Cakra begitu terganggu saat melihat noda merah yang terdapat di sprei putih. Dia juga mengingat bahwa semalam, dirinya begitu kesusahan untuk memasuki labirin kenikmatan milik sang kakak ipar.
Semburat merah kini nampak pada wajah Cakra. Tatkala dia mengingat momen yang terjadi tadi malam bersama dengan sang kakak ipar.Akan tetapi, sedetik kemudian wajah tersipu itu berubah kembali. Kini Cakra menunjukkan wajah penasarannya.“Apa maksud pertanyaanmu? Aku tahu dulu kita memang berteman. Tapi rasanya tidak etis kamu menanyakan hal seprivasi itu padaku, yang empat tahun sudah menjadi kakak iparmu!” elak Mitha.“Aku tahu, tapi aku butuh kejelasan. Jika iya, sungguh tega sekali kakakku tidak memberikan nafkah batin untuk istrinya. Padahal sudah empat tahun menikah!”Ada nada kesal yang terdengar dari setiap kalimat yang diucapkan Cakra.“Tapi bukannya lebih tega kamu, ya, Cak? Adik mana yang berlaku kurang ajar pada istri kakak kandungnya sendiri!” serang Mitha, yang bersikukuh tidak ingin kalah.Tangan Mitha gemetar sekarang. Dia mencoba untuk menahan segala macam perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Otak dan jantungnya kini seolah mau meledak, membabi buta menunpahkan semua kekecewaannya yang sudah dia rasakan sejak kemarin.Ah … tidak, bukan sejak kemarin. Namun, sejak empat tahun yang lalu.“Mith, aku tahu aku salah. Aku sudah mengakui itu. Tapi masalah kamu itu lain hal lagi. Jika iya, kakakku berlaku demikian, aku akan menegurnya!”“Apa? Menegur?” Mitha terkejut dengan ucapan Cakra, yang terkesan tidak dipikir ulang.Bodohnya, Cakra mengangguk. Seolah dengan terang-terangan mengiyakan pertanyaan Mitha.“Sejak kapan kamu jadi sebodoh ini, Cak?” serang Mitha, kini suaranya benar-benar gemetar, “kamu mau menegurnya dengan perkataan seperti apa? Berkata kalau kamu sudah memastikan bahwa aku selama empat tahun ini masih perawan? Itu sama saja menggali lubang kuburan sendiri!” geram Mitha.Kedua mata Mitha kini sudah terlihat berair. Dia sepertinya sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang menyayat hati.Mitha seperti terkena serangan dua kali; melakukan dosa besar dengan sang adik ipar, dan rahasia besarnya ketahuan oleh sang adik ipar.“Sudahlah, kamu tidak usah repot-repot mengurusi rumah tangga seseorang. Ini masalahku, dan jangan pernah ikut campur dengan apa pun masalahku!” tergas Mitha.Melihat sang kakak ipar yang sudah tersulut emosi, membuat Cakra bungkam. Di satu sisi, ucapan kakak iparnya memang benar. Cakra terlalu gegabah mengambil keputusan, akibat emosi yang seharusnya tidak dia luapkan.Mitha melirik pada jam di dinding, “Sudah jam delapan. Bukannya niatmu datang ke Bandung, untuk pekerjaan? Segera bersiap dan pergilah, jangan kamu datang lagi ke sini. Dan, lupakan apa yang terjadi di antara kita. Pura-puralah kamu tidak mengetahui kelemahanku.”Setelah berkata demikian, Mitha memutsukan untuk pergi. Dia kembali menuju kamarnya. Kemudian mencopot sprei yang sudah ternoda dengan dosa besarnya.“Ah, Mitha. Kenapa jadi seperti ini?” lirih wanita itu.Tubuh Mitha kini merosot dan duduk di atas lantai. Dia meluapkan kepedihan yang dia rasakan. Air mata pun sudah tidak bisa untuk Mitha bendung lagi. Dirinya meratapi nasib buruk yang sedang menimpa dirinya.