Sudah beberapa hari setelah malam itu, Sophia tidak lagi melihat pria yang memperkosanya. Dia berpikir pria itu hanya bermain kata, karena mana mungkin di zaman sekarang ada pria yang berani bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Ada sedikit ruang pada hati Sophia menginginkan pria itu benar-benar dengan ucapannya, mewujudkan ucapannya agar bayi dalam kandungannya lahir dengan status yang jelas. Sayangnya ruang itu mulai menyempit seiring berjalannya waktu. Nyatanya pria itu berbohong, dia sama sekali tidak datang. Seharusnya pria itu kembali dan meminta pengampunan Sophia atas apa yang dilakukannya.
Lelah memikirkan pria yang tidak jelas itu, Sophia memilih pergi ke rumah sakit siang ini. Dr. Allarick bilang kalau dia ingin membicarakan sesuatu dengannya. Setiap kali dr.Allarick memanggilnya, hati Sophia tidak luput memanjatkan doa kepada Tuhan agar berita yang akan disampaikan Dr. Allarick berita baik.
Helaan napas berat keluar dari mulut Sophia saat dia berada di depan pintu ruangan Dr. Allarick. Tangannya terangkat perlahan. Dengan ragu, dia mengetuk pintu berwarna cokelat itu sebelum membukanya.
"Duduklah, Sophie," ucap Dr. Allarick saat melihat Shopia yang membuka pintunya. Dia menyimpan kertas yang sedang dibaca.
Sophia menganggukkan kepala dan berjalan masuk."Ada apa, Dok ?" tanyanya setelah duduk di kursi. Dr. Allarick hanya tersenyum tipis saat melihat wajah khawatir gadis bermata hijau itu.
"Sebelumnya, keadaan Nyonya Martina baik-baik saja." Sophia melebarkan matanya mendengar kalimat pertama yang Dr. Allarick ucapkan tentang neneknya.
"Maksudnya sekarang keadaannya tidak baik?" Dr. Allarick mengangguk menjawab pertanyaan Shopia. "Apa yang terjadi? Bukankah kau bilang rumah sakit memberikan obat yang membuat keadaannya membaik." Sophia meremas jari-jari tangannya hingga keringat keluar dari telapak tangannya.
"Rumah sakit memang memberikan obat yang sebelumnya tidak ada secara rutin, tapi entah kenapa tadi pagi rumah sakit kehabisan stok obat itu. Aku sudah menanyakannya kepada Prof. Grint, dia bilang pemilik rumah sakit tidak lagi mengirim obat itu," jelas Dr. Allarick kemudian dia membuka laci mejanya dan mengeluarkan hasil rotgen Martina.
"Saat pengobatan itu dihentikan, keadaan Nyonya Martina akan mulai memburuk kembali." Tangan Sophia terulur mengambil hasil rotgen Martina lalu menatap Dr. Allarick dengan tatapan sendu.
"A-apa alasan pemilik rumah sakit ini menghentikan pengobatan nenekku ? Apa aku harus membayarnya ? Jika iya, aku pasti akan membayarnya, Dok. Namun, beri aku waktu untuk mengumpulkan uang," ucap Sophia menyimpan rotgen yang ia pegang ke atas meja. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menangis sesegukan dengan tangan yang meremas bajunya kuat.
"Tenanglah, Sophie." Dr. Allarick memberikan Sophia segelas air, membiarkan perempuan itu menangis beberapa saat.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Sophia berucap dengan suara yang lemah. Dia menghapus air mata dengan selembar tisu yang ada di atas meja.
"Sebelumya aku sudah menemui pemilik rumah sakit, tapi ia menyuruhku kembali. Dia ingin wali dari pasien yang menemuinya." Dr. Allarick merogoh saku jasnya untuk mengambil sebuah kartu nama.
"Ini kartu namanya. Cobalah bicarakan hal ini dengannya, mungkin Tuan D'allesandro akan mengerti." Tangan Sophia terulur menerima kartu yang diberikan Dr. Allarick padanya.
"Edmund D'allesandro," gumam Sophia membaca tulisan pada kartu nama itu.
"Bersihkan wajahmu dari bekas air mata terlebih dulu, setidaknya wajahmu harus enak dipandang." Sophia tersenyum tipis dan meminta izin pergi.
