Belum ada sehari tapi Nindy sudah ingin lari. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat Raka meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Tidak ada peraturan atau masukan khusus untuknya agar bisa menjadi asisten yang baik. Nindy bingung, dari mana dia harus memulai semuanya?
Tidak ingin membuat Raka kembali marah, akhirnya Nindy memilih untuk menemui Tomi. Sebagai mantan asisten Raka, pria itu pasti bisa membantunya. Bersyukur Nindy langsung melihat Tomi di depan ruangan. Dia berjalan mendekat dengan sesekali tersenyum pada karyawan yang menatapnya bingung. Mungkin mereka belum mengenalnya. Ingin sekali Nindy mengakrabkan diri tapi keadaannya sangat terdesak saat ini. Dia harus segera menjalankan perintah Raka untuk membeli sarapan. Apa memang seperti ini tugas dari seorang asisten?
"Mas Tomi?" panggil Nindy pelan.
"Ya, Nind?"
"Liat Pak Raka nggak?"
Alis Tomi terangkat sebelah, "Pak Bos tadi pergi sama Pak Ilham."
Mendengar itu, dengan cepat Nindy menarik kursi kosong di sampingnya agar bisa duduk berhadapan dengan Tomi. Dia mengatupkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Tomi memelas, "Bantuin aku, Mas. Jadi asistennya Pak Raka itu ngapain aja?"
Tomi terkekeh melihat ekspresi Nindy. Dia tahu apa yang gadis itu rasakan. Dia juga sempat merasakannya dulu sebelum terbiasa. Sekarang dia bisa lega dan bebas karena Raka memintanya untuk menjadi asisten Ilham, wakil Raka di perusahaan.
"Jadi asistennya Pak Raka itu gampang, Nind." Tomi mendekat dan berbisik.
"Gimana?" Nindy ikut mendekatkan diri.
"Yang pertama kamu harus nurut, yang kedua kamu harus sigap, dan yang ketiga itu yang paling utama..."
"Apa itu?" Nindy mendengarkan dengan serius.
"Harus sabar."
Nindy menghela napas kasar dan bersandar pada kursinya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan agar ekspresi menyedihkannya tidak dilihat oleh banyak orang.
"Kamu diapain sama Pak Bos?" tanya Tomi menahan tawanya.
Nindy menatap Tomi pias, "Sebelumnya aku udah pernah ketemu sama Pak Raka, dua kali."
"Terus?"
Nindy menggeleng pelan, "Pertemuan yang nggak baik. Kayaknya Pak Raka mau balas dendam sekarang."
Tomi menatap Nindy prihatin, "Masih hari pertama udah gini. Turut berduka cita ya, Nind."
Nindy memilih pasrah dan berdiri, "Biasanya Pak Raka sarapan apa, Mas?"
Kening Tomi berkerut, "Pak Raka nggak pernah sarapan."
Nindy memejamkan matanya mendengar itu. Ternyata benar dugaannya. Raka sengaja menyiksanya untuk balas dendam.
"Ya udah, Mas. Kalau gitu saya beli sarapan di kantin kantor aja. Makasih ya." Tanpa menunggu jawaban Tomi, Nindy berjalan lemas menuju lift. Raka tidak memberikan perintah khusus menganai menu makanan yang diinginkan. Ingin bertanya pun percuma karena pria itu mendadak menghilang.
***
Nindy membawa kotak makanan di tangannya ke ruangan Raka. Lagi-lagi dia hanya bisa tersenyum saat beberapa karyawan menatapnya bingung. Bukan berniat tidak sopan, tapi Nindy akan berkenalan nanti saat dia sudah memiliki waktu luang. Dia tidak mau membuat Raka semakin bertingkah jika ia melakukan kesalahan.
"Pak Raka udah dateng, Mas?" tanya Nindy pada Tomi.
"Udah, Pak Bos di dalem sama Pak Ilham."