“Andai saat malam pertama aku tidak menolak ajakan Mas Candra. Mungkin kisahku tidak akan seperti ini,” isak Mitha.Penyesalan. Satu kata itu yang kini menggambarkan perasaan Mitha.Tidak ada asap, jika tidak ada api. Perilaku Candra, yang terang-terangan tidak memberikan nafkah batin pada Mitha. Tentu tidak mungkin jika tidak ada sebabnya. Mitha yakin, karena penolakannya malam itu membuat Candra kapok untuk mengajaknya bercinta.Saat itu, Mitha masih sangat polos dan selalu merasa takut. Seolah malam pertama adalah momok yang sangat menakutkan. Hal ini bisa tertanam dalam pikirannya, karena sering mendengar ucapan teman-temannya, yang pertama kali melakukan hubungan badan.“Ah, Tuhan. Apakah aku bisa kembali membalikkan waktu?” tanya Mitha.Rasanya Mitha ingin kembali ke malam itu. Malam di mana Candra berusaha untuk menggaulinya sebagai istri. Mitha pasti tidak akan melakukan hal yang tidak Candra suka. Karena dulu, Mitha pernah menendang Candra, karena merasa takut pada laki-laki yang sudah jelas menjadi suaminya.***Cakra sudah siap untuk berangkat. Dia melihat pintu kamar milik kakak iparnya masih tertutup rapat. Cakra kemudian menghampiri pintu tersebut. Kemudian dia menempelkan daun telinganya pada daun pintu.Mata Cakra seketika membulat saat mendengar isakan tangis dari dalam sana. Perasaan bersalah kini mengakar di dalam diri Cakra. Sepertinya setelah ini, dia sudah tidak memiliki muka untuk bertemu dengan kakak iparnya.“Mith, aku benar-benar minta maaf,” lirih Cakra sambil memegang daun pintu. Dia telampau takut untuk menghampiri Mitha.Cakra menyandarkan punggungnya pada daun pintu. Matanya sayu sekarang. Otaknya masih memutarkan pertanyaan yang sama.Namun, saat kedua bola mata kehitamannya melihat sebuah foto dalam bingkai besar yang menempel di dinding. Seketika perasaannya kembali berapi.“Sebenarnya apa yang kamu pikirkan, Candra? Kenapa kamu malah melakukan hal ini pada istrimu? Sebagai laki-laki normal, apakah kamu tahan pada istrimu sendiri?”BERSAMBUNG ….Tatapan kosong Mitha mengundang teman di sampingnya penasaran. “Mith,” panggil Anin sambil menyikut tangannya. Mitha langsung menoleh dengan wajah yang nampak sangat linglung. “Kamu kenapa? Semalam lancar, kan?” tanya Anin sambil menggoda.“Oh.” Mitha langsung terkesiap, lalu tersenyum canggung. Pikirannya sekarang sedang berkecamuk dengan tragedi semalam. “Kenapa ‘oh’ doang?” Anin nampak kecewa dengan jawaban temannya.Mitha kembali fokus dengan layar komputernya. Hari ini dia harus mengedit foto produk sebanyak 12 slot; 1 slot berisi 10 foto.“Kamu kepo banget, sih sama urusan ranjang orang, Anin,” sindir Mitha tapi sambil tersenyum kecil. Dia tidak ingin menampakkan rasa kesedihannya. Anin segera menggeser kursinya, mendekat ke arah Mitha. “Bukan begitu. Aku pengin tahu aja, kalau seragam dinasmu itu berhasil bikin suamimu kelepek-kelepek,” bisik Anin dengan suara pelan. Mitha kembali tersenyum. Mitha sudah sangat handal jika menampilkan senyuman palsu. Kemudian dia menggeser
Semalam Candra benar-benar tidak pulang. Padahal Mitha menunggu kedatangan suaminya semalaman. Bahkan dia sampai harus tertidur di ruang tamu.Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kini akhirnya Candra pulang ke rumah dengan masih memakai pakaian yang sama seperti semalam. “Sudah pulang, Mas?” sapa Mitha. Dia berusaha untuk bersikap normal. Mitha tidak ingin mengungkit kembali kejadian semalam. Sudah cukup sakit rasanya dia berdebat dengan suaminya. Sebenernya pertengkaran rumah tangga ini sudah berlangsung hampir satu tahun. Mereka sering kali meributkan hal yang sepele. “Iya.” Candra menjawab dengan sangat singkat. “Sudah sarapan? Aku sudah buatkan tumis cumi kemangi kesukaannya Mas.”“Nanti, aku mandi dulu,” jawabnya. Kemudian dia segera masuk ke kamar. Mitha tersenyum simpul. Kemudian dia kembali dengan pekerjaan rumahnya. Tidak lama Candra keluar dari kamar mandi. Kemudian segera menuju ruang makan. Mitha yang melihat suaminya sudah bersiap untuk makan, langsung sigap m
Kondisi Mitha dan Candra masih dalam mode perang dingin. Padahal sudah hampir satu minggu berlalu. Di rumah, mereka berdua tak banyak bertegur sapa. Bahkan Candra terkesan menghindar dari Mitha. Namun, siang ini tiba-tiba ponsel Mitha berdering. Wanita yang kini sedang menatap layar komputernya, mau tidak mau mengalihkan pandangannya. “Mas Candra?” gumam Mitha, saat layar ponselnya menampilkan kontak sang suami. Tanpa berpikir panjang, Mitha langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Mas. Ada apa?” tanya Mitha. “Kamu pulang jam berapa?” Tanpa berbasa-basi Candra langsung balik melemparkan pertanyaan. Mitha melirik ke arah jam digital yang ada di meja kerjanya, “Satu jam lagi,” jawabnya.“Nggak akan telat pulang, kan?” tanya Candra lagi.Tidak biasanya Candra menanyakan jam kepulangan Mitha. Bahkan sampai bertanya seperti itu. Hal itu sukses membuat Mitha tersenyum simpul. “Tidak, Mas. Ada apa? Mas pengin aku masakin sesuatu?” tebak Mitha. “Bukan. Cakra mau ke rumah,” jawabnya d
“Jadi malam ini ditraktir Anisa?” tanya seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dia adalah Dina.“Iya. Tapi aku pengin semuanya datang, ya. Males kalau ada yang absen, terus minta traktiran terpisah,” timpal Anisa.“Mas mas bagimana? Bisa, kan?” tanya Dina, sambil menoleh ke belakang bertanya kepada para pria yang ada di ruangan itu. “Aku absen dulu sekarang. Adikku datang,” kata Candra, yang sedang sibuk merapikan berkas dan memasukan pada tas hitamnya. Semua orang di sana kompak berdecak.“Adik doang, kan? Emangnya adikmu itu masih bocah sampai harus disambut masnya?” cibir Faisal.“Bukannya di rumah ada istrimu, Mas?” tanya Anisa. Candra mengangguk.“Ya sudah, adikmu itu biar jadi urusan istrimu saja. Lagi pula kita tidak akan sampai tengah malam, kok. Menolak rezeki itu tidak baik, Mas Candra,” imbuh Anisa. Candra terdiam, dia mencoba menimbang. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Terdapat pesan dari Mitha, yang memberi tahu kalau Cakra sudah ada di r
Akhirnya pertanyaan yang sebelumnya hanya Mitha pertanyakan pada dirinya sendiri, kini bisa ia lontarkan pada suaminya.“Apakah ada rasa cinta untukku, Mas? Rasanya selama empat tahun kita menikah, kamu terlihat tidak peduli padaku. Bahkan untuk menyentuhku saja, sepertinya kamu terkesan anti sekali,” cerocos Mitha. Walau begitu, terdengar getaran dari setiap kata yang terucap dari bibirnya. Candra hanya merespon dengan sebuah decakan. Dirinya nampak tidak peduli dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh istrinya.“Mas, jawab!” kata Mitha dengan sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Apa, sih, Mith?” Candra merasa gerah dan kesal dengan pertanyaan dari istrinya. “Jawab, Mas!” Mitha menuntut, bahkan sekarang matanya sudah berkaca. “Pertanyaanmu itu tidak penting untuk aku jawab,” sangkal Candra.Seakan pria itu menghindar untuk menjawab pertanyaan istirnya. “Penting! Itu penting untukku, Mas!” paksa Mitha.Selama empat tahun Mitha merasa kalau hanya dirinya saja yang mencinta