Sebelum Sophia pergi menemui pimpinan rumah sakit, dia pergi ke kamar Martina yang masih berada di lantai atas VVIP. Langkah Sophia semakin pelan dan hampir tidak terdengar saat melihat Martina tidur. Bibirnya tertarik ke atas melihat orang yang ia sayangi sedang tertidur pulas. Sophia memegang tangan keriput Martina. Air mata Sophia jatuh begitu saja melihat keadaan neneknya yang menyedihkan. Dia menghela napasnya lalu mengecup sayang kening Martina sebelum berjalan pergi dari sana. Dia akan menuju ke perusahaan milik Edmund D'allesandro.
Sophia siap menemui sang pimpinan rumah sakit, dia harus meminta obat kepada orang bernama Edmund D'allesandro. Dia akan melakukan apa pun agar Martina bisa menghirup udara di luar rumah sakit, agar Sophia tidak lagi merasakan kehilangan. Karena jika tanpa Martina, Sophia yakin dirinya hanya akan menangis saat kehidupannya jatuh.
Dulu kehidupan Shopia tidak seperti ini. Dia adalah putri dari pemimpin perusahaan Widger Group. Namun, kini nama perusahaan itu sudah direndahkan banyak orang karena reputasinya yang jelek, semua orang yang hidup di dunia bisnis pasti tahu dengan perusahaan yang dikembangkan ayah Sophia. Bukan karena bagusnya citra perusahaan itu, melainkan karena perusahaan itu dicap sebagai sarang koruptor dan parasit bagi perusahaan lain. Tidak ada lagi gelimang harta yang memenuhi hari-hari Sophia, tidak ada rasa nyaman yang selalu ia dapatkan. Tidak ada yang abadi dalam hidup Sophia, semuanya akan pudar oleh waktu dan kehendak Tuhan. Namun, Sophia akan mengulur waktu agar dia bisa bersama dengan Martina.
Mata Sophia menatap kagum gedung perusahaan besar saat dia sampai pada alamat yang dituju. Tidak ada satu pun gedung yang menadingi gedung D'allesandro Corp, tempat ini menjulang tinggi, menonjol di antara bagunan di sekitarnya. Pohon-pohon menambahkan kesan sejuk di sekitar gedung itu. Para pria dan wanita berbaju formal belalu-lalang di dalam gedung ini.
Kaki Sophia masuk ke dalam gedung berlapis kaca itu, matanya tidak berhenti mengagumi apa yang dilihat. Sophia pikir ini bukan perusahaan, tapi istana para orang-orang jenius. Dengan mata yang masih melihat ke sana-sini, Sophia mendekati meja resepsionis. Seorang wanita yang berdiri di sana mengerutkan kening saat Sophia tidak bisa berhenti memandang bagian atas gedung.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona ?" Pertanyaan resepsionis itu menyadarkan Sophia.
"Saya ingin menemui Tuan Edmund D'allesandro," jawab Sophia dengan ramah.
"Sudah membuat janji ?" Sophia menggelengkan kepalanya dengan kecewa.
"Saya harus menemuinya, ada hal penting yang ingin dibicarakan," ucap Sophia dengan mata memohon.
"Siapa nama anda?"
"Sophia, Sophia Alberta."
Wanita itu mengambil gagang telepon dan menghubungi seseorang. Sophia hanya mengerutkan kening karena bahasa yang diucapkan wanita berbeda. Terdengar seperti bahasa Spanyol.
"Anda diizinkan menemui Tuan D'allesandro, Nona. Beliau berada di lantai tujuh puluh lima." Sophia menganggukkan kepala dan langsung berlari kecil ke arah lift.
Kening Sophia berkerut ketika keluar dari lift. Lantai gedung ini berbeda dengan lantai yang lainnya, tidak ramai dan begitu elegan. Sophia melangkah mendekati seorang wanita yang sibuk dengan tumpukan kertas di hadapannya.
"Permisi," ucap Sophia dengan pelan. Wanita yang memakai name tag Maria Fogueroa itu mengangkat kepalanya.
"Nona Sophia?" Sophia mengangguk ragu.
"Tuan D'allesandro sudah menunggu Anda di ruangannya," ucap Maria sambil berdiri dan menunjuk pintu ruangan yang tidak jauh dari mejanya. Sophia mengangguk kemudian berjalan menuju pintu.