Nindy mengangguk dan mulai mengetuk pintu ruangan Raka. Sahutan dari dalam membuat Nindy membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Di dalam sana, dia melihat Raka yang duduk di kursi kerjanya bersama seorang pria yang Nindy yakini sebagai Ilham, wakil Raka di perusahaan.
"Maaf mengganggu, Pak. Ini sarapannya." Nindy memberikan makanan yang ia beli.
"Apa itu?" tanya Raka melirik makanan yang Nindy bawa.
"Ayam geprek, Pak."
Raka menatap Nindy tidak percaya, "Ayam geprek untuk sarapan, Nindy?"
Nindy menggaruk lehernya bingung. Apa yang salah dari ayam geprek? Bahkan dia pernah sarapan hanya dengan gorengan dan cabe di atas nasi panas.
"Bapak nggak suka ayam?" tanya Nindy bingung.
"Kamu mau saya masuk rumah sakit karena makan pedas di pagi hari?"
Mulut Nindy terbuka mendengar itu. Kenapa pria di depannya itu berlebihan sekali?
Dasar cupu!
"Maaf, Pak. Kalau Pak Raka nggak mau ya udah, buat saya aja." Nindy berniat mengambil makanannya kembali.
"Enak aja! Ini buat makan siang saya!"
Nindy kembali mundur dan mencibir dalam hati.
Dasar rakus!
"Pak Raka mau sarapan apa?" tanya Nindy sabar.
"Nggak tau, kamu yang mikir."
Nindy menarik napas dalam, "Nanti saya salah lagi? Nanti saya dikira mau bikin Pak Raka masuk rumah sakit lagi?"
Raka menatap Nindy tajam. Dia tidak menyangka jika gadis itu berani membalas ucapannya. Tidak masalah, hal itu semakin membuat Raka benafsu untuk membalaskan dendamnya.
"Nasi campur?" tanya Nindy.
Raka menggeleng mendengar itu. Dia masih tidak berbicara dan menunggu Nindy menyebutkan makanan yang lain. Dia malah semakin santai bersandar di kursi sambil memainkan pensilnya.
"Nasi goreng?" tanya Nindy lagi.
Raka kembali menggeleng, "Yang lain."
Nindy kembali berpikir, "Nasi kuning?"
Raka kembali menggeleng.
"Babi?"
Raka membulatkan matanya mendengar itu. Dia menatap Nindy yang malah tersenyum polos. Entah kenapa kalimat Nindy seperti ejekan di telinganya.
"Bercanda, Pak." Nindy menunduk sambil memainkan ujung kemejanya.
"Beliin saya bakso," ujar Raka pada akhirnya.
"Mana ada bakso pagi-pagi gini, Pak?"
"Ada kalau kamu cari. Udah sana keluar."
Nindy mencibir dan mengulurkan tangannya pada Raka.
"Apa?" tanyanya.
"Uangnya mana, Pak? Saya kerja buat cari duit bukan ngeluarin duit."
Raka tersenyum tipis mendengar itu. Dia kembali bersandar dan menatap Nindy santai.
"Ya uang kamu."
"Kok uang saya?" Nindy tidak terima.
"Saya masih inget kalau dulu kamu pernah bikin mobil saya kotor. Biaya cuci mobil saya itu mahal."
Nindy menatap Raka kesal, "Kok Pak Raka ungkit-ungkit masa lalu? Kan saya udah minta maaf, Pak."
Raka menatap Nindy datar, "Belum saya maafin."
"Tuhan aja maha pemaaf loh, Pak."
Raka menggeram dan berniat untuk memarahi Nindy. Namun belum sempat kalimat indah itu terucap, Nindy dengan cepat berlari keluar ruangan.
"Oke, Pak. Saya beli bakso dulu!" ucap Nindy dari luar ruangan.
"Dasar badung!" Raka menggelengkan kepalanya pelan. Anak jaman sekarang memang suka melawan.
Tanpa Raka sadari perdebatan anehnya dengan Nindy dilihat oleh Ilham yang duduk di sofa. Pria itu merasa heran dengan tingkah Raka yang entah kenapa menjadi kekanakkan dan menyebalkan.
