Rose saat ini sedang menyiapkan makan malam, dirinya menyiapkan makan malam, wajah Rose terlihat lelah, dan kepalanya juga pusing, tetapi wanita itu melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai, wanita itu tersenyum manis. Tinggal menunggu Steven pulang, semuanya sudah siap. Namun tiba-tiba kepala Rose terasa sangat pusing. Wanita itu akan hampir jatuh jika dia tidak berpegangan pada rak piring. Beruntung rak piring cukup kuat menopang tubuh mungil Rose. "Kenapa tiba-tiba sakit sekali," kata Rose lembut sambil memegangi kepalanya yang sakit. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Megan sambil berlari ke arah Rose. "Ibu kenapa?" tanya gadis kecil itu dengan putus asa. Rose tersenyum pada Megan dan membelai surai Megan dengan lembut. "Ibu tidak apa-apa sayang. Hanya sedikit pusing" jawab Rose. "Ibu udah makan?" "Kamu lapar, Sayang? Tunggu di meja makan, Ibu sudah memasak untukmu," kata Megan sambil berusaha menyamai tinggi badan anak tirinya. Megan menggelengkan kepalanya sebaga
Rose mengantar Steven yang akan bekerja ke depan rumah sambil membawa tas laptop Steven. Megan sudah berada di dalam mobil. "Aku pergi dulu, oke?" selamat tinggal Steven mencium kening Rose dengan penuh kasih sayang. Dia tersenyum. "Hati-hati, oke? Jangan ngebut!" Rose memesan. "Bukankah itu normal, sayang?" Steven bertanya sambil tersenyum yang menurut Rose sangat menyebalkan. Rose mencubit pinggang Steven. "Kamu selalu menyebalkan dan tidak mau mendengarkan apa yang aku katakan!" Jawab Rose dengan marah. Steven tertawa melihat raut wajah Rose yang terlihat sangat lucu. Tangannya mencubit pipi chubby Rose. "Kenapa kamu sering mencubit pipiku akhir-akhir ini?" tanya Rose sambil mengelus pipinya yang sakit akibat cubitan Steven. "Karena aku tergila-gila padamu. Dan, kenapa kamu sering mencubit pinggangku?" Steven balik bertanya. "Karena kamu menyebalkan!" "Ah, ayolah. Biarkan aku pergi bekerja, aku tidak akan pergi jika ditahan." Rose memandang Steven de
Di dalam kamar kontrakannya, Rose menatap foto di tangannya dengan hati sedih. Itu adalah foto dirinya dengan Steven dan Megan. Air matanya jatuh deras. Hati Rose sakit ketika melihat suaminya yang dulu memandangnya dengan cinta dan senyuman, kini menatapnya dengan amarah yang membara seolah-olah Rose adalah musuhnya. Suaminya yang dulu membelai pipinya dengan lembut, kini malah menamparnya dengan keras. Suaminya yang dulu mempercayainya dan selalu berada di sisinya, kini malah tidak mempercayainya dan meninggalkannya. Suaminya yang dulu berbicara lembut padanya, kini berbicara kasar bahkan membentaknya. Rose merindukan Steven. Steven yang hangat, memandangnya dengan penuh kasih, berbicara dengan lembut seolah takut menyakiti Rose, yang selalu ada di sisinya, dan bahkan tidak ingin meninggalkannya. Sekarang tidak ada lagi Steven yang seperti ini, sekarang hanya ada Steven dengan versi baru. "Beraninya kamu mengusirku. Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu mencintaiku?