Sophia mengetuk pintu sebelum membukanya perlahan. Hal yang pertama ditangkap oleh pandangannya adalah seorang pria memakai kemeja biru sedang memandang ke luar jendela dengan posisi membelakanginya. Hati Sophia berdesir, dia merasa tidak asing dengan postur tubuh pria itu. Karena tidak kunjung membalikkan badan, Sophia berdeham, mencoba memberi isyarat bahwa ada seseorang di belakangnya. Pria itu berbalik. Sophia terperangah melihat wajah itu. Kaki Sophia mundur beberapa langkah dengan tangan yang gemetar. Dia tidak menyangka kalau pria yang memperkosanya ada di hadapannya sekarang, pemilik rumah sakit tempat neneknya dirawat.. Sophia memejamkan mata sesaat, menggelengkan kepala pelan saat kilasan peristiwa malam itu melintas di otaknya..
"Duduklah, Sophia," perintahnya pada Sophia. "Nenekmu tidak akan sembuh jika kau terus diam dan bungkam."
Edmund melangkah untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya. Sophia masuk ke ruangan dengan berat hati. Kalau bukan karrena Martina, dia tidak akan sudi berada satu ruangan dengan pria ini. Shopia mulai duduk di sofa, tepat di hadapan pria itu.
"Apa yang kau lakukan di sini ?" Edmund dapat mendengar suara Sophia yang bergetar.
"Coba kupikir, mungkin karena aku pemilik perusahaan ini," ucap Edmund sambil menyilangkan tangannya di dada.
Sophia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, dia kembali menatap Edmund dengan tajam. "Apakah kau yang bernama Edmund? Pria berengsek sepertimu?!" Sophia bertanya dengan ketus. Menyembunyikan rasa takut yang menjadi kelemahannya.
"Berbicaralah dengan baik pada seorang pimpinan rumah sakit!" Bentakan yang keluar dari mulut Edmund membuat Sophia menunduk. Ada hal yang ia takutkan saat ini. Pertama, pria ini akan kembali memperkosanya. Kedua, Sophia tidak akan mendapatkan obat untuk neneknya.
"Maaf, aku kemari un-"
"Aku tahu." Edmund memotong ucapan Sophia, perempuan itu menegakkan kepala dan menatap Edmund sambil meremas baju yang dipakainya. "Kau harus menikah denganku jika menginginkan obat untuk nenekmu." perkataan Edmund membuat Sophia membulatkan mata tidak percaya.
"Apa?" Sophia menginginkan lagi kalimat itu keluar dari bibir Edmund.
"Kau menikah denganku dan nenekmu akan mendapatkan pengobatannya kembali. Jika tidak mau, aku tidak akan memberikannya," ucap Edmund.
"Apa alasanmu menikah denganku?"
Edmund terkekeh mendengar pertanyaan Sophia. "Tentu saja karena bayi yang kau kandung," ucap Edmund yang membuat wajah Sophia semakin sendu.
Dia menghela napasnya berat sebelum menatap kembali Edmund. "Hanya karena bayi ini?" Pertanyaan Sophia membuat Edmund mengerutkan kening sesaat lalu mengangguk, mengusap dagu yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Baiklah." Ucapan Sophia membuat Edmund tersenyum samar.
"Tapi kita akan berpisah saat bayi ini lahir," ucap Sophia dengan pelan. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya. Sophia ingin tahu bagaimana tanggapan Edmund tentang ucapannya.
"Kenapa ?" Edmund mengerutkan keningnya.
"Ya atau tidak ?" Sophia mengangkat dagunya seakan menantang, Edmund mengalihkan pandangannya sambil terkekeh pelan.
"Ok, deal. Kita akan berpisah saat bayi itu lahir. Kalau itu maumu."
Saat itu, Edmund melihat dengan jelas wajah sedih Sophia. Namun, dia buru-buru menggantinya dengan wajah ceria yang dipaksakan, terlihat sekali Sophia berpura-pura tegar di hadapan Edmund.
"Kalau begitu aku akan pergi." Sophia berucap sambil berdiri dari duduknya. Namun, Edmund menunjuk Sophia sambil berdiri seolah menyuruhnya duduk kembali.
"Duduk kembali," perintah Edmund dengan tegas, ia melangkah mengambil jasnya yang tadi ia lepas untuk kembali ia pakai. "Duduk." Edmund mengulangi ucapannya dengan mata yang kini menatap tajam Sophia.
"Untuk apa? Bukankah urusan kita sudah selesai?" Sophia kembali duduk dengan kesal, menatap Edmund yang sibuk dengan dasinya.
"Diam di sini atau nenekmu akan mati."
"A-apa ?" Mulut Sophia terbuka tidak percaya. Dia terpaksa menghempaskan kembali pantatnya di atas sofa.
