"Mau bicara apa?"
Gunner mendesah pelan, dia tidak suka Sophia yang langsung bertanya pada intinya begitu mereka duduk di kursi yang ada di caffe. Dengan berbagai upaya, akhirnya Sophia bersedia bicara dengannya.
"Bagaimana kabarmu, Sophie?"
"Jika kau ingin menagih hutang-hutangku padamu, aku sedang berusaha mengumpulkannya. Jadi jangan khawatir, aku pasti akan melunasinya," ucap Sophia membuat Gunner sedikit kesal.
"Aku menanyakan kabarmu, Sophia."
"Bisa kau lihat, 'kan? Aku baik-baik saja."
"Bagaimana dengan pernikahanmu?"
Sophia terdiam seketika, dia memperlihatkan ekspresi tida
Edmund membaringkan tubuh istrinya dengan perlahan di atas kasur. Dia mengusap kepala Sophia saat perempuan itu mengerutkan keningnya merasakan empuknya bantal yang menyangga kepalanya, dia nampak tidak suka dilepaskan dari pelukan suaminya.Sophia mencari posisi yang nyaman. Dengan mata yang masih terpejam, dia membalikan badan membelakangi Edmund yang duduk di samping ranjang sambil tersenyum menatap punggung istrinya. Dia memberikan kecupan pada telinga istrinya sebelum keliar dari kamar itu dan melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk.Ditinggalkan sarapan oleh Sophia membuat Edmund kesal hingga dia menyadari betapa menyebalkannya dirinya semalam. Sulit untuknya untuk sarapan seorang diri, sementara dirinya sudah terbiasa dengan keberadaan Sophia. Dia juga sudah terbiasa membuatkan susu untuk istrinya. Namun, pagi tadi dia hanya
Kenyamanan terbaik yang dimiliki Sophia adalah keluarga suaminya. Dia selalu nyaman duduk di dekat Rose, Sophia merasa ibunya yang telah meninggal kembali hadir dalam sosok yang berbeda. Apalagi Sergío terlihat begitu menyayanginya, dari tatapannya saja Sophis sudah tahu. Keluarga Edmund begitu menyayanginya.Setelah selesai bekerja, Edmund langsung membawa istrinya ke rumah Sergío. Rose sudah menelpon berpuluh-puluh kali pada Edmund dan Sophia. Dia terus mengirim pesan suara menanyakan keberadaan mereka dan menyuruhnya datang lebih awal.Beberapa jam sebelum makan malam, Rose mengajak Sophia duduk di dekat perapian sambil melihat-lihat album yang dipenuhi dengan foto-foto keluarga D'allesandro. Yang paling menarik perhatian Sophia adalah foto remaja Edmund. Wajahnya masih tetap sama sekarang, hanya saja rambutnya pa
Edmund yang sedang mengagumi pada pemandangan kota Los Angeles di depannya itu harus terhenti saat telponnya berdering. Dia menatap jam yang menempel di dinding, seingatnya tidak ada rapat atau pun jadwal penting setelah makan siang. Jadi Edmund mengabaikan panggilan itu tanpa melihat siapa pemanggilnya terlebih dahulu, dia lebih tertarik dengan pemandangan di bawahnya dan secangkir kopi yang ada di tangannya.Dia melihat seorang pria di dekat jalan raya sedang menuntun anak kecil yang Edmund yakini itu adalah anaknya. Keduanya berinteraksi dengan dihiasi senyuman. Itu menarik perhatiannya, dia memikirkan bagaimana jika anaknya sudah lahir. Banyak hal yang sudah Edmund rencanakan dalam otaknya, dia ingin menjadi ayah terbaik yang membuat anaknya bangga.Namun, telpon yang berdering membuat Edmund kesal juga. Dia mengambil gagang telpom