“Nih, kopinya,” kata Bu Vega sambil menyodorkan secangkir kopi di depan suaminya. Bu Vega langsung duduk tepat di samping suaminya. Senyum Bu Vega tak pernah lepas dari bibirnya sejak ia membukanya. Bagaimana bisa? Rencananya berhasil, tentu saja, dan dia senang. Rencananya untuk menyingkirkan Rose berhasil! "Mengapa kamu memperhatikan senyummu sebelumnya?" Tanya Pak Dion penasaran. Kedokteran Vega membalas perkataan suaminya dengan senyum manis. "Bagaimana mungkin kamu tidak bahagia? Kami berhasil menyingkirkan Rose, kami berhasil menjauhkan Rose dari Steven. Saya merasa sangat puas!" Bu Vega menjawab dengan senyum manis. Aku. Dion yang sedang membaca koran menghentikan sejenak aktivitasnya, lalu menatap istrinya dengan senyum tipis. "Aku sedikit kasihan pada Rose, lagipula dia sedang mengandung anak Steven," kata Pak Dion sambil menyeruput kopinya. Tapi tidak sampai tenggorokannya, Pak Dion mendorong kopinya karena tersedak. Dion menatap Vega seolah meminta penj
Sudah beberapa hari rumah ini kosong dan hampa tanpa Rose. Steven baru saja pulang kerja pukul 10 malam, ia melirik Megan yang tertidur lelap di ranjang. Steven dengan lembut menepuk pantat putrinya, berusaha menyampaikan ketenangan padanya. Saat sudah merasa tenang, Steven menyelimuti putri kecilnya lalu tak lupa mengucapkan sepatah kata pun. Steven juga terkejut dengan Megan. Dia selalu merengek ingin bertemu ibu tirinya, bukan Jane, ibu kandungnya. Megan tidak pernah bertanya bagaimana keadaan Jane, tapi lihat! Baru beberapa hari kehilangan Rose, Megan terlihat sangat frustasi. Begitu juga dengan Stevan. Pria itu masih tidak yakin apa yang istrinya lakukan, tapi apa yang bisa dia lakukan? Membantah? Apa yang bisa disangkal ketika bukti nyata ada tepat di depan mata Anda? Ada perasaan jengkel, marah, dan tidak setuju di benak Steven. Steven mengira Rose adalah wanita yang baik, tapi dia sama saja! Tak ingin memikirkan Rose lagi, Steve langsung berusaha menghi
Niat Steven hanya ingin menenangkan Megan, malah mendapat kejutan saat melewati kamar orang tuanya. Segera Steven masuk ke kamar orang tuanya yang terbuka sedikit. "Apa?" Pak Dion dan Bu Vega menatap Steven dengan heran. Pak Dion dan Bu Vega saling berpandangan, tatapan mereka seakan bertanya kenapa Steven ada disana. Bu Vega menggerutu dalam hati. Bagaimana mungkin dia tidak mengunci pintu kamar tidurnya? Karena kecerobohannya, Steven mengetahui segalanya. “Jadi, ibu dan ayah merencanakan semua itu? Dan memfitnah Rose di depanku, ya?” tanya Steven dengan emosi membara. Nyonya Vega menggelengkan kepalanya. "Kamu baru saja salah paham, Steven," jawab Mrs. Vega. Steven menatap kedua orang tuanya dengan marah. Kemudian, dia pergi begitu saja. Pak Dion dan Bu Vega saling berpandangan, mata mereka berkilat khawatir. "Aduh. Apa yang harus dilakukan?" tanya Bu Vega panik. Ia mengguncang lengan suaminya. "Aku juga tidak tahu, Bu." Jawab Pak Dion tak kalah panik
Di kamar sewaan Rose, Megan menjadi penghibur bagi Rose. Sejak Megan tinggal di rumah kontrakan Rose, dia merasa punya teman dan lebih sibuk. Seperti sekarang, Rose sedang duduk di ranjang bersama Megan, setelah Megan terbangun dari tidurnya. "Megan, jangan main hp mu terus. Kamu belum makan, kamu mau masak ma?" dia bertanya. "Ingin!" Megan menjawab dengan antusias. Megan merindukan masakan Rose, meski hanya selisih satu hari. Tapi percayalah, rasa sayang Megan pada Rose adalah rasa sayang pada ibu kandungnya, tidak ada yang bisa menandinginya. Rose tersenyum lembut sambil mengelus kepala Megan yang sedang tidur. "Bu, jangan belai kepala Megan, bagaimana Megan bisa tertidur lagi?" tanya Megan, namun matanya terpejam menikmati belaian lembut Rose. Rose terkekeh melihat tingkah dan perkataan Megan yang menurutnya lucu. "Ayo bangun, jangan tidur lagi." Megan membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Ibu, Megan mau makan sama telur dadarnya," tanya Mega
Pagi ini Rose membuatkan makanan sederhana untuk Megan. Rose berharap putrinya nanti menyukainya. Pasalnya, Megan tidak terbiasa mengonsumsi makanan seperti milik Rose. Setelah merasa makanannya sudah matang, Rose segera menyajikannya di atas piring lalu membawanya ke depan, tempat Megan sedang bermain dengan boneka beruangnya. "Apa yang kamu lakukan sayang?" tanya Rose sambil meletakkan masakannya di atas meja yang tersedia. "Aku hanya bermain, Bu," jawab gadis kecil itu sambil tersenyum. “Ibu memasak sarapan untukmu, ayo makan dulu. Jika kamu tidak suka, kamu bisa mengatakannya, biarkan Ibu memasak sesuatu yang baru untukmu. Ibu belum sempat berbelanja,” kata Rose sambil tersenyum hangat. Senyuman yang disukai Megan, dan aksi yang dilakukan Rose tentu bisa memikat hati siapa saja, bukan hanya wajahnya saja yang cantik, tapi hatinya juga demikian, tentunya Megan bahagia saat berada di dekat wanita ini. "Aku suka semua masakan Ibu," kata Megan dengan mata berbinar y