"Kau sudah makan siang?" Sophia menatap Edmund yang sudah rapi. Perlahan, dia menggelengkan kepala hingga membuat wajah Edmund terlihat sedikit marah.
"Dasar bodoh," ucap Edmund sambil membuka pintu keluar.
Selang beberapa menit setelah kepergian Edmund, beberapa wanita berpakaian pelayan membawakan baki berisi makanan. Mereka menyusun makanan itu di hadapan Sophia.
"Apa ini?" Sophia menatap wanita yang menyusun makanan dengan heran.
"Tuan Edmund menyuruh saya membawakan makan siang untuk Anda, Nona. Permisi," ucapnya sembari keluar dari ruangan.
Sophia menatap makanan yang ada di hadapannya, dia menelan ludahnya kasar. Namun, Sophia tidak langsung memakannya. Dia lebih penasaran dengan foto yang ada di meja kerja Edmund. Perlahan, dia mendekat, mengambil foto itu dan menatapnya.
Senyuman pedih tercetak pada wajah Sophia. Tangan kirinya memegang dadanya sendiri, merasakan rasa sakit pada hatinya saat menatap foto Edmund yang sedang mencium seorang wanita. Keduanya terlihat bahagia dengan senyuman tercetak jelas pada foto itu.
"Kau yang bernama Sara?" Suara Sophia parau dan air matanya jatuh begitu saja.
***
IG : @ALZENA2108
Kesepakatan itu dibuat tanpa adanya penandatanganan di atas kertas, hanya ucapan saja. Edmund menyetujui permintaan Sophia, tetapi dia meminta Sophia untuk berhenti bekerja di mana pun dengan alasan bayi yang ada dalam kandungan. Keduanya melewati perdebatan panjang dalam mobil mengenai hal itu hingga akhirnya Sophia tidak bisa melawan, dia mengangguk pasrah setelah telinganya panas mendengar perkataan Edmund.Pandangan Sophia terpaku ke luar jendela mobil, sementara Edmund fokus menyetir. Keduanya dalam perjalanan menuju rumah orangtua Edmund. Sebenarnya ada rasa takut pada diri Sophia. Dia takut akalu kedua orangtua Edmund menolak dirinya sebagai menantu dalam keluarga D'allesandro.Beberapa jam dalam mobil mereka lewati dengan keheningan hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah mansion. Sophia tersadar dari lamun
Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya S
"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada
Sophia menggeliat dari tidur saat sinar matahari menerpa matanya, dia merasa gerakannya terbatas. Saat membuka mata, ternyata ada tangan tengah memeluknya erat dari belakang. Sophia menguap, berniat melanjutkan kembali tidurnya. Sedetik kemudian dia membulatkan mata, menarik tangan yang melingkari pinggang kemudian membalikkan badan. Tubuh Sophia tersentak kaget saat wajah Edmund berada tepat di hadapannya dengan mata yang terpejam.Sesaat Sophia menahan napas kemudian tatapannya beralih ke bagian bawah tubuh. Matanya menangkap tubuh Edmund yang bertelanjang dada. Selimut yang seharusnya menutupi tubuh itu telah tersingkap, sementara tubuh Sophia masih terlilit selimut hangat yang tebal. Perempuan itu menelan ludah kasar saat melihat perut datar Edmund yang di penuhi otot, setelahnya wajah Sophia memperlihatkan ekspresi heran karena Edmund bertelanjang dada.
"Nyonya mengalami hipotermia ringan, untunglah Tuan mengambil tindakan benar dengan skin to skin contact. Bayi yang ada dalam kandungan Nyonya baik-baik saja. Saya sarankan Nyonya memakai air hangat jika mandi dan memakai jaket jika akan keluar ruangan." Penjelasan dari dokter membuat hati Edmund dan Sophia mendesah lega, kekhawatiran pada calon bayi mereka kini mulai mereda."Lalu bagaimana dengan kakinya?" Edmund bertanya sambil menatap kaki Sophia yang kini tidak tertutup perban."Saya sudah melakukan penanganan utama untuk lukanya, Tuan. Anda tidak perlu khawatir lukanya akan infeksi." Ucapan dokter itu membuat Edmund menganggukkan kepala. "Ini resep vitamin dan salep untuk luka kaki yang harus anda beli," lanjutnya memberikan resep obat pada Edmund."Terima kasih," ucap Sophia saa
"Astaga, Edmund."Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak."Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya."Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu."Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar