Share

Hanya Seorang Diri

“Hahahaaa ....Selamat, anak mama tersayang!”

Aku masih saja mendengar suara tawa penuh kebahagiaan dari luar kamarku yang memang bersebelahan dengan milik Mouren–anak yang dibawa ibu tiriku.

Hal ini menarikku kembali ke masa lalu.

Saat aku berusia 9 tahun, Ibuku meninggal dan Ayah resmi menikahi Mama Lida tak lama setelahnya.

Hanya butuh waktu lima bulan, Mama Lida dan Mouren datang ke rumah ini–membawa perubahan besar di hidupku.

Aku bagaikan anak yang tidak terurus, tidak diperhatikan, dan sering diacuhkan.

Namun, aku ikhlas dan berlapang dada karena tahu jika melawan pun, akan percuma.

Dulu, aku pernah juara 2 dan Mouren juara 1, tetapi hanya dia yang mendapatkan selamat. Mereka menulikan telinga atas pemberitahuanku mengenai pencapaianku.

Kuakui Mouren yang merupakan blasteran Indonesia dan Jerman itu cukup cantik dan juga lumayan pintar.

Mungkin, sebab itulah, Ayah dan Mama Lida, memprioritaskan pendidikannya dari awal hingga kini. 

Perih, jika kuingat masa itu.

‘Kupikir, jika hubunganku dan Abimanyu berhasil, mungkin aku akan segera lepas dari siksa hati dibeda-bedakan dan diabaikan,’ batinku perih, ‘ternyata, aku salah.’

******

"Bagaimana hubungan kamu sama Abimanyu, Ra? Katamu, Abimanyu sudah kembali," ucap Mama Lida melempar tanya kepadaku saat kami berempat sedang makan malam.

Aku sontak menarik napas berat.

Pertanyaan Mama Lida kembali menyakiti hati ini.

"Sudah selesai, Ma." Aku menjawab sambil menunduk

Brak!

"Apa?" 

Ayah begitu terkejut mendengar jawabanku. Bahkan, dia menggebrak meja makan cukup kuat–membuat kami juga ikut terkejut.

"Kenapa bisa? Kamu benar-benar anak tidak berguna! Sudah kurang pintar dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Sekarang, percintaan juga?” omelnya, “membesarkan anak seperti kamu ini, sungguh sangat merugikan ...."

Ya Allah, kenapa ucapan Ayah selalu saja kasar begini padaku?

Apa di matanya, aku benar-benar tidak membantu sama sekali?

"Ayah, jangan begitu sama Nara, kita kan tidak tahu kenapa dia sampai putus sama Abimanyu," tegur Mama Lida dengan lembut pada Ayah.

Aku menoleh ke arah wanita itu.

Jujur saja, sikap Mama Lida selalu berubah-ubah.

Di depan Ayah, dia bersikap bak malaikat, tapi di belakang Ayah, ucapannya cukup menyakitkan jika bicara padaku.

"Mama, jangan belain anak tidak berguna ini terus! Aku ini seorang Manager di perusahaan Papahnya Abimanyu!” ucap ayah, “Abimanyu itu calon pemimpin perusahaan. Mau ditaruh di mana mukaku ini jika orang kantor tahu bahwa anak ini sudah tidak ada hubungan lagi dengan keluarga Abimanyu?”

“Bisa-bisa, hilang rasa segan mereka padaku," gerutunya.

"Tenang, Ayah. Jangan panik begitu. Lagian, jika Nara gagal dengan Abimanyu, itu bukan salahnya Nara, memang mereka saja yang tidak berjodoh," ujar Mama Lida lagi.

"Memalukan!" Ayah menatap tajam kepadaku. 

"Jika bukan karena diri yang hanya lulusan SMA, tidak mungkin hubungan kami berakhir," jawabku pada akhirnya.

"Siapa suruh kamu tidak sepintar Mouren?!" bentak Ayah lagi.

Tanganku seketika mengepal.

"Sebenarnya, yang anak Ayah itu, siapa? Aku atau Mouren? Kenapa aku selalu Ayah hina, sedangkan dia dibangga-banggakan? Akulah yang terus dituntut untuk mengalah, bahkan tidak berkuliah hanya karena Mouren ingin melanjutkan kuliah di luar negeri."

Ucapanku seketika membuat hening ruang makan. Namun, itu tak berlangsung lama karena ayahku kembali emosi.

"Diam kamu! Anak tidak tahu diuntung. Jika kamu sepintar Mouren, Ayah juga pasti akan kuliahkan kamu," jawab Ayah sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku terdiam. Rasanya, percuma. Makan malam hari ini kembali sangat tidak nyaman.

"Ayah, jangan keras begitu sama Kakak. Kasihan Kakak, demi aku, dia rela mengalah," ucap Mouren mendadak.

Kulihat ia memasang wajah sedih ke arahku.

"Lihat dia! Meskipun kamu singgung perasaannya, Mouren tetap membela kamu. Begitu baiknya Mama Lida dan Mouren sama kamu, bisa-bisanya kamu berkata seperti tadi? Untung saja, kamu anak kandungku. Jika bukan, sudah kuusir kamu dari rumah ini," ucap Ayah kasar.

Aku terhenyak. Ingin sekali air mata ini tumpah di meja makan ini. Namun, sekuat tenaga, aku menahannya.

"Sudah-sudah, lebih baik kita fokus makan saja! Jangan terlalu ribut terus," timpal Mama Lida.

Sepasang ibu anak itu berperan “mendamaikan” aku dan ayah.

Sejurus kemudian, ayah pun mendengus dan menatapku dengan ketidaksukaan yang begitu besar.

Ayah kandungku serasa Ayah tiri.

Tanpa kata, aku pun menghabiskan makan malamku, lalu kembali ke kamar dengan hampa.

"Sesakit inikah rasanya?" keluhku, "andai Mamah masih ada, ingin sekali aku mengadu sambil didekapnya.”

Aku menarik napas. Bukan hanya putus cinta, tapi aku dikucilkan dalam keluarga–dianggap sampah tidak berguna. 

“Jika bunuh diri tidak berdosa, mungkin aku lebih memilih mati dan menyusul Mamah," lirihku seorang diri.

Namun, aku menyadari pikiran bodohku itu. 

Kugelengkan kepala sembari menutup mata, "Maafkan aku, ya Allah jika hamba mulai kembali mengeluh lagi. Aku memang tidak sepintar Mouren di mata Ayah, tapi aku juga bukan anak yang bodoh. Aku memang tidak pernah dapat juara 1 selama sekolah. Tapi, bukan berarti aku tidak pernah juara."

"Aku tidak bisa begini terus, aku harus membuat perubahan dalam hidupku!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status