Kedua kaki Juan melangkah dengan cepat. Bot hitamnya mengoyak asap putih yang membubung di area depan Gedung Pusat Para Petinggi Akhirat. Kapan terakhir kali dia datang ke sini? Sewaktu bertanya untuk kesekian kali tentang wanita reinkarnasinya, tentu saja, sebab tidak ada alasan lain yang bisa dengan berani membawanya pergi ke tempat sakral para petinggi akhirat.
Ketika Juan semakin bergerak mendekat, saat itu juga Alfa muncul dengan membawa setumpuk dokumen yang entah apa isinya. Juan tidak ingin menganggap pusing hal tersebut.
“Hari yang melelahkan, bukan begitu?” tanya Alfa saat Juan sudah berdiri di depannya. Meletakkan tumpukan dokumennya dengan kasar hingga mengeluarkan bunyi berdebum, tapi tidak cukup mengagetkan.
“Gue perlu masuk ke dalam,” ujar Juan lebih kepada memaksa.
Dan mungkin kamu justru akan berterima kasih dengan hadirnya masalah ini.Omong kosong, pikir Juan. Iblis itu berencana balas dendam dan mungkin akan membuat wanitanya celaka, tapi Ethan justru mengatakan kalau Juan akan berterima kasih karenanya? Bahkan saking tidak mengertinya dengan jalan pikir Ethan, Juan langsung pergi begitu saja tanpa berkata apa pun.Baiklah, pikirnya. Jika memang Juan harus menghadapi dan menyelesaikan masalah ini sendirian, Juan akan lakukan. Semata-mata hanya untuk wanitanya—Raline.Juan telah kembali ke asrama. Melepas wujud sejatinya dan mengubah diri menjadi seorang Juan yang biasa. Tergesa-gesa mengambil sebotol minuman dingin dari dalam kulkas dan meneguknya hingga hab
Tidak ada satupun yang mencoba membuka suara. Beruntung keramaian yang ditimbulkan para suporter tidak terlalu membuat suasana di sekitar empat orang ini menjadi canggung.Chloe melepas tatapannya dari siapa pun. Tanpa sadar perlahan demi perlahan tangannya bergerak menuju lengan Tuan Edgar. Tuan Edgar yang menyadari gerak-gerik Chloe pun langsung berdeham seraya menggenggam punggung tangan Chloe."Chloe!" teriak seseorang yang ternyata adalah Grace. Perempuan itu tengah berdiri di pinggir lapangan sembari melambaikan tangan padanya.Sebetulnya tidak hanya Chloe, melainkan Tuan Edgar, Juan, dan Raline pun ikut tertarik ke arah suara itu berasal. Seketika keceriaan Grace memudar. Dahinya mengerut. Matanya memicing. Seakan tengah memastikan lebih dalam lagi atas apa yang baru saja dia lihat.
Oleh karena sudah diamanatkan oleh Tuan Edgar untuk memperhatikan waktu tidur Chloe, beserta menu makan juga menyempatkan waktu untuk olahraga, alhasil di akhir pekan Grace langsung meminta Chloe bangun pagi. Benar-benar pagi, karena langit masih tampak gelap, dan ketika Chloe melihat jam yang tertera di layar ponselnya, ternyata waktu masih menunjukkan pukul lima pagi."Ayolah, sekadar jalan-jalan aja atau mungkin joging. Kalau bareng gue ngga bakal berasa capek deh," bujuk Grace yang terlihat begitu semangat, sedangkan Chloe masih tampak melempem di atas tempat tidur."Satu jam lagi deh, ya," ujar Chloe menawar pada orang yang salah."Di waktu satu jam lo yang lo pakai buat tidur, kita mungkin udah selesai joging keliling area Seirios," celetuk Grace. "Udah ayo bangun atau mau gue laporin ke Papa lo?" ancamn
Tidak ada yang bisa dilakukan selain diam.Baik Juan maupun Chloe sendiri juga tidak memprediksi bahwa akan bertemu kembali dalam situasi seperti ini. Padahal sudah tidak seharusnya mereka duduk berdua di dalam mobil dan sudah tidak seharusnya pula Juan membawanya kabur ke suatu tempat yang tidak Chloe tahu. Mungkin ini adalah lokasi yang sering dia kunjungi ketika sedang berduaan dengan Raline. Duduk di dalam mobil atau berjalan bergandengan tangan sambil tersenyum dan tertawa sekaligus memandangi hamparan laut yang memiliki sekumpulan pasir putih. Membayangkannya saja benar-benar menyenangkan."Oke." Juan mencoba mengusir kesunyian yang bergantung di sekitar sejak tadi. "Saya ngga berharap kamu mau cerita ke saya apa yang terjadi sama kamu, tapi kalau kamu mau cerita pasti akan tetap saya dengarkan."Chloe m
