Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas.
"Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu.
"Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"
Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"
Renata dan Ines mengangguk bersamaan.
"Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.
Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.
Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?"
"Tiga puluh?"
"Tiga puluh satu?"
Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal
Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.Lagi-lagi Renata kagum dengankebrangasankecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh.Ada apakah antara Ines dengan Satria?Seseorang mengetuk pintu.“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di
Renata mandi dengan lesu dan masih terisak-isak. Bagaimana tidak, setelah tadi sore menoreh luka di hati karena jalan dengan Dewi, sekarang Bagastya malah membentak-bentak seolah yang bersalah itu dirinya. Belum cukup hanya dengan tindakan yang membuat cemburu, lelaki itu mulai menggunakan kekerasan.“Renata? Kamu enggak papa di dalam situ?” Bagastya mengetuk pintu beberapa kali. Karena Renata terlalu lama di dalam, ia mulai resah.“Renata? Renata!”“Apa lagi?” Terdengar balasan yang cukup keras. Rupanya yang dipanggil merasa risih. “Kenapa panggil-panggil?”“Enggak, enggak. Aku takut kamu kenapa-napa.”Renata kontan manyun mendengar itu.Apa gunanya menanyakan itu sekarang, Bagastya? Sejak kamu memiliki Dewi, aku enggak pernah baik-baik aja.Tangis Renata pun kembali terburai. Bahkan aroma wangi sabun dan guyuran air hangat tidak mampu membuatnya merasa lebih nyaman.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, Renata keluar deng
Setelah drama semalam, Renata bangun kesiangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Ia menoleh ke sekeliling untuk memindai keberadaan Bagastya. Kamar itu hanya terisi dirinya. Aita bangkit dan mencari ke ruang tengah. Tak ada jejak lelaki itu.“Lea, Pak Bagas ke mana?” tanyanya pada asisten rumah tangga.“Tadi berangkat sewaktu masih gelap. Enggak tahu ke mana, Bu.”Rasa kesal dan kecewa segera menggelembung di hati Renata. Ia kembali ke kamar untuk mencari ponsel. Ternyata ada pesan dari Bagastya tadi pagi.Aku berangkat subuh, soalnya udah janji mengantar Nayla ke Dufan.Napas Renata sontak tersengal. Mereka sekarang tengah piknik ke Dufan! Bayangkan itu! Dibantingnya ponsel ke sembarang arah. Beruntung benda itu terempas di kasur, memantul aqqaasedikit, kemudian mendarat di bantal sehingga Renata tidak perlu kehilangan hak milik lagi.Tetap sayang? Tetap milikku? Semuanya akan baik-baik saja? Aku bahkan akan menikmatinya? Preeettt!Renata ingin menangis. Apa
Renata dan Ines kembali ke rumah dengan setengah berlari. Duda tampan di seberang itu bagai magnet bagi keduanya. Saat sampai di depan rumah Renata, pria itu tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon."Bang, sudah lama datang?" tanya Ines dengan terengah."Baru aja." Satria berdiri, kemudian menyalami keduanya."Kok enggak masuk, nunggu di rumah saya?" tanya Renata."Ah, sungkan. Saya lebih senang duduk di pinggir sungai ini sambil melihat orang olahraga di hutan kota.""Mana barangnya, Bang?" tanya Ines lagi.Satria menunjuk dua koper besar yang diletakkan di depan pintu gerbang.
Renata menyetir dengan berdebar. Sosok jangkung di sampingnya membuat jantung bergetar. Semakin diamati, pria itu semakin mengundang rasa ingin tahu. Selain postur tubuh dan wajah yang rupawan, raut wajah itu begitu unik karena memancarkan sesuatu yang asing.Renata banyak berjumpa dengan klien dari berbagai kalangan. Ia terbiasa untuk mengenali kepribadian orang. Dari yang paling pendiam hingga yang senang berbicara berember-ember banyaknya. Dari yang mudah dimengerti hingga yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk mendekati. Dari semua jenis kepribadian itu, tidak ada yang seperti pria di sampingnya ini. Walau mudah tersenyum dan cukup banyak berbicara, auranya dingin, seperti terdapat semacam benteng yang membatasi mereka.“Kita mencari panggan
Renata dan Satria membawa barang – barang belanjaan masuk ke rumah. Renata meminta Satria membawa troli ke teras belakang yang menyambung dengan dapur. Ia sengaja merancang dapur terbuka agar saat meracik masakan bisa mendapat udara segar dan menikmati pemandangan taman serta koleksi sukulen milik Bagastya. Untuk itu ia meletakkan meja kayu panjang di tengah teras untuk melakukan pekerjaan dapur seperti memotong dan membersihkan bahan makanan. Bagastya kerap ikut duduk di situ. Sambil mengamati tanaman kesayangan, ia mengambil lauk yang selesai di goreng. Tak jarang makanan itu nyaris habis di meja itu tanpa sempat disajikan di ruang makan.Sambil mencuci ikan yang telah disiangi oleh penjual, Renata mengembuskan napas panjang berkali - kali. Betapa berbedanya situasi saat ini. Tidak ada Bagastya yang duduk di belakangnya, m
Sementara itu, di suatu tempat di Dufan..."Capek, Dew?" tanya Bagastya. Mereka duduk di restoran yang terletak di pinggir laut. Makan siang telah habis dan kini saatnya menikmati pemandangan pantai Ancol dengan ombak yang bergulung serta angin yang semilir. Bertiga dengan Dewi dan Nayla, Bagastya mengistirahatkan tubuh setelah sepanjang pagi berkeliling lokasi."Enggak. Biar aja begini," ujar Dewi yang menggendong Nayla. Balita itu tertidur. Barangkali kelelahan karena seharian berputar di area bermain. Mereka mengunjungi bianglala, sea world, menaiki berupa-rupa wahana dan mengunjungi berbagai pertunjukan menarik. Bagi orang dewasa kegiatan itu cukup menguras tenaga. Apalagi bagi gadis sekecil Nayla. Beruntung anak itu tidak rewel.
Bagastya memejamkan mata, menikmati sentuhan yang merayapinya. Semalam ia tidak mendapat jatah dari Renata sehingga kantung di bagian bawah itu berdenyut keras minta dikosongkan. Denyutan itu bagaikan teriakan orang kelaparan yang benar – benar mendesak minta dikenyangkan. Bagastya tak ingin menahan sekarang. Ia bisa gila dan terkena darah tinggi! Akan tetapi, ia juga tidak ingin membuka tubuh Dewi. Sejenak kebingungan memenuhi otak. Sebenarnya ia tidak boleh atau tidak mau? Entahlah. Segala nalurinya berkata bahwa ia hanya ingin membuka dan melihat milik Renata. Hanya Renata!Tangan Dewi terus bekerja di tubuh Bagastya. Segenap jiwa pria itu ingin mencapai puncak saat ini. Akan tetapi, ia ingat tidak boleh melakukannya saat belum sah. Ditepisnya tangan Dewi dan dikembalikan ke tempat semula. Sesudah itu ia menghambur ke kamar man