"Anak baru udah lo siksa, Ka?" tanya Ilham tidak percaya.
"Dia yang mulai," jawab Raka santai. Dia berdiri dan menghampiri Ilham untuk duduk di sofa.
"Lagian sejak kapan lo sarapan? Bukannya lo paling nggak bisa yang namanya sarapan?"
Raka menyeringai, "Mulai hari ini."
***
Nindy menggerutu sambil memasuki pusat perbelanjaan. Dia berjalan dengan kaki yang menghentak. Keadaan yang masih sepi membuatnya merasa bebas untuk mengomel.
"Dasar orang gila! Sarapan aja pake bakso. Beli di mana coba pagi-pagi kayak gini?" Nindy masih menggerutu sambil berjalan menuju restoran. Di mana lagi tempat orang yang menjual bakso di jam setengah depalan pagi jika bukan di mall? Bahkan Nindy ragu jika restoran di mall juga sudah buka.
Keberuntungan berpihak pada Nindy. Akhirnya dia menemukan retoran bakso yang ia cari sedari tadi. Meskipun ia harus menunggu setengah jam sampai bakso benar-benar siap.
"Apa gue masukin sianida aja ya?" gumam Nindy. Kepalanya menggeleng menjawab pertanyaannya sendiri, "Ntar aja diracun kalau udah gajian."
Meski baru sebentar, tapi Nindy sudah merasakan tekanan batin yang luar biasa. Dia sudah yakin jika hari pertamanya ini tidak akan berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena musuhnya adalah pria nomor satu di perusahaan. Nindy yakin jika Raka akan melakukan segala cara untuk membalaskan dendam demi kepuasannya.
Demi tanggal cantik dengan lingkaran merah di kalendernya, Nindy akan berjuang. Jika memang ini yang Raka inginkan, maka dia juga akan mengibarkan bendera perang. Nindy pantang untuk mundur sebelum menang.
***
TBC
Alarm yang terus berbunyi berusaha keras membangunkan Nindy yang masih terlelap. Mata gadis itu terlihat memerah dan meminta untuk kembali dipejamkan. Namun Nindy tidak bisa melakukannya, dia harus bersiap untuk bekerja sekarang. Pagi ini tidak sama seperti pagi sebelumnya. Jika kemarin Nindy sangat bersemangat tapi tidak untuk sekarang. Dia masih sangat berharap jika bosnya bukanlah Raka. Namun harapannya tentu akan sia-sia. Nindy mematikan alarm-nya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Ya benar, Nindy bangun sepagi ini untuk berangkat bekerja. Jika tidak ingat pesan Raka semalam tentu dia tidak akan mengatur alarm sepagi ini. "Besok pagi jam setengah 6 kamu sudah harus ada di rumah saya. Alamatnya Perumahan Adhiwangsa no 01." Nindy menggosok giginya sambil mengingat kembali pesan Raka. Sesekali matanya terpejam karena tidak bisa menahan kantuk. Entah kenapa hari pertama
Hari ketiga sudah tiba. Seperti hari sebelumnya, Nindy berangkat dengan Raka lagi hari ini. Ini semua terjadi karena dengan liciknya pria itu membuatnya menjadi asisten di kantor sekaligus pribadi. Mau tidak mau, Nindy harus berada di rumah Raka di pagi buta dan pulang hingga larut malam. Nindy menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Setelah seharian bekerja di ruangan Raka kemarin, akhirnya dia memiliki mejanya sendiri. Tepat di sebelah Tomi dan berbaur dengan karyawan lainnya. "Masih pagi udah kusut wajahnya, Nind?" Tomi yang baru saja datang mulai duduk di kursinya. Nindy meletakkan kepalanya di atas dan bergumam, "Ngantuk, Mas." Tomi terkekeh, "Semalem pulang jam berapa?" "Jam delapan." Nindy mulai memejamkan matanya. "Nanti jangan lupa minta bonus sama Pak Bos." Nindy membuka matanya dan duduk dengan tegap, "Ya pasti
Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan. Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona. Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail. "Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus. Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Perasaan Nindy terasa campur aduk sekarang, antara senang dan gelisah. Senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan orang tuanya dan gelisah karena takut jika rahasianya akan terbongkar. Meskipun sudah meminta Raka untuk menutup mulut, tapi kegelisahan itu masih ada. Bukan satu-dua orang yang tahu jika Nindy baru bekerja sekarang. Dia belum mempersiapkan semuanya karena kedatangan orang tuanya yang mendadak. "Pak Raka pulang aja deh." Nindy berbalik dan menatap Raka yang bersandar pada mobilnya. "Kamu ngusir saya?" Nindy mengerucutkan bibirnya kesal, "Nggak gitu." Dia tampak bingung menjelaskan. "Terus?" Nindy berdecak, "Iya, saya ngusir Bapak!" Raka tersenyum miring dan berjalan mendekat, "Nggak
Tepat pukul delapan malam Raka masih betah berada di kantor. Saat ini dia sedang membicarakan hal yang serius dengan Ilham. Dia tidak menyangka jika kerja sama untuk proyek besar terancam gagal karena klien-nya juga pendapatkan penawaran dari perusahan arsitektur lain. Jika sudah seperti ini maka Raka harus berpikir ulang tentang keuntungan-keuntungan apa saja yang akan ia tawarkan agar kerja sama tetap terjadi. Proyek besar ini memiliki banyak keuntungan, tentu Raka akan berusaha untuk mendapatkannya. "Tau dari mana ya si Doni kalau Pak Naru mau bikin proyek besar?" tanya Ilham bingung. Raka menatap Ilham aneh. Kadang pria itu bisa sangat pintar dan juga bodoh di waktu-waktu tertentu. "Udah banyak beritanya kali, Ham. Kenapa masih tanya?" "Ya heran aja gitu, udah jelas-jelas Narutama Group mau pakai Adhitama Design, tapi
Di dalam mobil, Nindy tampak fokus dengan ponsel dan kertas di tangannya. Sedangkan Raka sedang sibuk menyetir. Jika dalam keadaan seperti ini, justru Raka yang terlihat sebagai asisten. Ini karena Nindy yang tidak bisa menyetir mobil. Tidak masalah bagi Raka, setidaknya keberadaan gadis itu sebagai asisten sedikit membantu pekerjaannya. "Gimana?" Nindy mengangguk dan membuka kembali ponselnya, "Kata Pak Yoseph pemasangan Tower Crane udah hampir selesai. Kayaknya hari ini bisa beres semua sih, Pak." "Bagus." Raka membelokkan mobilnya ke arah lokasi proyek pembangunan. Bangunan itu adalah salah satu proyek yang ia rundingkan dulu bersama karyawannya. Proyek apartemen mewah yang memakai desain dari Dodit. "Kamu ke Rudi sekarang, minta dua alat pelindung diri sebelum masuk ke area proyek. Saya mau ketemu Pak Yoseph dulu." "Oke, Bos."
Di dalam ruangan yang berbau khas itu Nindy menunduk dengan takut. Dia memainkan tangannya yang basah dengan gelisah. Sedari tadi Nindy tidak berani untuk mengangkat kepalanya. Dia terlalu takut dengan tatapan tajam Raka yang baru saja sadar setelah melakukan operasi patah tulang kemarin. "Mau sampai kapan kamu nunduk?" tanya Raka dengan suara pelan. Masih dengan menunduk, Nindy menggeleng pelan. Sesekali dia mengelap cairan hidung yang ikut mengalir bersama air matanya. "Liat saya." Nindy kembali menggeleng. Dia akan semakin merasa bersalah jika melihat keadaan Raka. "Liat saya Nindy," ucap Raka tenang tapi penuh dengan penekanan. "Nggak mau, takut." Nindy berucap lirih. Raka menghela napas dan menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Pemulihannya terhitung cepat dan dia sudah bisa duduk sekarang meskipun tangannya masih s