Chloe menunduk memandangi kuku-kuku jarinya. Meskipun sudah bertekad untuk menceritakan pada Alex, tapi Chloe tetap tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya juga takut menerima kenyataan pahit bahwa iblis itu benar-benar telah datang dan mengincarnya lagi."Kelihatannya aku memang ngga salah lihat," aku Chloe dimana Alex diam-diam menggulirkan bola matanya ke samping. Melihat Chloe dari sudut mata.Apa yang dikatakan oleh Chloe barusan memang tidak spesifik, tapi apabila dia mengatakan hal semacam itu di depan Alex, sudah pasti Alex paham apa maksudnya, karena mereka berdua pernah membicarakan hal yang serupa sebelumnya."Lo … yakin?" tanya Alex memastikan. Respons dari Chloe hanya berupa anggukan kepala. "Oke … jadi …," Alex masih kesulitan untuk berkata, "jadi lo juga udah kasih tau Jua
"Bukannya itu mimpi biasa?" tanya Alex belum terlalu menganggap bahwa yang diceritakan Chloe barusan adalah mimpi yang aneh. "Maksud gue, gue pun juga suka mimpiin aktris yang lagi gue suka. Lokasi mimpinya juga antah-berantah," jelasnya santai.Sebetulnya Chloe sudah mengira jika Alex akan berpikir seperti itu. Namun, menceritakan mimpi tersebut pada Alex tetap jauh lebih baik dibanding dengan terus-menerus memendam dan berusaha mencari arti mimpi itu sendirian."Tapi mimpi itu terus berlanjut, Kak. Ya, memang sih ngga muncul setiap malam, tapi meskipun kejadiannya berselang beberapa malam, cerita dalam mimpi itu terus berlanjut. Dan mimpi itu benar-benar terasa nyata. Bahkan aku sampai bisa merasakan apa yang aku pegang di dalam mimpi itu," papar Chloe berusaha mengajak Alex ikut merasakan keanehan yang dirinya rasakan. "Apa yang kayak gitu masih biasa aja me
“Aku ngga tau apa hasil pemikiranku ini benar atau ngga, tapi aku merasa kalau aku berhasil mengaitkan semuanya, Kak. Mulai dari informasi yang aku dapat dari Kak Alex di dalam mobil waktu Kak Alex antar aku pulang dari apartemen Pak Juan, sampai mimpiku yang terakhir. Ngga tau kenapa aku terus memikirkan itu dan aku merasa kalau sekarang aku berhasil menyambungkan semuanya,” papar Chloe mengambil kesempatan Alex untuk bicara, sebab lelaki itu pun juga hanya diam dengan mulut menganga. “Tapi di satu sisi juga aku ngga yakin, karena … memang ngga mungkin.”Chloe mengarahkan posisi duduknya ke arah Alex. Kali ini bukan lagi nyala api menggebu-gebu yang terpancar di matanya, melainkan binar-binar kesedihan dan kegalauan. Memandang dalam jarak dekat seperti ini, jujur Alex merasa iba. Iba karena tidak seharusnya Chloe berada di ambang ketidakjelasan, yang pada faktanya, ketidakje
“Aku masih mau menagih apa yang mau Kak Alex bilang barusan,” ujar Chloe sewaktu mereka berdua telah masuk di dalam mobil.“Iya, oke.” Alex menyalakan mesin mobilnya. “Gue cuma mau bilang, kalau lo itu memang udah seharusnya istirahat dan ngga perlu mikirin hal-hal yang kayak gitu dulu.” Alex mulai menjalankan mobil.Mata Chloe memicing. “Kenapa aku merasa kalau bukan itu yang mau Kak Alex bilang.”Seperti biasa, radar kebohongan yang Chloe punya memang tidak bisa dianggap remeh.“Memang itu kok yang mau gue bilang,” sahut Alex berusaha terdengar meyakinkan. Hujan pun mulai turun membasahi jalan. Beruntung keduanya pergi di waktu yang tepat.Chloe m