sempat membaca surat dari Mas Rey yang dititipkan ke dr. Bams kemarin, tadinya mau terharu tapi nggak jadi, akhirnya malah ngakak sendiri. Betapa nggak modalnya suamiku itu, mau menggombali
REYSHAKA"Ris, Shanum di mana?""Shanum? Nggak kemana-mana kok! Masa nggak ada?"Haris yang sedang ngobrol bersama Pakde Basuki langsung ikut masuk ke ruang tamu bersamaku.Kehebohanku mencari Shanum membuat orang-orang juga ikut heboh, Bang Nadim mencoba menghubungi nomor Shanum dan ternyata dering ponselnya terdengar di kamar."Hp nya ada di kamar, orangnya dimana?" ujar Haris yang baru saja memeriksa kamar.Bukan hanya aku, tapi abah, papa dan yang lainnya juga ikut panik karena Shanum tidak ada di rumah. Tapi mungkin paniknya karena melihat aku yang muter kesana kemari sambil berisik kayak anak ayam kehilangan induknya."Tadi pagi dia ke sekolah nggak, sih?" tanya Bang Nadim."Ke sekolah tapi cuma sebentar, udah pulang kok." jawab Mbak Yas.Mereka semua lagi mau ngerjain aku kah? Kalau iya, beneran udah berhasil, aku udah panik banget ini, tapi kenapa Shanum nggak juga muncul bawa bunga atau apa gitu?"Astaghfirullah, Abah lupa, Rey!!"Semua mata langsung tertuju pada abah."Motor
REYSHAKABeberapa hari setelah kasusku selesai, alhamdulillah kini hidupku kembali normal.Normal versiku itu berbeda. Kalau biasanya habis shubuh nggak bisa tidur lagi, sekarang bisa bangun jam 8. Kalau biasanya pulang malam jam 10 sekarang jam 10 sudah peluk istri di rumah. Kalau biasanya nggak bisa tiap hari jemput istri pulang kerja, sekarang bisa rutin tiap hari jemput.Oke. Daripada bingung kebanyakan ngomong, aku singkat saja, sekarang aku pengangguran. Udah gitu aja.Saat ini aku lebih banyak membantu abah, entah itu ngaji, di panti atau membantu mengurus ternaknya. Setiap harinya anak-anak kandung abah pergi kerja dan mantu-mantunya di rumah, sungguh menggelikan.Tetap harus mengucap alhamdulillah. Nikmati dulu sebagai waktu istirahat, setelah ini aku akan membawa Shanum ke Semarang dan mulai mencari kerja lagi."Jemput Bu Shanum, Dok?" tanya seorang wanita yang menghampiriku."Iya."Wanita yang aku tebak dari seragamnya adalah salah satu guru sekolah ini masih betah berdiri
REYSHAKA"Dari awal aku udah menyiapkan diri, lahir batin sih, Rey! Tapi ternyata kadang sifat manjaku keluar juga. Kayak sekarang ini, udah nunggu dia lama banget, tapi nggak juga datang jemput."Sebelum merespon curhatan Kak Alea aku menggerakkan tanganku agar Kak Alea mengangkat kepalanya yang menyandar di lenganku. "Jangan nempel-nempel, Bang Luham lihat nanti aku bisa diruqyah sama dia!"Kak Alea tertawa lalu segera menegakkan duduknya. "Maaf, pusing banget soalnya, lagian Sama adiknya juga! Dia udah kebal, udah sadar kalau aku bucin parah ke dia!"Aku membalas tawanya, tau banget gimana perasaannya. Nggak mudah juga menjadi pemimpin di usia yang masih terbilang muda. Apalagi tipe Bang Luham itu sangat berdedikasi sekali pada pekerjaannya, dan Kak Alea ini tipe yang mandiri tapi manja.Gimana tuh? Bingung nggak? Mandiri tapi manja?Ya pokoknya gitu.."Memang Bang Luham sampai malam terus?""Ya enggak. Sore paling udah pulang. Tapi tau nggak sih, sore pun pasti ada aja yang datang
SHANUMSubhanal malikil quddus...Subbuhun quddusun rabbunaa wa rabbul malaa-ikati warruh...Semudah itu air mataku menetes hanya karena mendengar Sang Imam melafadzkan kalimat itu sehabis sholat witir di malam ramadhan ini.Ramadhan kali ini terasa lebih bermakna. Jika tahun lalu aku masih amnesia dan sibuk menata hidup kembali, sehingga segala kenikmatan ramadhan terlewat begitu saja, maka tahun ini aku merasakan berkah yang luar biasa.Ramadhan ini aku jalani bersama orang-orang terkasih, meskipun harus jauh dari abah tapi di sini aku sama sekali tidak kekurangan kehangatan keluarga.Tarawih malam ini dilaksanakan di rumah, lengkap. Mama, papa, Arsha dan Mas Rey sebagai imamnya."Mbak? Ngapain nangis?" tanya Arsha yang membuat semuanya jadi menoleh ke aku, apalagi Mas Rey yang tadinya sedang khusyuk meneruskan dzikirnya langsung balik badan.Mama yang duduk di sampingku juga langsung memegang pundakku. Begitu juga dengan papa yang langsung menatap khawatir.Si Arsha bikin gara-gara
SHANUM"Besok kita tarawih ke tempat Kak Alea yuk! Udah lama nggak main kesana! Kangen juga!"Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.Mas Rey merubah posisinya jadi miring menghadapku. Sambil bersedekap dia diam menatapku."Kenapa?""Cemburu nggak?" tanyanya balik."Hmm? Gimana?"Bukannya menjawab, dia malah mencibirkan bibirnya, sambil komat-kamit nggak jelas."Cemburu nggak kalau dengar suaminya semangat menceritakan wanita lain?"Detik itu juga aku paham, Mas Rey sedang memancingku. "Cemburu lah, masa enggak!" jawabku.Jujur kok, memang ada rasa nggak nyaman.Mas Rey makin tersenyum lebar, kini dia sudah menghapus jarak diantara kita, mendekapku erat dan mengecup keningku."Ngomong dong! Jangan cuma sibuk dengan pikiran sendiri, kalau pikiran kamu benar ya nggak masalah, tapi kalau sampai nggak benar kan repot. Jadi salah paham.""Jadi sengaja nih?"Dia mengangguk, "Soalnya kamu langsung diem aja sehabis kita belanja tadi, padahal pas belanja kayak reporter bola, aku mi
REYSHAKAEntah berapa kali aku melihat Shanum merubah posisi, sejak tadi keluar dari rumah dia terlihat tak tenang dan gelisah. Tepat disaat lampu kuning bergeser naik ke warna merah, aku menginjak rem agar selamat dari kejaran Om Pol. Intinya lagi lampu merah jadi harus berhenti."Kenapa sih? Laper?" tanyaku.Shanum langsung mengerucutkan bibirnya, pengin banget dicium.Astaghfirullah, puasa Rey! Tahan!"Deg-degan Mas!""Ya Alhamdulillah kan kalau masih deg-degan!"Lagi-lagi dia protes kali ini mengerang frustasi sambil memukul lenganku berkali-kali. "Aku takut mau ikut simaan, duetnya sama senior-senior yang masyaallah lanyahnya!"Persis seperti dugaanku, Shanum resah daritadi karena memikirkan simaan keluarga yang hari ini akan dilaksanakan di rumah Simbah, pesantren pusat.Selepas shubuh tadi aku mengantarnya menuju tempat acara, sedangkan mama akan menyusul nanti agak siangan.Keresahan Shanum tidak hanya pagi ini saja, sejak semalam dia sudah sibuk banget murojaah, sampai sepert