"Dia tidak seperti orang yang sudah sembuh.""Edmund." Sergío menatap anaknya yang sedari tadi menatap tajam pada Lexi dengan ucapan yang penuh dengan penekanan."Dia belum sembuh, Dad.""Tidak, aku sembuh. Kau bisa tanyakan itu pada dr.Dan," ucap Lexi tidak menerima tuduhan yang diberikan Edmund. "Kau percaya padakku 'kan, Papa?" Lexi mengalihkan pandangannya pada pria tua yang rambutnya sudah memutih. Dia hanya memijat kepalanya yang terasa pusing.Kini kedua orangtua Edmund berada ke apartemennya, disusul oleh Marxel beberapa menit yang lalu. Mereka datang setelah tahu keberadaan Lexi. Siapa pun tidak ingin wanita itu berulah kembali, apalagi sampai mempertaruhkan nyawa dirinya sendiri atau pun orang lain. Keluarga inti D'al
"Menurutmu ke mana Lexi pergi?"Edmund menengok ke arah Sophia sesaat sebelum kembali menatap ke depan, menyetir dengan penuh konsentrasi. "Aku tidak peduli dia pergi ke mana pun," ucap Edmund tepat saat lampu merah.Mereka baru berangkat menuju kantor saat jam sudah menunjukan pukul 10 siang. Sophia dan Edmund harus mandi dua kali karena kegiatan yang dilakukan sepasang suami istri itu. Edmund tidak menjelaskan apa pun tentang obat perangsang yang di minum Sophia, dia bahkan tidak menjawab saat istrinya bertanya apa alasan dirinya merasa kepanasan dengan libidonya yang tinggi.Lexi tidak ada di apartemen saat Edmund dan Sophia selesai, dia tidak ditemukan di ruangan mana pun. Edmund tidak mempedulikannya, dia hanya memikirkan cara agar wanita itu pergi dari sana dengan perintah Marxel
"Itu sudah cukup, Dan," ucap Lexi kembali mengancingkan bajunya. Tanpa menatap ke belakang, dia memakai celana dengan diperhatikan oleh seorang pria. "Kau tidak bisa memanggilku seperti ini, banyak urusan yang harus aku selesaikan di apartemen.""Seperti menjauhkan Sophia dari suaminya?"Lexi membalikan badan saat selesai menggunakan pakaian dengan tatapan malas. "Kau tahu hal itu," ucapnya menatap Daniel yang terbaring di atas ranjang.Tanpa berkata, Daniel berjalan dengan tubuh setengah telanjang ke arah Lexi. Dia memegang kedua bahu wanita itu, Daniel memejamkan kedua matanya sebelum menatap kembali Lexi dengan tatapan teduh. "Hentikan semuanya, Lexi," ucapnya dengan lembut. "Semua obsesimu, bisakah kau berhenti mengejarnya? Pria itu sudah menikah."Lexi menggeleng. "Tidak, Edm
Vote sebelum membaca😘..Lexi mengatur napas menghilangkan rasa takut akibat ancaman pria tadi. Mencoba memikirkan apa yang terjadi dengan Sophia agar rasa takutnya enyah. Mengingat perkataan pria tadi yang berucap jika menyakiti lagi, berarti Daniel tidak berhasil untuk membunuh Sophia. Namun, Lexi masih berharap perempuan itu setidaknya terluka.Lorong apartemen menyinari setiap langkahnya. Dia mengatur napasnya sebelum memasukan kode apartemen dan masuk ke dalamnya. Ruangan itu gelap, menandakan tidak ada siapa-siapa. Itu yang dipikirkan Lexi. Dia membuka sepatunya dan menyalakan lampu apartemen, membuat semuanya menjadi terang menyinari setiap
Vote sebelum membaca😘..Sophia yang merasakan belaian di kepalanya membuatnya semakin rapat menutup matanya, dia teramat nyaman seperti ini. Belaiannya turun kepipi dan tiba-tiba tangan itu menjauh darinya, tangan itu tidak lagi membelainya. Sophia ingin mendapatkan belaian itu lagi, perlahan mata dengan bulu mata lentik itu terbuka sepenuhnya. Matanya menjelajah mencari sosok yang ada dalam mimpinya. Namun, tidak ada siapa pun di ruangan itu selain dirinya sendiri.Sophia memegang kepalanya yang terasa pusing, dia ingat tadi siang Marxel melontarkan kata-kata yang membuatnya ingin menghilang dari dunia ini. Sophia pergi berbekal uang beberapa dollar,