Candra terlihat terkejut, saat mendapati sosok adiknya berjalan dengan bergegas menghampiri dirinya. Cakrawala, kini berdiri tepat di hadapan Candra. Mencoba berdiri di antara Candra dan Mitha. “Apa yang kamu lakukan pada Mitha?” todong Cakra. Jelas, di dalam kamar Cakra bisa mendengar pertengkaran rumah tangga kakaknya. Awalnya Cakra merasa tidak peduli dan tak ingin ikut campur. Karena dia sendiri merasa bersalah pada kakaknya. Namun, ketika Candra mulai meninggikan suara dan sampai berbuat kekerasan fisik pada Mitha. Sebagai laki-laki tentu saja Cakra tidak bisa tinggal diam.“Cih! Aku lupa kalau ada orang yang menumpang,” cibir Candra, “sudah anggap saja kamu tidak mendengarkan apa-apa. Dan jangan sekali-kali kamu mengadukan ini pada Mama,” ancam Candra.Mendengar perkataan sang kakak, yang terdengar angkuh dan tidak ada sedikit pun terdengar nada bersalah dari perkataannya. Membuat Cakra harus mendengus dan menggelengkan kepalanya. “Mana bisa aku diam saja. Mas, melakukan keke
Dada Mitha bergemuruh, saat mendengar pernyataan Cakra yang terkesan tidak sopan.“Kenapa aku harus menggugat suamiku?” tanya Mitha dengan tatapan membulat.Namun, reaksi Cakra nampak terkejut sekaligus bingung, dengan pertanyaan dari Mitha. “Lho? Bukankah semalam kamu meminta diceraikan pada Mas Candra? Kenapa sekarang kamu malah melemparkan pertanyaan seperti itu?” kata Cakra tak terima. Semalam Cakra mendengar dengan jelas pertengkaran mereka berdua. Cakra juga kini mengetahui alasan kenapa kakak iparnya itu belum terjamah oleh suaminya. “Kamu tidak tahu bagaiman sifat perempuan, ya. Mereka akan bertindak sebelum berpikir panjang,” ucap Mitha. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu terasa dingin. Cakra hanya bisa mengerutkan kedua alisnya. “Sudahlah, Cak anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Aku dan Mas Candra juga sudah baikan. Dia sudah minta maaf padaku dan begitupun sebaliknya,” papar Mitha. Alih-alih ingin menenangkan Cakra, agar dia tidak berpikir macam-macam tentan
“Mas, kamu tahu, hari Senin aku ada kerja paruh waktu di mana?”Seorang wanita bersurai panjang berwarna golden brown, sedang membelai perut lawan jenisnya dengan sangat nakal. Mereka sedang bersantai di sofa sambil menonton tayangan televisi. “Di mana?” sahut pria yang ternyata adalah Candra.“Aurora Foto Produk,” jawabnya sambil mengerlingkan pandangan pada pria yang ada di sampingnya. Seperti sedang menantikan respon orang yang ada di sampingnya. Untuk sesaat, Candra menghentikan aktivitasnya yang sedang memakan buah pemberian dari wanita itu. Kemudian dia menoleh dengan tatapan membulat. “Ngapain kamu kerja di sana?” tanyanya dengan nada bicara yang sedikit meninggi.“Aku menggantikan model yang seharusnya foto di sana. Lumayan, Mas duitnya. Satu jam aku dibayar 200.000 rupiah.” Candra langsung menarik punggungnya dari sandaran sofa. “Tidak usah. Memangnya uang yang aku berikan padamu kurang? Untuk apa juga kamu bekerja paruh waktu di sana, Keyza?”Intonasi bicara Candra sedi